Internet dan jejaring sosial memudahkan warga bersuara di dunia maya.
Jika sebelumnya warga Bali kurang bisa terlibat untuk memproduksi informasi, maka kini tidak lagi. Internet merupakan faktor penting untuk mendorong perubahan itu. Internet melahirkan pula jejaring sosial (social network) yang tak cuma memudahkan tapi juga mengubah budaya warga di pulau ini.
Demikian kurang lebih hasil riset Sloka Institute pada pertengahan tahun lalu. Hasil riset sendiri baru dipublikasikan November 2012 lalu di Jakarta. Riset ini dikerjakan Sloka Institute dengan dukungan Centre for Innovation, Policy, and Governance (CIPG), Hivos, dan Ford Foundation.
Saya termasuk salah satu tim peneliti ini bersama Agus Sumberdana dan Putu Surya Wedra. Objek riset kami adalah blog BaleBengong.net ataupun akun Twitternya, @BaleBengong. Saya dan Sumberdana alias Gus Tulang termasuk admin keduanya. Jadi ya sudah pasti riset kami ini bias. Lha wong kami riset tentang diri kami sendiri kok.
Tapi ya memang inilah tujuan riset ini, bahasa kerennya riset partisipatif.
Ada tiga pertanyaan yang ingin kami jawab melalui riset tersebut. Pertama, sejauh mana perkembangan Internet dan jejaring sosial di Bali? Kedua, bagaimana perkembangan media arus utama di Bali? Dan, terakhir, bagaimana dampak perkembangan jejaring sosial pada partisipasi warga dalam jurnalisme warga?
Kami menggunakan metode campuran dalam riset ini, kualitatif dan kuantitatif. Selain dengan studi pustaka juga ada wawancara, survei, dan diskusi terfokus. Menggunakan metode tersebut, hipotesis kami pun terbukti, bahwa perkembangan internet berpengaruh terhadap partisipasi warga dalam jurnalisme warga memang terbukti.
Inilah sebagian hasil riset tersebut.
Terus Meningkat
Pertama soal perkembangan internet dan jejaring sosial di Bali. Seperti fenomena global serta data nasional, jumlah pengguna Internet dan jejaring sosial di Bali pun terus meningkat. Peningkatan jumlah pengguna ponsel berdampak pada makin tingginya jumlah pengguna Internet di Bali. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2010), persentase rumah tangga di Bali yang pernah mengakses Internet selama empat tahun terakhir juga terus meningkat, yaitu 6,65 persen (2006), 7,10 persen (2007), 8,50 persen (2008), dan 12,36 persen (2009).
Dengan 879.685 rumah tangga Bali pada tahun 2009 (BPS Bali, 2012), artinya, hingga tahun 2009 terdapat 108.729 rumah tangga di Bali pernah menggunakan Internet melalui berbagai media, seperti warung Internet, rumah, kantor, ataupun ponsel.
Dengan asumsi bahwa satu rumah tangga terdiri dari 4 orang, maka maka jumlah pengguna Internet di Bali sekitar pada tahun 2009 tersebut sekitar 450.000 pengguna Internet di Bali.
Dari sekian jumlah pengguna Internet di Bali tersebut, sebagian besar aktif berjejaring sosial. Menurut BPS (2010), secara nasional 92,5 persen warga menggunakan Internet untuk jejaring sosial, mencari informasi aktual (89 persen) dan bekerja (76,3 persen).
Data-data pengguna Internet dan jejaring sosial di Bali tersebut sejalan dengan hasil survei untuk melengkapi riset ini. Dari 401 responden, sebagian besar mengakses Internet dari ponsel (70,7 persen), selain dari rumah dengan komputer jinjing (laptop) (60,7 persen), dari kantor (34,6 persen), dari rumah dengan komputer pribadi (25,4 persen), dan warnet (18,6 persen).
Cenderung Seragam
Kedua, perkembangan media arus utama di Bali. Seperti daerah lain di negeri ini, Bali turut menikmati kebebasan pers pasca-Reformasi 1998. Pada zaman Orde Baru, media cetak harian di Bali terbatas pada dua media besar, Bali Post dan Nusa Tenggara (sekarang jadi NusaBali). Setelah tahun 1998, terdapat lebih dari 10 harian. Pada 1998 terdapat 12 media cetak di Bali, terdiri dari harian, mingguan, dan dua mingguan. Namun, pada 2004, jumlah media cetak di Bali naik menjadi 32, baik itu harian, mingguan, dua mingguan, bulanan, dua bulanan, maupun tiga bulanan.
Menurut Rofiqi Hasan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasars, setelah adanya Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999, mulai muncul banyak koran lain di Bali, seperti Radar Bali, Fajar Bali, Warta Bali, Koran Bali, Bali Tribune, dan lain-lain. Namun, bertambahnya media baru ini tak berarti menambah jumlah pembaca media. Sebab, secara logika, jumlah warga sebagai konsumen media itu
Selain media cetak, media elektronik di Bali pun terus bertambah seiring makin terbukanya informasi. Sejak awal tahun 2000-an, mulai muncul stasiun-stasiun televisi lokal, sesuatu yang tak pernah ada pada masa Orde Baru. Setelah Bali TV mulai mengudara pada tahun 2002, muncul stasiun televisi lokal lain, seperti Dewata TV, Alam TV, dan Bali Music Channel (BMC). Peningkatan jumlah media juga terjadi di media radio. Menurut Wayan Kotaniartha, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dwijendra, saat ini ada 50 radio legal dan 20 radio baru yang sudah mengajukan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).
Begitu pula dengan media daring di Bali. Perkembangan teknologi informasi memicu lahirnya media-media daring, seperti Berita Bali, Metro Bali, Jurnal Bali, Berita Dewata, Bentara Bali, dan Seputar Bali. Kecuali Berita Bali yang sudah terbit sejak 2004 silam, media-media lainnya relatif baru, baru muncul satu atau dua tahun terakhir. Semua media memiliki karakter relatif sama, menampilkan berita-berita langsung antara 5-10 paragraf. Dari sisi materi berita juga tak terlalu banyak perbedaan antara satu media daring dengan media daring lainnya.
Kurang beragamnya isi media arus utama ini tak hanya terjadi di media daring. Media cetak pun isinya satu sama lain tak jauh berbeda. “Media arus utama (di Bali) makin bertambah banyak, namun variasi informasinya sangat sedikit,” kata Rofiqi.
Agung Wardana, dosen Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, sekaligus kontributor BaleBengong memiliki pendapat sama dengan Rofiqi Hasan. “Kalau kita bicara media mainstream, kita bicara keseragaman berita. Hampir seragam dari satu media ke media lainnya,” kata Wardana.
Partisipasi Warga
Pertanyaan terakhir, bagaimana dampak perkembangan jejaring sosial pada partisipasi warga dalam jurnalisme warga? Hasilnya ternyata menyenangkan juga. Setidaknya yang ngomong ini bukan kami sendiri tapi para narasumber. Hehehe..
Melalui analisis terhadap jawaban-jawaban narasumber, maka peran BaleBengong tersebut secara garis besar adalah sebagai (1) suara alternatif di antara media arus utama, (2) penyeimbang media arus utama, (3) media membangun kepercayaan sesama warga, (4) tempat berdiskusi, (5) media belajar tentang jurnalisme, serta (6) sumber informasi bagi media arus utama.
Dengan mengandalkan kontribusi tulisan dari warga, maka sebagian besar tema tulisan di blog BaleBengong pun bukanlah tema-tema yang sudah ada di media arus utama. Ataupun jika artikel tersebut ditulis karena terinspirasi dari media arus utama, maka perspektif tulisan akan lebih personal sesuai dengan sudut pandang warga, bukan penulis profesional.
Menurut Made Wirautama, BaleBengong bisa menjadi pelengkap, alternatif sekaligus penyeimbang. Ketika media arus utama ngomong A, maka warga kemudian kan juga bisa ngomong menurut warga sendiri. “Dia menjadi penyeimbang informasi agar tidak dimonopoli oleh media arus utama,” kata Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua dan Kontributor BaleBengong itu.
Dengan cara langsung mendapatkan dan meneruskan informasi warga, maka muncullah peran ketiga melalui jurnalisme warga, kepercayaan sesama warga untuk berbagi informasi. “Karena BaleBengong mungkin lebih indie, maka saya lebih percaya. Kalau di media arus utama kan satu sisi,” kata Komang Indra Suryadi, arsitek dan pembaca BaleBengong.
Semua partisipasi warga tersebut bisa terjadi ya karena kemajuan teknologi informasi. Namun, tak cuma itu. Kemajuan teknologi informasi ini pun berdampak banyak pada partisipasi warga tersebut.
Jejaring sosial memengaruhi partisipasi warga dalam pengelolaan informasi, termasuk dalam jurnalisme warga melalui BaleBengong. Interaksi dan partisipasi warga ini memang paling terasa justru setelah maraknya jejaring sosial, terutama Twitter. Menurut para narasumber, pengaruh jejaring sosial terhadap partisipasi warga ini antara lain (1) perubahan kultur dalam berkomunikasi, (2) mendorong warga untuk kritis, (3) mempercepat pertukaran informasi antarwarga, dan (4) memudahkan mengumpulkan informasi.
Jejaring sosial mengubah kultur warga Bali dalam berkomunikasi. Jika selama ini warga lebih banyak berkomunikasi secara lisan (oral), maka sekarang warga, terutama anak-anak muda di perkotaan, lebih banyak berkomunikasi melalui tulisan (teks). Dari semula lebih banyak berdiskusi secara langsung, face to face, mereka kini lebih aktif di jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook.
Kultur baru ini tak akan menggantikan kultur lama, namun dia melengkapi. Warga kemudian terbiasa menuliskan pemikiran-pemikirannya melalui jejaring sosial meskipun dalam format amat pendek, maksimal 140 karakter.
Demikianlah kurang lebih hasil riset kami tentang BaleBengong dan jurnalisme warga di Bali. Hasil lengkap bisa diunduh di website Media Rights. Di sana juga ada ulasan dari salah satu peneliti sehingga informasinya lebih berimbang. [b]
Maju terus…. Trus, kapan ngeblog lagi? haha