Musik Prancis dan Sunda akan bertemu di Bali akhir pekan ini.
Mereka akan berkolaborasi dalam konser musik klasik bertajuk “Negeri yang Tlah Hilang: dari Keraton Sunda sampai ke Kediaman Raja-raja Prancis” persembahan grup musik Prancis, Doulce Mémoire dan maestro musik Sunda Yoyon Darsono.
Kolaborasi tersebut merupakan rangkaian festival seni Prancis-Indonesia: Festival Printemps Français 2016, Institut Prancis di Indonesia (IFI).
Konser akan diadakan pada Sabtu, 7 Mei 2016 di Bentara Budaya Bali (BBB).
Pada Festival Printemps Français 2015, Doulce Mémoire melakukan tur di Indonesia dan bertemu musisi tradisional Sunda; Yoyon Darsono, penembang Hendrawati Ashworth dan Dede Suparman. Tahun ini mereka berkolaborasi dalam proyek musikal yang akan membawa kita menjelajahi keagungan ensambel kerajaan Sunda sampai kerajaan di Prancis.
Pada pertunjukan di Bali ini, Institut Prancis di Indonesia (IFI) bekerja sama dengan Bentara Budaya Bali. Sebelumnya, dalam kerja sama serupa, di Bentara Budaya Bali juga sempat ditampilkan pertunjukan musik kolaborasi musisi Prancis Gran Kino dan band indie Indonesia, Sarasvati (Juni 2015).
Denis Raisin Dadre, flutist spesialisasi musik Renaisans yang membentuk ensambel Doulce Mémoire pada 1989 mengatakan setelah latihan intensif, mereka siap menuju konser bersama. “Tantangan terbesar adalah komunikasi, kendala bahasa dan tak tersedianya buku atau naskah tertulis,” katanya.
Toh, itu semua bukan kendala. Musik memiliki kekuatan besar sebagai ‘bahasa’ pengantar dalam berkomunikasi dengan orang dari kultur berbeda. “Hasilnya, kami akan mempersembahkan perpaduan musik abad ke-14 Prancis dengan musik Sunda kuno dalam sebuah konser perjalanan musikal,” lanjutnya.
Doulce Mémoire
Beranggotakan musisi dan vokalis yang setia pada jalur musiknya. Ensambel Doulce Mémoire memainkan musik Renaisans yang disesuaikan dengan konteks kekinian seperti kabaret Renaisans (musik yang dipadukan dengan pembacaan naskah sastra hingga requiem di istana raja-raja).
Kreativitas dan inovasi adalah ciri khas utama ensambel yang secara rutin mengundang aktor atau penari dalam pertunjukan mereka. Produksi musik mereka beragam; dari Requiem pour Anne de Bretagne yang serius hingga l’Honnête courtisane yang jenaka.
Ensambel yang telah meraih berbagai penghargaan, antara lain Gran Prix de l’académie Charles Cros, Choc de la Musique, Diapason d’or dan Télérama ini digawangi oleh Denis Raisin Dadre. Ia menempuh pendidikan di konservatori di Lyon, Jenewa dan Paris, meraih gelar sarjana musikologi dan sertifikasi flute serta bermain sebagai flutist dalam berbagai orkestra. Selain di Doulce Mémoire, ia pun tergabung dalam trio flute I Dilletanti.
Pengajar tetap di Conservatoire de Tours ini juga menjadi dosen tamu di sekolah musik di Gijon (Spanyol), Chiquitos (Bolivia), Praha (Cekoslowakia) dan Havana (Kuba). Ia turut mendirikan l’Académie internationale Le Droict Chemin de Musique yang tiap tahun menerima vokalis muda berbakat dari berbagai negara. Atas dedikasinya bagi dunia musik klasik, ia mendapat anugerah lencana tanda jasa Chevalier des Arts et des Lettres dari Kementerian Kebudayaan Prancis pada tahun 1999.
Doulce Mémoire gemar melakukan perjalanan dan petualangan artistik untuk bertemu berbagai kelompok musik tradisional dan klasik lain dari berbagai negara. Tampil di berbagai pertunjukan opera, festival dan panggung baik di Prancis ataupun mancanegara (New York, Hong Kong, Riga, Bruxelles, Rome, Mexico, Seoul, Singapura, dll), ensambel ini tampil luwes baik di trotoar jalanan di tengah kota Paris yang ramai maupun di tengah istana kerajaan di Istambul yang syahdu.
Dalam perjalanan musiknya, ensambel Doulce Mémoire mendapat inspirasi dari pertemuan dengan musisi lain seperti grup musik Hang Tang Yuefu dari Taiwan, penyanyi Taghi Akhbari dari Iran dan seniman Kudsi Erguner dari Turki. Selain tampil secara live, mereka juga merilis album antara lain Morales’ Office des Ténèbres du Monde (2002), du Caurroy’s Les Meslanges (2005) dan Laudes (2009).
Adapun Yoyon Darsono adalah pengamat seni dan budaya Sunda sekaligus Dosen Seni Institut Seni dan Budaya Indonesia. Dia tergabung dalam Komodo Project bersama drummer Gilang Ramadhan dan bassist Pra Budi Dharma. Ketiganya tampil di Auckland Indonesia Festival tahun 2015 dengan menampilkan musik tradisional Indonesia.
Maestro musik Sunda yang menguasai berbagai macam alat musik karawitan seperti rebab, suling dan terompet tersebut juga tergabung dalam grup jazz Krakatau yang digawangi Dwiki Darmawan dan bermoto, “Karawitan within the progression of modern sound”. Ia juga sering menjadi pembicara dalam berbagai diskusi dan sanggar kerja seperti Sanggar Kerja Tari Rakyat dan Tata Rias Karakter Sunda di Padepokan Seni Jamparing Parikesit Jatinangor pada tahun 2015.
Printemps Francaise merupakan sebuah festival tahunan dalam rangka menyambut musim semi di Perancis. Sejak edisi pertamanya pada 2005, Printemps Français telah menjadi ajang pertemuan seni yang patut diperhitungkan di Indonesia. Pertama, secara kuantitas terbilang besar dengan 250 acara dan 450 seniman yang terlibat antara tahun 2012 – 2015; kedua, berkat keragaman seni yang ditawarkannya: musik klasik, pop rock, tari hip hop, fotografi, teater boneka, sastra, dll.
Tahun ini Printemps Francaise diselenggarakan pada 28 April hingga 11 Juni 2016 di 10 kota di Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Balikpapan, Bandung, Makassar, Malang, Medan, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.
Untuk perayaan Printemps Francaise di Bali, ada juga beberapa agenda seni seperti pertunjukkan teater kontemporer Wayang Layang: L’Oiseau (Sang Burung), kolaborasi musik klasik Prancis-Sunda Doulce Memoire & Maestro Musik Sunda: Musik dari Negeri yang Tlah Hilang, konser musik Jazz, Baptise Trotignon & Minino Garay, pameran arsitektur kolaboratif Prancis-Bali: Arsitektur Masa Depan, dan Pawai Kebudayaan yang sekaligus akan menutup perayaan Printemps Francaise 2016. [b]