Oleh Made Suardana
Secara umum, ‘Ngaben’ di Bali bisa dikatakan sebagai salah satu ritual agama dan juga ritual tradisi yang bermakna mengembalikan jasad manusia yang sudah meninggal ke asalnya yang disebut dengan Panca Maha Bhuta (lima unsur: tanah, air, api, angin dan ether). Jadi, ritual agama atau tradisi? Tidak murni agama dan juga tidak murni tradisi, dua-duanya kena.
Ritual agama karena memang tercantum dalam kitab suci, ritual tradisi karena pada kenyataannya pelaksanaan upacara ngaben di Bali dipenuhi dengan bumbu tradisi di Bali, ada bade/wadah, ada singa/lembu, ada gender/wayang, ada tarian2 tertentu yang disakralkan dan lan-lain. Dengan mengambil analogi upacara ngaben (kremasi) di India sebagai asal muasal agama Hindu, Ngaben di Bali tentunya sangat berbeda dengan ngaben di India. Makanya saya berasumsi bahwa Ngaben di Bali adalah perpaduan tradisi dan agama.
Di India ucapara kremasi tidak perlu tetek bengek seperti di Bali. Lalu apakah salah Ngaben seperti yang di Bali? Tentu tidak. Karena Hindu adalah fleksibel di mana pelaksanaan ajarannya disesuaikan dengan budaya setempat (local genius). Yang membuat kita saya khawatir adalah ketika upacara Ngaben di Bali sudah menyimpang dari esensi dasarnya, sudah jauh bias dari makna semula dan sudah keluar dari rel ajaran agama. Masih segar rasanya dalam ingatan saya ketika beberapa upacara ngaben di Bali dikomersialkan secara jor-joran. Dibuatkan website, dimasukkan ke surat kabar bahkan diumumkan di televisi lokal. Salahkah? Tentu tidak, hanya saja saya jadi muak. Itu adalah hak dari masing-masing individu.
Adanya trend baru pada Upacara Ngaben di Nusa Penida, mengispirasi judul postingan ini yang mungkin bisa digolongkan eyewitness news karena mengalami sendiri. Ngaben di sana menjadi semacam ajang pamer kemampuan finansial dari keluarga yang bersangkutan. Di desa B (nama lengkap desa ada pada redaksi penulis), sebuah keluarga yang melaksanakan upacara ngaben yang ‘nyeleneh’ karena sebuah sepeda motor baru ikut diaben bersama jasad orang yang meninggal. Alasannya, karena dia sangat mencintainya dan niat untuk membelikan sepeda motor belum kesampaian pada saat orang itu masih hidup.
Saya kok tidak yakin apakah di alam sana masih perlu sepeda motor. Sekali lagi, ini tidak salah. Tapi alangkah bijaksananya jika sepeda motor itu digunakan saja di dunia ini. Di desa S, ada lagi yang membuat singa-singaan (bagian dari badewadah yang nanti ikut dibakar) dari uang kertas. Patung singa tersebut dibuat seperti biasa dengan rangka bambu dan dibalut dengan beludru dan hiasan prada. Begitu selesai, seluruh badan singa tersebut ditempeli dengan uang kertas pecahan Rp 50 ribuan dan Rp 100 ribuan, sehingga patung singa tersebutpun memerlukan penjagaan khusus sebelum dibakar. Alasannya? Biar roh yang meninggal mempunyai bekal di alam sana. Salahkah? Tentu tidak, jika si roh memang perlu beli tiket pesawat/bis untuk menuju alam sana.
Sampai di sini saya hanya bisa merenung. Di mana sebenarnya esensi manusia Bali dalam melaksanakan ajaran budaya agama? Semurni apakah manusia Hindu Bali dalam melaksanakan ajaran agama? Contoh-contoh kecil di atas tentu saja tidak bisa dijadikan parameter untuk menilai secara keseluruhan namun paling tidak fenomena tersebut bisa membuka mata saya bahwa ego masih sangat mendominasi ke hal-hal yang menyangkut religi. Juga kurangnya pemahaman yang benar tentang esensi dan makna dasar dari sebuah ritual yang dilaksanakan.
wah, jujur aja saya belum pernah liat upacara ngaben seperti itu….
sangat nyeleneh dan gila, tidak masuk akal…diluar nilai-nilai hindu sebagaimana diatur dalam weda atau kitab suci lainnya.
wah untung keluarga kami termasuk orang yang sederhana
tahun 2003
om saya ngaben dengan biaya hanya 1.5jt
padahal biaya rumah sakitnya aja sampe ratusan juta
bukannya apa2
buat apa mewah2 di ngaben
yg penting esensi nya toh ?
ngaben di bali dengan di india tidak bisa di samakan, karena hindu di bali adalah agama bali yg di sebarkan oleh dhanghyang markandeya terdiri dari 3 unsur kegiatan utama surya sewana , bebali , dan pecaruan jadi sangat berbeda dengan hindu di india yang mencapai 5 sekte/aliran besar.dan yang paling penting berkembangnya agama di suatu daerah selalu beradaptasi dengan budaya yang sudah ada.
klw dulu ngaben banten, wadah, dan perlengkapan lainnya buat sendiri jadi murah . sekarang semua beli jadi mahal. juga tiap daerah pelaksanaan ngaben juga berbeda-beda.
jadi sekali lagi jangan membanding-bandingkan antara satu agama dgn yg lain/ satu adat dgn adat yang lain. krn ada ajaran yg mengatakan agama mu untuk mu, agama ku untuk ku
tapi kalau sampai lembu di bungkus uang 50.000 – 100.000 rupiah itu namanya belogajum.
tidak ada point dari artikel diatas yang mengacu pada ‘menyamakan’ ngaben di India dan di Bali. bahkah sudah jelas ditulis bahwa Hindu di Bali disesuaikan dengan local genius yg ada di Bali. secara globalpun artikel itu tidak ingin menbahas hindu bali, hindu india atau wherever, saya tidak tertarik membahas itu dan diluar ranah kemampuan saya, satu kalimat itu hanya sebagai pengantar ttg sebuah fenomena ngaben yg terjadi di daerah sesuai dengan artikel diatas.
jadi sekali lagi jangan membanding-bandingkan antara satu agama dgn yg lain/ satu adat dgn adat yang lain. krn ada ajaran yg mengatakan agama mu untuk mu, agama ku untuk ku
——————–
bingung maksudnya apa. bagian mana yg membandingkan agama satu dengan agama lain? aritkelnya masih dalam satu konteks satu agama (hindu).
membandingkan adat satu dengan yg lainnya tidaklah tabu, jika dalam rangka untuk memperkaya pengetahuan bukan untuk menyeragamkan.
inilah perlu disadari bagi kaum muda hindu tentang budaya “mule keto” orang tua kita dibali dengan ajaran weda sesungguhnya. ngaben suatu proses untuk mempercepat kembalinya unsur panca maha butha ke asal. upacara yang dilakukan secara pamer adalah nista kata sastra. hendaklah semua dilakukan dengan tulus ikhlas sesuai dengan sastra…………
Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan telanjang, kembali kepada Tuhanpun manusia harus tetap telanjang, hanyalah hati yang sudah dibalut dengan keyakinan terhadap Tuhan.
Tetapi “Tugas manusia adalah menjadi manusia”.
Harus mulai dipikirkan dengan kritis bahwa bukanlah total dari kebudayaan adalah agama tapi agama itu bagian dari kebudayaan. Kegiatan budaya non agama, sah-sah saja dikomodikasi, dicarikan sposor atau ‘dijual’ tapi kalau kegiatan agama juga dijual jadilah kacau.
Ngaben pun jadi disalah artikan dari kegiatan agama menuju ajang pamer kekayaan
atau istilah bagus yang disampaikan Sdr. Ngurah ‘belog ajum’.
Manusia Bali adalah manusia yang berjiwa Bali, berpegang teguh pada tradisi Bali dan bukan semata-mata bisa dilihat dari agama yang dipeluknya saja. Kalau agama dijadikan ‘belog ajum’ itu sudah tidak berjiwa Bali lagi….
numpang nimbrung,,,,
sy mo nanya karena g tau,he,,,
klo pas bakar mayat apa di kasih buah “cenitri” ato buah lainya g?krn di daerah kebumen terdapat satu buah yang disebut “buah cenitri” anehnya buah yang mahal justru yang kecil sebesar lada,per buah bisa mencapai Rp.200,00
menurut sebuah agen di kebumen buah itu digunakan buat upacara pembakaran mayat di india dan pakistan.
kok blognya enggak lengkap , mohon dilengkapin ya aku cuma ngasik saran aja