Teks dan Foto Anton Muhajir
Suara takbir terdengar di Banjar Dinas Saren jawa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali pada Idul Fitri Jumat pekan lalu. Sore itu, puluhan remaja Saren Jawa pulang ke rumah masing-masing sambil membawa dulang (tempat makanan) dengan tutup nare, terbuat dari daun lontar.
Mereka baru saja usai melaksanakan ritual makan bersama saat hari raya bagi umat Islam itu. Ritual disebut megibung ini selalu dilaksanakan umat Hindu di Karangasem usai upacara agama. Begitu pula dengan umat Islam di Saren Jawa.
Usai sholat Jumat pada saat Idul Fitri Jumat pekan lalu umat Islam setempat megibung lagi di masjid Nurul Hayat, satu-satunya masjid di kampung berpenduduk sekitar 125 keluarga ini. Di pagi harinya, mereka sudah megibung juga usai sholat Ied, sholat pada pagi hari saat Idul Fitri. Sorenya mereka kembali megibung yang dilanjut dengan takbiran.
Bagi warga Saren Jawa, megibung saat Idul Fitri bukan hanya perayaaan usai puasa selama Ramadhan tapi juga menikmati kebersamaan. “Saat megibung kami merasakan indahnya kebersamaan,” kata Ketut Syukur Yahya, salah satu pemuda. Menurut Yahya, kebersamaan itu terasa karena saat megibung mereka bisa saling menikmati makanan yang dibawa orang lain.
“Saya bisa menikmati daging ayam teman saya kalau saya ingin. Dan sebaliknya, teman saya juga bisa mengambil menu yang saya bawa kalau dia ingin. Di sini kami saling berbagi,” ujar Yahya.
Megibung merupakan salah satu tradisi di Kampung Saren Jawa. Hampir semua warga di kampung di tengah perkampungan Hindu yang mengelilinginya di Budakeling ini muslim. Mereka memang keturunan Bali yang beragama Islam, bukan Hindu seperti umumnya orang Bali. Karena itu pula, mereka masih melakukan ritual-ritual yang biasa dilakukan umat Hindu lainnya.
“Kami memang orang Bali. Hanya keyakinan kami berbeda dengan sebagian besar saudara kami yang lain di Bali,” kata Komang Thoyib, pemuda lain di desa tersebut.
Selain ritual megibung, sejumlah ciri khas Bali juga masih melekat pada mereka. Sehari-hari mereka berbahasa Bali. Nama-nama warga setempat pun masih menggunakan nama Bali di depan nama muslimnya. Sore itu, misalnya, Komang Thoyib dan Ketut Syukur Yahya sedang berbincang dengan Wayan Lukmanul Hakim dan Wayan Ikhwanul Muslimin di beranda masjid.
Bagi warga setempat, pelaksanaan ritual megibung maupun penyematan nama Bali di depan nama muslim merupakan bagian dari upaya mereka menjaga identitas kebaliannya. “Kami ingin menunjukkan bahwa Islam dengan Bali maupun Hindu bisa saling berdampingan tanpa harus saling menghilangkan ciri khas masing-masing,” kata Thoyib.
Karena itulah, Thoyib, Yahya, Ikhwan, maupun Lukman mengaku bangga bisa menjaga dan merawat perbedaan tersebut. “Kami malah sering risih kalau ada orang Islam yang ngomong seolah-olah Islam itu harus sama dengan Arab,” tambah Thoyib.
Menurutnya, sejak kecil mereka sudah ditanamkan kesadaran bahwa Islam dan Bali ataupun Hindu bisa hidup berdampingan. Bahwa Islam harus menghormati nilai dan budaya lokal selama tidak merusak aqidah. “Karena itu ketika ada pihak lain yang mau menghilangkan ciri khas keislaman kami mereka pasti tidak berhasil di desa ini,” kata Yahya.
Upaya merawat kebersamaan dengan umat Hindu di banjar sekitarnya juga mereka wujudkan dengan saling mengunjungi saat hari raya masing-masing, seperti Idul Fitri bagi orang Islam dan Galungan maupun Kuningan bagi umat Hindu. Warga Saren Jawa akan membawa jotan, makanan untuk tetangga, pada tetangganya yang Hindu. Sebaliknya, saat umat Hindu sedang Galungan, mereka juga akan ngejot ke tetangganya yang muslim.
Bahkan, menurut Thoyib, ketika beberapa griya di Budakeling merayakan odalan pun muslim setempat akan diundang untuk hadir dan mendoakan. Sebaliknya, pada saat muslim Saren Jawa melakukan doa bersama, mereka akan mengundang griya atau banjar lain. “Tapi, kami juga saling menjaga agar satu sama masih saling menghargai ritual masing-masing,” ujarnya.
Sebagai contoh, pada saat diundang untuk odalan di pura desa tetangga, muslim Saren Jawa dipersilakan untuk masak sendiri agar lebih nyaman tanpa takut tercampur dengan makanan babi. Tempat doa juga disediakan khusus. Umat Hindu juga akan mendapat tempat tersendiri ketika berdoa di Saren Jawa.
Saren Jawa hanya salah satu dari belasan desa komunitas muslim di Karangasem. Di sekitar desa ini juga ada Kecicang, Subagan, Bungaya Timur, Telaga Mas, Ujung Pesisih, dan lainnya. Desa-desa muslim ini sebagian besar terbentuk setelah Raja Karangasem pada abad 17, Anak Agung Ketut Anglurah Karangasem menaklukkan Kerajaan Lombok. Raja Karangasem ini kemudian memberikan hadiah pada anggota pasukan beragama Islam yang membantunya.
Komunitas yang diberikan lahan ini pun teguh menghormati budaya setempat. Di Saren Jawa sebagai contoh masjid tertua di sana yang oleh warga setempat disebut santreng dulunya berbentuk seperti pura dengan meru puncak pitu. Santreng bernama Fathul Jalil ini kini tak lagi digunakan.
Meski demikian ada pula komunitas muslim yang terbentuk oleh pedagang dari Sulawesi tak hanya dari Jawa atau Lombok. Salah satunya di Desa Bungaya Timur, Kecamatan Bebandem di mana terdapat makam perintis Islam di sini, Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus, yang berasal dari Sulawesi. Makam ini berdampingan dengan setra umat Hindu setempat.
Mochdar, anak kelima Zainal, mengatakan ketika mengenalkan Islam di Bali, bapaknya tak punya tempat khusus semacam pesantren. Dia membaur dengan umat lain di desa tersebut terutama dengan komunitas muslim dari Lombok. Meski demikian oleh warga setempat, dia dianggap sebagai guru. Karena itu pula hingga saat ini makam Zainal Abidin pun menjadi salah satu tempat yang dikunjungi umat Islam setempat terutama pada saat hari raya, seperti Idul Fitri lalu.
Jumat siang lalu, puluhan peziarah dari Desa Ujung Pesisi, Kecamatan Karangsem, berdoa di sekitar pusara Zainal Abidin yang ditembok dan dikelilingi tirai putih. Mochdar memimpin doa selama sekitar satu jam itu. Peziarah lain, laki-laki dan perempuan berbusana muslim, duduk lesehan mengamini doa Mochdar. Bau harum bunga tercium di tempat tersebut.
Usai berdoa, beberapa peziarah meminum air berisi kembang seperti yang biasa dipakai para pemangku dalam upacara agama Hindu. Tak sedikit peziarah yang mengambil air tersebut lalu memercikkan ke wajah anak-anak yang bersama mereka.
Menjelang pulang, satu per satu mengambil bunga yang ada di sekitar pusara. Ada pula yang mengusap nisan makam Zainal Abidin lalu mengusap wajahnya. “Semoga kami mendapat berkah,” kata Mukirah, salah satu peziarah.
Apa yang dilakukan para peziarah merupakan ritual yang dilakukan secara turun temurun. Bagi Mukirah ritual tersebut penghormatan pada leluhur mereka termasuk menghormati ritual yang dilakukan orang Bali.
Bagi Mochdar, lokasi pemakaman Zainal Abidin di perkampungan Hindu juga bagian dari bentuk toleransi antaragama di Bali. Menurut Ketua Ketua Takmir Masjid Al-Huda Banjar Telaga Mas ini, hingga saat ini umat Islam dan Hindu juga tetap saling menjaga persaudaraan di antara mereka. Misalnya dengan saling berkunjung saat ada upacara kawin atau kematian.
Menurut Mochdar, toleransi antaragama tersebut sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu oleh Puri Karangasem. “Dulu (sebelum ada listrik), Puasa biasa mendapat bantuan minyak tanah dari Raja Karangasem untuk penerangan lampu agar bisa tadarus,” kata Mochdar.
Tradisi lain yang masih dilakukan adalah ngejot, berbagi makanan saat hari raya. Sayangnya, tradisi tersebut kini makin jarang dilakukan warga setempat. Alasannya, “Karena paceklik,” ujar Mochdar. [b]
Harmony in diversity. Tulisan yang sangat inspiratif oom. Ini quote yang paling saya suka : “Kami ingin menunjukkan bahwa Islam dengan Bali maupun Hindu bisa saling berdampingan tanpa harus saling menghilangkan ciri khas masing-masing,”. Thats the essence of bhinneka tunggal ika.
makasih da info ttg my campunk