Hasil survei Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2024 mengalami penurunan. Pada tahun 2023 sebesar 3,92 persen kini di tahun 2024 menjadi 3,85 persen.
Sebenarnya apa tujuan survei IPAK? Tujuannya mengukur persepsi masyarakat terhadap perilaku korupsi, sosialisasi dan pengetahuan tentang antikorupsi. Ada tiga dimensi yang menjadi ukuran yaitu persepsi keluarga, persepsi komunitas dan persepsi publik.
Pada persepsi keluarga ada 8 indikator, persepsi komunitas 5 indikator, dan persepsi publik sebanyak 14 indikator. Survei ini juga menelaah dari sisi pengalaman masyarakat saat menggunakan atau berinteraksi dengan layanan publik dan pengalaman lainnya
Semakin baiknya persepsi seseorang terhadap perilaku korupsi tidak otomatis akan diterapkan dalam perilaku atau pengalamannya, maka nilainya fluktuatif. Selama berinteraksi maupun mengakses layanan publik, apakah kita sudah terbebas dari perilaku koruptif?
Para responden survei IPAK ini berusia 18-65 tahun, rumah tangga non-susenas. Tahun 2023 sebanyak 10.800 responden dan 2024 sebanyak 11.000 responden. Pada tahun 2023 pertanyaan survei ini seputar penyuapan, pemerasan nepotisme, gratifikasi dan 9 nilai antikorupsi.
Ada beberapa momentum penurunan IPAK di beberapa tahun. Misalnya, pada tahun ini momentum pemilu dengan ramainya permainan politik dinasti dan pelanggaran lainnya menjadi andil besar penurunan nilai IPAK. Tahun 2023, momentum Ketua KPK menjadi tersangka korupsi juga jadi indikasi penurunan nilai IPAK.
Korupsi Kecil-kecilan dan Dampaknya
IPAK berfokus pada petty corruption atau korupsi kecil-kecilan yang dialami ranah keluarga, komunitas maupun publik. Lingkungan keluarga pada survei IPAK mengalami penurunan. Penurunan drastis pada persepsi tentang asal-usul uang tambahan yang dibawa pasangan, dari 75,58 persen jadi 71,98. Artinya turun 3 persen.
Pembahasan IPAK dibicarakan pada FGD terkait peningkatan nilai IPAK. Diskusi yang dilaksanakan GIZ dan KPK pada Kamis, 18 Juli 2024 di Jakarta. Sely Martini selaku fasilitator FGD memandu jalannya diskusi dan pemaparan hasil survei IPAK. Bahasan IPAK mengenai budaya menggunakan barang milik keluarga tanpa izin berdampak pada budaya koruptif di masa datang. “Ada yang tidak bisa membedakan mana barang pribadi atau publik, budaya memiliki barang publik bukannya dirawat tapi dicuri,” ujar Sely pada Kamis (18/07) di Wyndham Casablanca.
Kisruh PPDB di sejumlah daerah karena perilaku curang memasukkan anak ke KK yang dekat dengan zona jadi salah satu sorotan dalam diskusi. Kecurangan ini terjadi melibatkan orang tua maupun petugas catatan sipil. Sehingga, upaya pencegahan sejak ranah keluarga penting dilakukan. FGD ini menghasilkan luaran berupa kurikulum sebagai bahan untuk sosialisasi antikorupsi.
Pembelajaran antikorupsi menurut Selly dapat dilakukan melalui mendengarkan kisah sukses PPDB di daerah lain misalnya Jakarta. Cara lainnya dengan mengenali motivasi perilaku koruptif dengan kajian psikologi. Ifa Hanifa Misbach, akademisi ilmu psikologi dari Universitas Pendidikan Indonesia menjelaskan dari sisi psikologis.
Ifa menjelaskan tentang modifikasi perilaku ada beberapa hal yang dibahas. Seperti faktor yang menyukseskan pendidikan karakter, yaitu perilaku role model yang konsisten dan pengkondisian yang konsisten. “Apakah ada tokoh-tokoh seperti ini di KPK atau di kepolisian, apakah ada Hoegeng?” tanya Ifa sambil menunjuk foto Hoegeng, role model polisi jujur di layar presentasinya.
Membandingkan dengan masa kini, belum ada tokoh yang dapat menjadi role model. Ifa melanjutkan, apabila contoh perilaku korup kian bertambah dari para pejabat maka akan sulit mengubah perilaku koruptif.
Metode modeling yang digunakan untuk menghadirkan contoh perilaku yang diberikan kepada individu agar mendorong individu lainnya untuk terlibat. Ada empat pembelajaran yang dapat dilakukan melalui metode modeling, diantaranya belajar imitasi, belajar observasi, belajar sosial, belajar pengalaman.