Usai meluncurkan 15 lagu dalam kompilasi Sonic/Panic Volume 2 di IKLIM Fest, Ubud, Bali kemarin, sejumlah musisi dari kolektif Music Declares Emergency menyelenggarakan mini-konser “Pada Panic!” yang dilaksanakan secara berkolaborasi dengan Trend Asia di Peguyangan, Denpasar, pada Minggu, 10 November 2024.
Konser lanjutan ini juga diawali dengan diskusi santai yang menggali lebih dalam tentang inspirasi di balik lirik lagu bertema iklim dan keterlibatan mereka dalam menyuarakan isu-isu lingkungan. Mini-konser dan diskusi Pada Panic! ini dihadiri Robi Navicula, Wake Up Iris, Rhosy Snap, Las!, Poker Mustache, Bachoxs, BSAR dan Daniel Rumbekwan.Selain bermusik, para musisi juga mengadakan diskusi mengenai proses kreatif dari penyusunan album Sonic/Panic; album kolaborasi bertema iklim yang diluncurkan satu hari sebelumnya.
Para musisi menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai dampak krisis iklim yang semakin mengancam. Album Sonic/Panic vol. 2 disusun oleh para musisi setelah berdiskusi dengan berbagai komunitas dan organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu lingkungan dan iklim. Beberapa bahkan telah berkunjung ke situs kerusakan alam akibat deforestasi yang terjadi di Kalimantan Barat. Diaz Mraz, drummer band Las! dari Pontianak, turut menyampaikan proses kreatif penyusunan lagu yang mencakup lokakarya isu iklim dan kunjungan ke lapangan.
“Kami berkunjung ke masyarakat Dayak Kualan Hilir, yang telah hidup dari hutan selama beberapa generasi. Namun, tiba-tiba, hutan yang mereka andalkan dirampas dan dijual oleh pemerintah pada industri perkayuan. Bahkan ada indikasi bahwa kayu mereka dapat digunakan sebagai bahan bakar listrik,” kisah Diaz. “Setelah ngobrol bareng dan mendapatkan banyak pendalaman isu, serta setelah berkunjung langsung ke lokasi kerusakan, jauh lebih mudah untuk menyusun lagu dengan pengalaman personal kami. Kini kami ingin berbagi dan mendorong masyarakat dan penggemar musik untuk ikut bersuara tiap hari menyerukan isu iklim dan lingkungan”, lanjutnya.
Rhosy Snapp, rapper asal Fakfak, Papua, turut menyuarakan aspirasinya untuk menyuarakan isu kerusakan lingkungan di kampung halamannya. “Hutan dan alam Papua sekarang semakin terancam perusakan dan deforestasi. Mulai dari sawit dan perkayuan, hingga pengembangan LNG di Fakfak. Dampaknya sudah terasa, tapi belum terhubung kesadaran masyarakat bahwa efek tersebut terhubung(dengan kerusakan alam). Dengan musik, saya berusaha membangun kesadaran itu,” ujar Rhosy.
Vania Marisca dari band Wake Up Iris dari Malang, ikut menyuarakan pengalamannya bersama Music Declares Emergency. “Sejak awal, isu lingkungan adalah salah satu spirit dari Wake Up Iris. Bekerja bersama dengan Music Declares Emergency membuka kesempatan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk melanjutkan semangat ini secara lebih luas dan tepat,” ujar Vania.
“Kami ingin menyuarakan kesadaran iklim dengan cara yang sederhana: kita itu adalah bagian dari alam. Apapun kerusakan yang kita lakukan terhadap alam akan berdampak kembali pada diri kita. Dengan mendorong kesadaran dan memulai dengan hal-hal yang lebih kecil seperti merawat alam yang dekat dengan kita, perlahan kita bisa mendorong perubahan yang lebih besar,” tutup Vania.
Para musisi berharap bahwa melalui musik dan kesenian, mereka bisa turut mendorong kesadaran publik untuk mendesak kebijakan yang ramah lingkungan dan tegas dalam perang melawan perubahan iklim. Bali semakin terdampak krisis iklimBali, yang dipilih sebagai lokasi IKLIM Fest, telah lama terdampak oleh krisis air, alih-fungsi lahan, kerusakan koral, dan erosi pantai. Krisis iklim akan memperparah berbagai ancaman ini dengan kenaikan suhu dan permukaan air laut, yang akan merusak alam yang diandalkan Bali sebagai daya tarik pariwisata.
Tekanan industri pariwisata telah mendorong Bali ke dalam ancaman krisis air bersih. Kawasan pariwisata dan perhotelan yang rakus air serta alih fungsi lahan yang mempersempit tutupan lahan dengan beton mendesak pasokan air yang sudah terbatas. Krisis iklim berpotensi memperburuk situasi ini dengan perubahan cuaca ekstrem.Bahkan, sistem sawah Subak Bali yang merupakan salah satu warisan budaya UNESCO, terancam hancur oleh situasi ini. Ia bisa punah akibat kerentanan terhadap cuaca panas, banjir, dan kemarau panjang yang diprediksi dapat terjadi pada 2050[2].
Sementara naiknya permukaan laut akan mengancam erosi yang telah lama merenggut pantai Bali. Kenaikan suhu juga akan memperparah kerusakan hutan mangrove, rumput laut dan koral. Di Nusa Penida, masyarakat yang bergantung pada pertanian dan ekowisata rumput laut sudah merasakan dampaknya. Kresna Yoga Mahaputra, vokalis dari grup band BSAR asal Bali, menyuarakan keresahannya terkait dampak kerusakan iklim pada lingkungan Bali.
“Kami melihat bagaimana dampak krisis iklim terhadap lingkungan dan masyarakat Bali. Di Nusa Penida, peningkatan suhu dari perubahan iklim telah berujung pada coral bleaching (pemutihan koral). Hal ini bukan hanya merusak keindahan, tetapi juga akan berdampak pada ekosistem ikan di wilayah koral. Ini sangat vital bagi masyarakat Nusa Penida yang sangat bergantung pada turisme,” ujar Kresna.
“Kami berharap bahwa dengan musik, kami bisa mengedukasi publik mengenai dampak krisis iklim. Kami ingin mendorong pariwisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, untuk menjamin cara hidup masyarakat hingga di masa depan,” tutup Kresna.