Galungan dan Kuningan masih terasa di penjuru Bali akhir Desember lalu.
Penjor-penjor masih berdiri anggun sepanjang jalan. Hiasan menjulang dari bambu dengan aneka persembahan itu biasa dipasang di depan rumah warga yang merayakan hari raya umat Hindu tersebut.
Begitu pula di sepanjang jalan ketika kami masuk Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Tiap rumah memasang penjor di pinggir jalan desa sejuk tersebut.
Deretan penjor serupa menyambut kami ketika masuk Palasari, salah satu dusun di Desa Ekasari. Tapi, penjor di sini berbeda dengan penjor di Bali pada umumnya. Tidak ada sanggah, tempat meletakkan sesaji bagi umat Hindu, di bagian bawah penjor tersebut.
Wajar. Penjor-penjor tersebut memang bukan untuk menyambut Galungan dan Kuningan, tapi menyambut Natal. Karena itu tidak ada sanggahnya.
Begitulah salah satu cara warga Palasari menyandingkan tradisi dan agama di desa mereka. Meskipun beragama Katolik, mereka masih menjaga tradisi Bali. Mendirikan penjor saat Natal hanya salah satunya.
Natal menjadi momen perayaan akulturasi Katolik dan Bali di dusun ini. Dari sekitar 300 kepala keluarga yang tinggal, sekitar 99 persen Katolik.
Saya dan teman-teman tiba di Palasari sehari sebelum Natal. Sengaja. Kami memang ingin turut menikmati misa Natal pada malam sebelum hari raya. Sekalian juga biar bisa mengikuti Natal pada pagi hari tanpa buru-buru dari Denpasar.
Jarak Denpasar – Palasari lumayan jauh, sekitar 150 km. Perlu waktu sekitar 4 jam di jalan raya padat antara Jawa – Bali. Jadi, lebih baik jika sudah tiba di Palasari sehari sebelumnya.
Begitu masuk Palasari, aura Bali terasa kuat lewat penjor-penjor di pinggir jalan. Begitu pula pada Gereja Hati Kudus Yesus, gereja terbesar di desa ini. Gereja yang dibangun sejak tahun 1950-an ini memadukan aristektur Bali maupun Eropa. Candi Bentar layaknya mau masuk Pura berdiri megah di batas paling luar gereja.
Pada malam misa, warga berduyun-duyun menuju gereja. Begitu pula pada ibadah Natal esok paginya.
Mereka menggunakan pakaian adat Bali. Laki-laki memakai kamen (sarung), kemeja, dan udeng (ikat kepala). Sama saja dengan laki-laki Hindu Bali yang hendak bersembahyang di Pura. Begitu pula perempuannya. Memakai kebaya lengkap dengan selendangnya.
“Kami mengimbau warga agar beribadah dengan pakaian adat Bali. Biar kelihatan tradisinya,” ujar Petrus I Made Krismianto Ketua Dewan Gereja Palasari.
Menurut Krismianto, akulturasi Katolik dengan tradisi Bali adalah ciri khas dan keistimewaan dusun ini.
Akulturasi itu terlihat pula dalam ibadah Natal. Selain khotbah dan doa-doa seperti di gereja lainnya, di sini ada pula tarian Bali. Tarian itu dibawakan gadis-gadis seperti tarian Bali pada umumnya. Bagian depan di dalam gereja jadi semacam panggung bagi mereka.
Berbeda rasanya melihat para penari Bali dengan lenggak-lenggok tubuh dan kerlingan mata dan tanda salib raksasa di belakang mereka.
Tarian Bali juga dilakukan di halaman gereja ketika ibadah Natal selesai. Kali ini tarian Panyembrahma dibawakan gadis-gadis kecil di antara ratusan umat yang selesai melakukan ibadah Natal.
Ketika gadis-gadis itu menari diiringi musik gamelan Bali, dua sosok Santa Klaus sibuk bersalaman dan membagi kue untuk anak-anak. Anak-anak kecil bersemangat menyambut tokoh fiksi yang jadi ikon globalisasi Natal tersebut.
Sementara itu di depan gereja, perempuan berjilbab Rofiil dan suaminya juga senang karena balon-balon dagangan mereka laris manis dibeli anak-anak yang selesai beribadah Natal.
Natal di Palasari, seperti juga Natal di seluruh dunia, adalah kegembiraan bagi umat manusia. [b]
Comments 1