Buku ini tak cuma narasi perjalanan pribadi tapi juga tentang budaya Bali, agama Hindu, politik, dan jurnalisme.
Meskipun otobiografi, buku Wartawan jadi Pendeta ini tak melulu membahas kisah hidup penulisnya. Buku ini juga menarasikan pergolakan politik Bali pada tahun 1960-an dan 1970-an, seluk beluk agama Hindu (Bali) khususnya tentang pendeta, serta sekilas jatuh bangunnya perjalanan media terkemuka di negeri ini, TEMPO.
Penulis buku ini adalah Putu Setia, wartawan TEMPO yang sudah pensiun dan kini menjadi pendeta Hindu dengan gelar Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Buku setebal 403 halaman ini menceritakan perjalanan hidup Putu Setia sejak kecil hingga menjadi pendeta. Bagi Putu, status sebagai pendeta adalah puncak pencapaian sebagai manusia. Tidak ada lagi puncak yang lain (hal 400).
Jika diumpamakan drama, buku ini terdiri dari tiga babak utama. Babak Putu Setia sebagai anak miskin, Putu Setia sebagai jurnalis, serta Putu Setia sebagai intelektual Hindu dan kemudian menjadi pendeta. Dari tiga babak utama itu, ada alur cerita yang maju mundur menuju satu titik akhir, metamorfosis Putu untuk menjadi pendeta.
Ada pula riak-riak kecil yang melengkapi nuansa cerita.
Metamorfosis itu terbagi dalam 16 cerita. Temanya antara lain perjalanan menjadi pendeta Hindu, keluarga dan masa kecil, keterlibatan dalam politik, suka duka sebagai perantau, kisah cinta, pengalaman jurnalistik, serta kiprah sebagai intelektual dan pemimpin agama Hindu.
Kisah hidup Putu sebagai orang miskin mungkin serupa cerita-cerita buku laris manis saat ini, hidup serba kekurangan, harus sekolah untuk meluaskan jaringan dan pengetahuan, serta jatuh bangun perjuangannya untuk mewujudkan cita-cita.
Satu hal yang berbeda, semua penderitaan keluarganya, termasuk kematian ayah, menurut Putu, adalah “kutukan”.
Bala
Penyebab utamanya, sang ayah tak mau menjadi pemangku, pemimpin upacara di Pura desa. Putu meyakini, keluarganya ditakdirkan menjadi pemangku di desa. Maka, siapa pun yang menolak takdir itu akan mendapat bala, kesusahan seumur hidupnya.
Begitu pula dengan Putu Setia ketika masih kecil, miskin dan terjerat utang. Toh, dia tetap bisa sekolah meskipun untuk itu ibunya harus menggadaikan kebun kopi milik keluarga. Putu lahir dan besar di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, salah satu pusat produksi kopi di daerah Bali tengah, Tabanan.
Kemelaratan itu membuat Putu tak bisa meneruskan sekolah. Dia tak lulus SMA. Namun, dia aktif pula di organisasi siswa yang berafiliasi dengan PNI, Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI).
Karena kegiatannya sebagai pengurus organisasi siswa tersebut Putu pun terlibat langsung dalam geger politik di Bali pada tahun 1965, pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Inilah salah satu bagian menarik dalam buku ini yang hingga saat ini tak banyak terungkap.
Buku ini membahas dengan detail geger politik tersebut meskipun dalam skala kecil, keluarga dan desa. Bagaimana anggota PKI dan simpatisannya, termasuk anak SMP, disiksa dan dibunuh anggota PNI dan tentara. Putu dengan nuansa pedih menceritakan tragedi ini. Dia bahkan harus membuat surat keterangan untuk teman-temannya agar tak dituduh sebagai simpatisan PKI dan kena garis, istilah bagi mereka yang akan dibunuh.
Pada bagian lain, buku ini juga membahas tentang Golkarisasi, istilah untuk menyebut pemaksaan satu golongan sebagai pengganti partai, termasuk PNI. Karena menolak Golkarisasi inilah, sementara dia adalah Ketua Gerakan Pemuda Marhaen yang berfiliasi dengan PNI, maka Putu pun meninggalkan desanya. Dia lalu tinggal dan bekerja di Denpasar.
Bagian lain yang menarik adalah pengalaman dia menjadi jurnalis, fase di mana dia mulai lebih mapan. Sebelum menjadi wartawan TEMPO hingga pensiun pada tahun 2006, Putu pernah menjadi wartawankoran milik Kodam IX/Udayana, Angkatan Bersenjata Edisi Nusa Tenggara. Dia juga pernah jadi wartawan Bali Post sebelum kemudian di TEMPO.
Perjalanan penting bagi Putu adalah ketika dia menjadi wartawan TEMPO yang bagi dia berperan besar mengubah hidup. Bagaimana Putu membangun media ini sebagai Korlip di Yogyakarta dan Jawa Tengah, sebagai redaktur di Jakarta, hingga TEMPO hidup kembali setelah dibredel. Pada narasi bersama TEMPO ini, akan terlihat sebagian sejarah media terkemuka di Indonesia tersebut.
Kenikmatan
Bagi Putu, pintu menuju hidup lebih mapan terbuka tersebut justru setelah dia mengucapkan sumpah kesediaan menjadi pemangku. Kesediaan ini, menurutnya, juga sebagai bentuk terima kasih. Karena itulah, setelah merasa cukup sebagai wartawan di Jakarta, dia pun kembali ke Bali. Dia memilih hidup dalam dunia baru yang memotong semua kenikmatan duniawi, menjadi pendeta.
Karena itu, cerita tentang proses menjadi pendeta, termasuk sebagai intelektual Hindu ini sampai muncul di lima. Bagi sebagian orang, terutama yang tak terlalu paham tentang Bali dan Hindu, narasi tentang proses menjadi pendeta mungkin terasa terlalu detail dan membingungkan.
Membaca buku ini seperti membaca novel. Bisa jadi karena selain pernah jadi wartawan, Putu Setia ketika masih muda juga pernah menulis naskah drama dan sastra. Karena itu pula maka alur buku ini, meskipu berdasarkan kisah nyata, sangat terasa tegangannya. Ada unsur humor pula. Maklum, Putu Setia hingga saat ini juga masih jadi pengisi kolom (selingan) Cari Angin di Koran Tempo.
Kekuatan lain pada buku ini adalah detailnya. Putu bisa dengan lengkap menulis detail tiap perirstiwa, nama tempat, lokasi, bahkan tanggal. Mungkin karena buku ini ditulis pada saat Putu masih kuat ingatannya, 62 tahun.
Namun buku pun masih ada beberapa catatan. Salah satunya karena masih banyak salah tulis, termasuk nama. Bagi saya kesalahan tulis nama ataupun kata ini agak mengganggu apalagi untuk wartawan senior setingkat Putu Setia. Di luar itu, buku ini tetap menarik dan penting untuk dibaca jika ingin tahu tak hanya tentang Putu tapi juga tentang Bali, Hindu, kisah pedih 1965 dan sedikit sejarah tentang TEMPO.
Judul: Wartawan jadi Pendeta: Sebuah Otobiografi
Penulis: Putu Setia
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Mei 2013
Tebal: ix + 403 halaman
ISBN: 978-979-91-0583-7
Ayo, siapa wartawan lainnya yang akan menyusul dan buat otobiografi ?
Bukunya sudah terbit ga? adanya di toko buku apa saja dan harga perbuku berapa?
Seperti pada umumnya mantan wartawan bali post, memusuhi bali post, dan bersekutu dengan musuh bali post: mangku pastika 🙂
Otobiografi seorang wartawan hanya karya-karya jurnalistiknya, selain itu cuma catatan kaki.