Energi dan solidaritas melimpah selama Minikino Film Week tahun ini.
Saya baru tahu demikian banyak tenaga dan pikiran untuk memberikan inspirasi melalui dosis kesehatan 465 film pendek dari 69 negara di 11 lokasi pemutaran, 82 kali penayangan serta workshop.
Keheranan saya bermula ketika Tria Nin, salah satu anggota tim Minikino datang mengajak kolaborasi pada awal-awal tahun ini. Agenda kegiatan ini pada 8-15 Oktober 2015. Tapi, Tria sudah datang dan mengajak diskusi tentang festival film internasional kali kedua Minikino, 2nd Minikino Film Week lima bulan sebelumnya.
Even masih jauh tapi kok sudah mengurus kontrak kerja sama dan detail lain di awal-awal tahun. Heboh banget. Saya membatin.
Printilan lain juga diingatkan oleh Tria Nin dengan cermat. Sangat terencana. Rapi. Kapan waktu koordinasi, pengenalan relawan, kolaborator, dan lainnya. Ini jauh sebelum hari H. Bayangkan melakukan semua proses ini satu demi satu dengan puluhan mitra.
Belum lagi mengurus komunikasi dengan ratusan sutradara, yang beberapa menyatakan hadir dengan biaya sendiri. Oh ya, sebelum diperas jadi 460 film pendek yang lolos, panitia Minikino ini menerima 6.000 film.
Enam ribu film!! Berapa jam dan hari yang diperlukan menonton lalu mendiskusikan film-film berbagai negara ini?
Sampai beberapa hari jelang kickoff, dibuat jumpa pers di Mangsi Coffee, Denpasar. Media dan kolaborator yang hadir melimpah. Ruang kecil tempat diskusi tertutup di resto ini semaput menampung hilir mudik orang.
Salah satu sutradara film pendek juga hadir. Trevor Zhou membuat film berdurai 11.09 menit berjudul Waltz. Pria muda dari Amerika Serikat ini membiayai perjalanannya sendiri.
Waltz film yang mengejutkan.
Awalnya saya kira hanya tentang seorang ibu paruh baya yang ingin belajar dansa Waltz, seperti judulnya. Tapi dalam durasi pendek, Trevor bisa memberikan refleksi tentang ego dan amarah dengan pasangan yang didamaikan dengan hal-hal sederhana.
Misalnya mengenyahkan barang-barang yang menumpuk di tiap pojok rumah, hingga memiliki ruang dansa (masih sangat sempit karena tinggal di apartemen) dan menari bersama suaminya.
Pemilihan pemeran juga menurut saya jenius, pasangan paruh baya dengan tipikal keseharian ada di sekitar kita. Trevor dalam bincang sangat singkat mengatakan film ini juga dari apa yang disimaknya.
Bayangkan ada ratusan sejenis Waltz atau mungkin lebih keren lagi diputar gratis untuk warga. Overdosis sehat jiwa. Tapi bisa jadi lelahnya fisik geng ini beserta relawannya.
Sebanyak 11 layar itu dilakukan di sejumlah kabupaten dan tempat yang tak biasa misalnya Gianyar oleh Apotek Viva Generik di Batubulan, Wantilan Desa Sukawati, Omah Apik Pejeng, Campuhan College dan Bentara Budaya.
Di Karangasem ada di lapangan parkir desa Tulamben dan balai Banjar Jemeluk, Amed. Kemudian Badung ada Flux Lifeground. Buleleng di Rumah Sang Karsa. Sementara Denpasar, selain Irama Indah basecamp Minikino juga Café Sikuno garasinya vokalis band The Hit, dan Mangsi Coffe sebagai film library untuk yang memiliki akses nonton semua film di laptop yang disediakan.
Soal penayangan tepat waktu, ini juga hal dahsyat di tengah kebiasaan menunda-nunda. “Kami menghormati yang hadir tepat waktu,” seru Edo Wulia, Direktur Festival ini.
Minikino Film Week dibuat perdana pada 12-17 Oktober 2015. Festival pertama melibatkan enam rekanan tempat pemutaran film yakni Denpasar Barat, Denpasar Timur, Gianyar, Seminyak, Pejeng, Lovina-Singaraja. Menampilkan 88 film pendek dan 6 film panjang. Acara terbuka ini menarik 1.656 penonton beragam usia. Bayangkan, jumlah penonton saja dihitung detail oleh panitia.
“Tahun ini semoga lebih dari 2.500 orang,” kata Fransisca Prihadi, Direktur Program.
Pengalaman Baru
Nah soal program film ini juga saya mendapat pengalaman baru. Membuat daftar film yang ditayangkan juga perlu keterampilan membaca film demi kepuasan penonton. Trik ini disampaikan melalui simulasi dalam workshop jurnalistik bersama Sloka Institute.
Selama dua jam, dimulai dan diakhiri tepat waktu, terlalu banyak yang dipraktikkan. Makanya sesi paling cadas, belajar memahami review film dari penulis muda Ayu Diah Cempaka terasa sangat kurang waktu. We want more.. more.. ?
Satu ungkapannya yang menohok adalah, “Buat review kan tidak hanya untuk menyenangkan sutradaranya tapi menyampaikan sesuatu ke pembaca,” cetus Dece, panggilannya.
Ada workshop lucu lain seperti bahas video musik terbaru dari duo band Pygmy Marmoset, fotografi oleh Bali Photo Forum, dan pemutaran film dan diskusi dari ReelOzIndo, kompetisi film pendek pertama para pembuat film Australia dan Indonesia.
Apakah yang menjadi parameter kesuksesan sebuah festival film? Jumlah penonton?
Tentang ini menurut saya harus ditanyakan ke warga mengingat begitu masifnya publikasi dari Minikino yang bekerja sukarela di even ini. Penonton berani memilih membaca dulu kandungan dosis obat atau menunggu orang rame-rame beli dulu, milu-milu tuung?
Kalau dilihat dari tujuannya, semangat Minikino terjaga sampai eksekusi. Misalnya kalau dikutip di website Minikino.org, di antaranya memberi kesempatan masyarakat menyaksikan pencapaian termutakhir karya-karya film pendek Indonesia, Asia tenggara dan negara-negara lain. Kemudian membangun ruang-ruang menonton film yang sadar atas kualitas tontonannya, serta lokasi yang mendekatkan diri pada masyarakat lokal di lingkungannya.
Juga membangun ruang menyajikan karya-karya film pendek yang kemungkinan besar sulit didapatkan di tempat lain.
Jika fondasi sudah dibangun, tinggal menjawab apakah Minikino Film Week merangsang daya pikir kritis, mengajak kamu untuk memikirkan dan membicarakan kembali apa yang ditonton? [b]