Pernikahan Pada Gelahang kembali menjadi pembicaraan.
Beberapa teman mengirimkan tautan berita tentang Nganten Pada Gelahang menurut Budaya Bali. Berita itu tentang Wirama dari Tabanan yang melakukan Nganten Pada Gelahang dengan istrinya.
Menurut saya pemahaman bapak dalam berita itu berbeda dengan yang saya pahami tentang adat dan hakekat adat Bali itu sendiri.
Berita tentang Widarma dari Tabanan itu menunjukkan bahwa akibat Nganten Pada Gelahang dia harus berstatus sebagai penanggung jawab keluarga atau purusa di tempat yang laki maupun perempuan. Artinya si bapak bertanggung jawab atas mrajan, tempat sembahyang di rumah orang Hindu Bali, baik pihak laki maupun perempuan. Dia juga menjadi anggota banjar di dua tempat berbeda.
Jika pemahaman ini yang diikuti, maka pernikahan semacam ini hanya mungkin dilakukan kalau rumah kedua pengantin pria dan wanita berdekatan.
Bagaimana kalau pengantin pria dari Selat, Karangasem di ujung timur Bali dan pengantin wanita dari Gilimanuk, Jembrana di ujung Bali bagian barat? Ngurus dua mrajan, mebanjar di dua tempat yang jarak tempuhnya bisa 10 jam pulang pergi.
Sangat memberatkan dan super sulit. Silit pun jadi panas kalau berkendara dari ujung timur pulau Bali ke ujung Barat.
Sistem Khas
Prinsip dasar dari semua jenis perkawinan di Bali adalah meneruskan ahli waris untuk merawat merajan. Ini karena sistem agama di Bali yang khas, sesuatu yang bahkan di Indiapun mungkin tidak ada.
Perawatan merajan terkait dengan hubungan timbal balik antara roh leluhur dan sentana. Roh leluhur yang sudah “mendapat tempat baik” akan menuntun gerak langkah keturunannya. Demikian juga, roh leluhur itu hanya dapat mencapai alam kesucian bila didoakan oleh keturunannya.
Tanpa doa dari anak keturunannya, roh leluhur akan telantar sehingga nasibnya lebih buruk dari anak telantar di Indonesia. Di Indonesia, anak telantar dipelihara. Di Bali, roh leluhur yang telantar tidak diurusi negara. Hanya anak keturunan garis lurus (anak menantu) yang bisa mendoakannya agar mendapat tempat semestinya.
Jadi, kalau ada keluarga putung atau tidak punya ahli waris, risiko masa depan di sunya loka akan menjadi tanda tanya. Hanya anaklah yang akan paling punya peran relevan untuk mendoakan leluhurnya. Sebab, anak terikat dengan hutang (Pitra Rna) pada orang tua dan leluhur di atasnya.
Salah satu cara tetua Bali untuk mencegah putungnya suatu keluarga adalah dengan Nganten Pada Gelahang. Nganten Pada Gelahang yang saya pahami bukanlah dalam arti suatu keluarga secara terus menerus memiliki dua purusa. Dua purusa itu akan sangat menyulitkan.
Kepemilikan dua purusa semestinya hanya sementara saja sampai dengan mereka beranak pinak. Ketika mereka sudah beranak pinak, tinggal dibagi mana anak yang ikut trah keluarga asal istri dan mana anak yang ikut trah keluarga asal suami. Ini tergantung perjanjian waktu menikah pada gelahan.
Setelah semua keluarga sudah memiliki ahli waris, maka status dua purusa itu bisa dihentikan dan menganut sistem satu purusa seperti keluarga di Bali umumnya. Tinggal dibuat upacara untuk ikrar atau sumpah tentang perubahan status dari dua purusa menjadi satu purusa.
Tergantung Kesepakatan
Sekali lagi ini tergantung kesepakatan sewaktu Nganten Pada Gelahang. Siapa yang akan menjadi purusa ketika mereka sudah beranak pinak dan semua keluarga sudah memiliki ahli waris.
Walaupun anak sudah dibagi trahnya, bukan berarti anak harus dipisah dari orang tuanya. Anak-anak tentu saja tetap bisa diasuh oleh orang tuanya, tetapi si orang tua harus sadar “trah” atau “soroh” dari anak-anaknya berbeda.
Hal terpenting, “pesidhikaran” si anak atau perikatan niskala antara anak dengan leluhurnya, tidak boleh dilupakan atau terputus.
Mengenai pesidhikaran ini, saya malah dengar dari LBH APIK, lembaga yang aktif mengadvokasi perempuan dan anak-anak. Benar memang istiah itu. Seorang anak itu boleh pindah asuh, tapi tidak boleh pindah kulit.
Contohnya saya mengajak anak asuh yang soroh atau klannya Pasek Gelgel sementara soroh saya lain. Meskipun saya yang mengasuh dia, tetapi pesidhikaran atau hubungan dia dengan Pasek Gelgel harus lanjut. Caranya, saat otononan, saya harus mengajaknya ke mrajan leluhurnya. Atau kalau jauh, tinggal disebut bahwa anak itu adalah trah Pasek Gelgel.
Pesidikiran ini konsep yang penting saat perceraian dan anak ikut ibunya. Si anak itu kan trah dari ayahnya. Tapi secara Undang-Undang (UU), si anak harus ikut ibu dan pesidhikarannya tidak boleh dihapus.
Si anak diasuh ibunya, tapi pas otonan atau odalan di keluarga ayahnya, si anak harus di ajak ke sana. Kalau sulit secara psikologis, cukup disembahyangi dari jauh. Yang penting identitas sorohnya tetap.
Misalnya setelah beranak pinak, suatu keluarga yang nganten pada gelahang sepakat untuk mengubah dua purusa menjadi satu purusa dengan status laki-laki sebagai purusa dan perempuan sebagai pradana. Salah seorang anaknya ikut trah dari keluarga asal pihak istri. Anak ini akan menjadi ahli waris (hak dan kewajiban) dari kakek nenek di pihak ibunya, bukan dari pihak ayahnya.
Saat hari raya dan otonannya, keluarga ini harus mengajak anak ini untuk bersembahyang di mrajan pihak istri. Setelah upacara selesai, anak itu bisa kembali berkumpul bersama orang tuanya. Ketika anak ini sudah dewasa dan kemudian menikah, maka upacaya harus di tempat kakek nenek pihak Ibu dan ia kemudian bertempat tinggal atau bertanggung jawab atas merajan di pihak leluhur ibunya.
Dengan demikian, tujuan perkawinan sudah tercapai. Semua mrajan, baik dari pihak pengantin laki atau perempuan sudah memiliki ahli waris. Artinya hubungan antara leluhur dengan preti sentana tidak putus.
Ikrar harus Benar
Sebenarnya sederhana. Yang penting ikrar saat Nganten Pada Gelahang itu harus benar. Agar catatan sipil di Mercapada dengan Catatan Sipil di Sorgaloka terjadi sinkronisasi. Ikrar saat menikah itu penting karena isinya sumpah yang saksikan oleh para dewa yang isinya mengikat sesuai dengan isi sumpah.
Agar isi sumpah fleksibel, tinggal dibuat pasal-pasal yang memuat aturan peralihan, perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Catatan Sipil di Swargaloka akan menerima apapun sumpah yang diucapkan.
Pernahkan ada kejadian para dewa menolak sumpah manusia? Tidak pernah! Selalu disahkan.
Bhisma Putra Gangga mengangkat sumpah untuk tidak akan jadi raja, tidak akan menikah dan selalu setia pada Hastinapura. Sumpah itu terlalu berat. Orang tuanya Prabu Santanu dan Dewi Gangga, mungkin tidak setuju, tapi para dewa tepat mensahkannya.
Leluhur Pasek Pulasari (Dalem Tarukan), bersumpah agar anak keturunannya tidak makan burung dara. Sah! Adakah anak keturunannya yang berani melanggar?
Akibat sakralnya suatu sumpah dan perikatannya yang skala dan niskala, maka ucapan sumpah pada waktu nganten pada gelahang terlebih dulu harus dirumuskan oleh pihak mempelai pria dan wanita.
Soal mebanjar itu itu soal komunikasi. Kita bisa membanjar di 100 banjar, 2 banjar, atau 1 banjar. Tinggal komunikasi dengan pihak Prajuru. Yang terpenting dari Nganten Pada Gelahan adalah garis lurus antara leluhur dengan sentana tetap terjaga. Itu yang mengikat orang Bali.
Orang Bali di luar Bali mungkin saja tidak punya banjar seperti di Bali, namun soal hubungan dengan roh leluhurnya tidak pernah terputus. Hubungan leluhur dengan keturunannya, tidak terpengaruh dengan jumlah banjar yang ia ikuti. Mrajan dan Banjar adalah dua ranah yang berbeda. [b]
Om Swastyastu….Ampura niki tyg jagi metaken kalau untuk pernikahan kawin lari atau nyerod, dimana anak perempuan yg merupakan anak satu-satu nya di keluarga menikah nyerod…berarti di keluarga perempuan tidak ada lagi garis keturunan yang melanjutkan…punapi dg nike? Suksma…
Sederhana kemanten.., yening sampun kawin lari tur nyerod, sinah tidak relevan jika dikaitkan dengan perkawinan pade gelahang. Yening sampun kantos kawin lari, sinah nenten wenten persetujuan saking, orang tua sang wanita. Yening perkawinan nyerod kemanten, dikaitkan dengan perkawinan pade gelahang, jka ada persetujuan kedua belah pihak atau sama sama setuju,, maka yang berjenis kelamin laki laki, dipihak keluarga wanita, akan berstatus sebagai Jero (Jro), karena statusna nanti adalah sebagai pradana. Selanjutnya tyang kira sama dengan yang diuraikan penulis diatas. Tp tyang kira, untuk jaman sekarang, kasta tidak seketat jaman dahulu, tokh PHDI juga dalam keputusan mahasabhanya, sdh mengesampingkan kasta, yang ada adalah catur warna. suksma.
Kebenaran ada di atas segala galanya, termasuk sumpah. Jika sumpah sdh akan melawan kebenaran, maka orang HARUS mengUTAMAkan kebenaran.
Itulah penyesalan Bisma, krn sumpahnya telah menyeret dia pd yg tamak dan jahat.
Karma membela kejahatan sangat berat dan kita tahu itu adalah hukum mutlak. Bahkan di tiap agama, meski kalimatnya beda (spt tanam tuai) tp makna sama.
Bagai mana dengan proses mepejati dalam nikah pada gelang?
Saya mau tanya kalo untuk kepemilikan 2 perusa tetap sampai tua dan sudah punya anak atau naksud saya kedua belah pihak tidak mau merubah status apa akibatnya?
Suksma
Akibatnya ribet dan menyusahkan anak keturunannya. Karena tanggung jawabnya dua. mengurus merajan di pihak laki dan juga perempuan. Tidak hanya merajan, tp juga sanggah gede, panti, dan pura kawitan. Itulah mengapa sebelum Kawin pada gelahang, ikrarnya harus jelas. Siapa yang akan jadi purusan dan pradana saat sudah memiliki anak keturunan.
Salam kenal, saya mau bertanya, pada sistem pada gelahang dijelaskan bahwa disaat pasangan sudah mempunyai anak maka nanti dibagi yg mana ikut trah suami atau istri, kendalanya dilapangan disaat sudah berjalan, kadang si anak memilih trah dari pihak yang mempunyai kedudukan materi yang lebih baik, dan ini sering terjadi dimasyarakat sehingga menyebabkan keretakan maupun perceraian di pernikahan pada gelahang. Bagaimana sekiranya solusinya. Suksma
OSA. Saya mau bertanyaa untuk pernikahan pada gelahan ini apakah hanya boleh di lakukan 1 kasta yang sejenis contohnya antara gusti ngurah dengan gusti ngurah atau mungkin gusti ngurah dengan kasta yg lebih darinya atau bagaimana?
Seandainya orang itu melakukan sineb wangsa apakah boleh melakukan sistem pada gelahan dengam kasta gusti ngurah?
Suksma.
Mungkin yang anda maksud itu adalah soroh atau wangsa. Misalnya soroh Arya, soroh Pasek, soroh Pande, dll. Di Bali pengelompokan sosial keagamaan itu berbeda dengan di India. Di India terdapat sistem kasta sedangakan di Bali tidak. Pengelompokan di Bali menggunakan sistem soroh atau wangsa spt yg sy sebut di atas. Kita bisa menemukan Pura Pasek Gelgel, Pura Arya Kenceng, dll. Tp kita kan tidak pernah punya Pura Brahmana, Pura Ksatria, dan Pura Waisya, serta Pura Sudra. Pertanyaan berikutnya apakah di antara soroh atau wangsa itu ada yang memililiki derajat yang lebih tinggi atau ada yang lebih rendah? Tergantung bagaimana kita membunyikannya atau memaknainya. Kalau orang-orang anggap soroh itu ada yang lebih tinggi dan lebih rendah, maka dia akan jadi begitu. Kalau orang2 anggap soroh itu setara, maka ia akan dimaknai setara. Tergantung persepsi dari keluarga yang terlibat. Kalau anda ikuti Bhisama PHDI, BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT Nomor : 3/Bhisama /Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002. Jelas bahwa para Sulinggih berpandangan bahwa manusia Hindu itu setara. Soroh itu setara. Siapa saja yang memenuhi syarat dari soroh manapun bisa menjadi sulinggih. Pada poin 9 disebutkan Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan. Itu artinya PHDI menganggap kasta adalah keliru. Pada poin 10 dari bhisama itu disebutkan Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.
Bhisama PHDI itu sudah menjawab pertanyaan anda. Kasta adalah praktek yang keliru dalam ajaran agama Hindu sehingga tidak bisa dijadikan patokan dalam perkawinan antar manusia Hindu. Kita harus berada pada posisi yang jelas. Kalau kita mengakui sistem kasta, maka perkawinan pada gelahang yang dengan didasari adalah ada manusia yang derajatnya lebih tinggi dan derajat manusia lain lebih rendah, maka perkawinan pada gelahang tidak bisa diwujudkan. Perkawinan pada gelahang hanya bisa diwujudkan bila keluarga yang terlibat menganggap soroh atau wangsa mereka setara. Menurut sy memang begitu. Adakah soroh yang derajatnya lebih rendah di Bali? Tidak ada. Kalaupun ada, sy harap orang itu menyebutnya langsung di publik. Sy yakin orang itu akan masuk penjara, krn pasal penghinaan. Semuanya berasal dari keturunan orang-orang atau tokoh yang memiliki kemuliaan tersendiri.
Saya pribadi menyarangkan perkawinan pada gelahang adalah the last resort, cara terakhir. Sebaiknya hindari jika memungkinkan. Kalau tidak ada pilihan lain, pernikahan pada gelahang adalah jalan terakhir.
mohon pencerahan,,tyang punya saudara perempuan sudah menikah dengan laki laki non hindu(sekarang sudah masuk hindu),,saat ini saudara saya hendak mengajak suaminya untuk ikut meibu bareng di keluarga perempuan ,bagaimana solusi untuk permasalahan niki bisakah seorang perempuan yg sudah menikah keluar kembali mengajak suaminya ke keluarga perempuan dan mendapatkan hak yang sama dalam keluarga??
Bagaimana jika seorang beda kasta ingin melakukan pernikahan padagelahan, tapi adat dari si laki2 yang kasta lebih tinggi belum ada (KARENA BEDA KASTA ) sulit untuk diterima. mungkin bisa diberikan penjelasan ADAT dan agama mempersulit untuk mempersatukan niat untuk meneruskan keturunan
Pernikahan di Bali melibatkan kesepakatan keluarga mempelai. Kasta berlaku jika dianggap ada dan benar. Kasta tidak berlaku jika dianggap tidak ada tidak benar. Jika kasta dianggap berlaku oleh salah satu atau kedua belah pihak, nganten pada gelahang itu akan sulit. Namun kalau kasta dianggap tidak ada, maka pernikahan pada gelahang itu dimungkinkan. Soroh yang dikenal di Bali itu bukan kasta namun marga.
Ampura dumun,apakah pernikahan pada gelahang seperti yang dijelaskan di atas sah di mata phdi & mda? Mohon bantu untuk dijawab nggih ?
Pernikahan adat tidak ada hubungannya dengan PHDI dan MDA. PHDI adalah ormas yang berbadan hukum dan MDA adalah lembaga yang dibentuk melalui Perda. Saksi adat dalam pernikahan di Bali adalah kelian dinas dan kelian adat. Mereka sebatas menjadi saksi dan mengakui adanya peristiwa pernikahan. Isi pernjanjian pernikahan pada gelahang tergantung kesepakatan dua keluarga. Untk mengikat secara spiritual, perjanjian tersebut bs diambil ambil sumpah. Untuk mengikat sekala bs lewat mekanisme hukum perjanjian.
om swastiastu ampura tyg jagi metaken, apa yg akan terjadi jika di dalam pernikahan pada gelahang tersebut tetap memiliki 2 kawitan sampai akhir hayat tyg dan pasangan tyg?? walaupun stelah beranak pinak sudah mewarisi masing masing dari trah ibu dan bapaknya??? apa akan kepanesan d kemudian hari ato bagaimana sebaiknya???
ini terjadi karena pesan dari nenek pasangan saya berpesan agar cucunya tdk keluar dan neneknya sdh meninggal, mohon pencerahanya
osa pak ampura sebelumnya tyg jagi metaken bagaimana yg akan terjadi bila pada saat nganten pada gelahang tersebut tp tetap memiliki 2 purusa atau kawitan smpe akhir hayat sementara anak anak sdh d bagi untuk memegang trah si bapak dan si ibu, ini terjadi karena dari pihat wanita pasngan sya neneknya menitipkan pesan agar cucunya yaitu pasangan saya tdk keluar dri rmh dmna neneknya sdh tiada, apa yg akan terjadi apakah akan kepanesn atau bagaimana solusinya?
Ini soal keyakinan. Pernikahan itu adalah sumpah. Semesta gaib akan memberikan hukuman bila sumpah yang sudah dimaklumkan tsb dilanggar. Makanya saat ngeraos harus diperhatikan detail-detailnya. Karena kesempakatan yang dibuat itu diikrarkan ke atas ke para leluhur dan alam gaib. Itu saja. Soal ada nenek atau pihak2 yang punya keinginan ini itu, menurut sy itu keinginan manusia. selama keinginan itu tidak menjadi bagian dari kesepakatan yang diikrarkan kepada para Dewata, itu tidak bagian perikatan antara manusia dengan para Dewa. Ini hanya pendapat pribadi saya. Belum tentu benar.
Kenapa masih ada …pemahaman beda kulit ?… ini yang perlu dikaji…kalo hindu masih mempermasalhkan kulit mulus…atao kulit kudisan….suuuusaaahhhh…kenapa masih pemikirin picik seperti ini…
Sejak kapan pulasari menjadi soroh pasek ?