Teks dan Foto Luh De Suriyani
Sebanyak 15 terpidana anak-anak, berusia di bawah 18 tahun di Bali belum mendapatkan haknya atas pendidikan di dalam penjara. Mereka putus sekolah dan sebagian buta huruf.
Permintaan untuk bisa mendapat pendidikan luar sekolah diungkapkan sejumlah penghuni Lapas Anak di Amlapura, Selasa, saat peringatan hari Kemerdekaan RI ke-65 lalu di Karangasem. Sebanyak tujuh anak mendapat remisi pengurangan hukuman dari 1-3 bulan. Remisi diberikan pada napi anak yang mentaati peraturan seperti tak menggunakan handphone dan rajin bekerja.
Belasan anak-anak berusia 14-17 tahun ini mendapat kunjungan dari sejumlah lembaga perlindungan anak dan perempuan di Bali. Mereka mendapat kesempatan untuk bermain, bernyanyi, dan nonton film di luar sel kamar mereka.
“Saya hanya bisa mengenal huruf tapi tak bisa membaca dan menulis,” ujar Kadek Snt, 16 tahun yang dipidana 2 tahun dengan kasus pencucian tabung gas ini.
Kisah-kisah yang melatarbelakangi dihukumnya anak-anak ini memang kadang dramatik. Ada yang dihukum 2 tahun karena mencuri handphone, berkelahi dengan teman, pelecehan, dan lainnya. Berdasarkan data Lapas, sebanyak 3 orang karena kasus kesusilaan, 3 orang kasus penculikan, 2 pencurian, dan lainnya.
Hukuman terpanjang sampai dengan 18 tahun juga terpaksa dijalani 3 napi anak karena statusnya sebagai anak negara. “Walau hukuman mereka satu tahun tapi tak ada keluarga yang mau mengurus mereka di luar maka statusnya anak negara,” ujar Kalapas Anak, Samsul Rizal.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Bali Anak Ayu Sri Wahyuni mengatakan napi anak berhak mendapat pendidikan mengacu pada Undang-undang (UU) no 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 UU ini menyatakan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat dan bakatnya. Pasal 48 UU ini menyatakan pendidikan tersebut harusnya diselenggarakan oleh pemerintah.
Namun, UU Perlindungan Anak itu hingga kini tak bisa dipenuhi oleh Dinas Pendidikan dan pengelola Lapas Anak satu-satunya di Bali ini. Alasannya pun aneh, jumlah napi belum mencapai 20 orang sehingga tak cukup untuk syarat pengadaan pendidikan luar sekolah. “Kami masih mengusahakannya,” ujar Samsul.
Sri Wahyuni menyebut seluruh napi juga harus mendapat konseling pengelolaan trauma karena anak-anak belum bisa mengelola emosinya sendiri. Trauma healing ini diperlukan untuk beberapa kasus berat seperti pembunuhan dan pemerkosaan.
Misalnya yang terjadi pada napi baru, I Kadek St, 15 tahun yang dinyatakan menjadi pemerkosa dua adik perempuannya di Karangasem. Kadek dalam sejumlah pengakuan tak merasa bersalah melakukan pemerkosaan karena kerap melihat hal yang sama dilakukan oleh teman dan ayahnya sendiri.
Kadek kini memasuki masa yang labil di Lapas, tanpa pernah ditengok kerabat. Ia tak bisa berbahasa Indonesia dan buta huruf. Ia divonis empat tahun sekitar sebulan lalu oleh Pengadilan Negeri Amlapura.
Sayangnya trauma healing ini baru bisa diberikan sekali dua kali dalam setahun ketika ada relawan datang saja. [b]
Comments 1