Kaos Bali Tolak Reklamasi (BTR) kembali jadi korban.
Kali ini pelarangan kaos BTR terjadi di Youth Festival Gianyar akhir pekan lalu. Akibat pelarangan tersebut Youth Festival bahkan dibatalkan pada hari kedua dan ketiga dari rencana semula tiga hari.
Pelarangan ini semakin memperkuat anggapan bahwa sebuah atribut (simbul) bisa menjadi sesuatu yang ‘ditakuti’, terutama ketika dianggap dapat mengganggu kenyamanan mereka yang berkuasa atau yang merasa terhalangi tujuannya. Sudah umum terjadi, ketika sebuah ‘simbul perlawanan’ muncul dan dianggap dapat mengganggu kenyamanan penguasa, maka berbagai cara akan dilakukan untuk membungkam simbul bersangkutan.
Menariknya, serangkaian pembungkaman terhadap atribut BTR itu tidak lantas menyurutkan ‘perlawanan’ rakyat Bali yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) untuk menolak reklamasi Teluk Benoa. Hal itu tersebut justru menjadi semacam vitamin yang tetap merawat semangat mereka.
Atribut atau simbul sebagai sebuah representasi kesadaran bersama semakin menemukan rohnya ketika kesadaran itu lebih bersifat partisipatif (bukan mobilisasi), yang memang lahir dari dalam dan kemudian diwujudkan dalam tindakan atas kemauan sendiri.
Semakin tergerusnya ruang-ruang publik di Bali, terutama pantai semakin mempersempit ruang gerak orang-orang Bali secara umum. Pendirian sebuah fasilitas pariwisata di pantai, apakah itu hotel, restauran, ataupun fasilitas lain, secara otomatis akan ‘mencaplok’ pantai di depannya. Klaim areal pantai di depan hotel oleh pemiliknya sangat membatasi ruang gerak orang-orang lokal yang berwujud pelarangan bagi orang-orang lokal berada di areal pantai bersangkutan.
Makin tergerusnya ruang-ruang publik di Bali makin mempersempit ruang gerak orang-orang Bali secara umum.
“Ngancan nelahan pantai ne. Bendan tongos melasti bisa sing ada ne” (Pantai sudah semakin habis, lama-lama tempat kita untuk melasti bakalan tidak ada). Begitu salah satu ungkapan hati yang sering terdengar.
“Sing bin kudang jahan, tongos raga ne medagang, lakar kena gusur.” (Sebentar lagi tempat jualan kita akan kena gusur).
Ratapan itu saya dengar langsung ketika saya berada di sebuah pantai di Bali yang saat ini berbenah dan menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan domestik tiga atau empat tahun terakhir.
“Jangan mandi di sana, Pak. Di sana arus nya deras!” ujar seorang saptam, ketika saya dan keluarga mandi di bibir pantai. Padahal, ombaknya jauh di tengah dari tempat saya mandi dan hanya berupa riak-riak kecil. Tempat kami mandi memang berada tepat di depan sebuah restoran pinggir pantai.
Kegundahan Ketidakberdayaan
Realita-realita seperti di atas sangat umum terjadi, kemudian menimbulkan semacam ‘kegundahan’ dan hanya sayup-sayup terdengar dalam sejumlah keluhan ‘ketidakberdayaan’. Namun, karena fasilitas-fasilitas tersebut dibangun di atas wilayah privat (kepemilikan pribadi), ketidakberdayaan itu pun tidak kemudian berubah menjadi kesadaran kolektif.
Keadaan menjadi lain ketika wilayah yang bukan wilayah privat mulai diusik investor. Wilayah yang saya maksud adalah Teluk Benoa. Semenjak didengungkannya rencana reklamasi Teluk Benoa, sejak itu pula ‘kegundahan’ mulai muncul terhadap dampak yang ditimbulkan. Apalagi setelah melihat apa yang terjadi dengan Pulau Serangan.
Kegundahan ini kemudian menjadi semacam ‘perlawanan’ yang bukan hanya sebatas kata-kata.
Rakyat Bali, terutama yang ‘ngeh’ dengan niat culas di balik rencana reklamasi Teluk Benoa mulai bangkit. Dari jumlah yang hanya puluhan ketika mulai terbentuk, hingga sekarang mencapai puluhan ribu, membuktikan bahwa gerakan ini tumbuh atas dasar kesadaran yang bersifat partisipatif.
Kesadaran partisipatif ini kemudian direkatkan oleh sebuah atribut BTR yang kemudian menjadi momok menakutkan pihak-pihak yang berada di balik rencana reklamasi Teluk Benoa. Ketakutan itu sangat beralasan, karena pengalaman mereka dalam melarang atau memberangus sebuah atribut/komunitas/gerakan selalu berhasil, namun kali ini justru menemui jalan buntu.
Bali Tolak Reklamasi dibangun atas dasar kesadaran partisipatif yang berakar dari ‘ketidakberdayaan’ orang-orang Bali.
Sepertinya mereka lupa bahwa gerakan BTR dibangun atas dasar kesadaran partisipatif yang salah satunya berakar dari ‘ketidakberdayaan’ orang-orang Bali terhadap gempuran kapital dari investor atas nama pariwisata selama ini. Dan, ketika rakyat Bali menemukan harga diri serta kebanggaan mereka kembali pada usaha perlawanan menolak reklamasi Teluk Benoa, maka segala bentuk larangan atribut, ancaman, intimidasi, kriminalisasi, sudah tidak mempan lagi dan malah menjadi bumerang bagi penguasa/aparat itu sendiri.
Semangat perjuangan rakyat Bali semakin kental ketika mereka menemukan cara melawan yang sangat ‘nyambung’ dengan jiwa mereka, yakni lewat ‘seni’. Sudah diakui bahwa ‘seni’ merupakan bagian penting dalam aliran darah orang Bali. Sehingga ketika mereka menemukan cara ‘melawan’ lewat seni (kreativitas), maka jiwa mereka menyatu dengan ‘simbul perlawanan’ yang menjadi wadah ‘kegundahan’ mereka selama ini.
Dengan demikian segala upaya untuk membendung gerakan BTR ini akan sia-sia saja, kecuali memang sudah ada kepastian bahwa Teluk Benoa tidak jadi direklamasi. [b]
Saya juga dari gianyar, sayang sekali acara yagn disusun dan rapi ini di hentikan…semnagat anak muda gianyar