Desa adat merekomendasikan perlindungan anak agar masuk dalam aturan adat.
Rekomendasi tersebut termasuk salah satu poin yang dibahas Majelis Desa Pekraman (MDP) pada pertemuan bersama 200 pengurus desa adat pada pertengahan November lalu di Denpasar.
Perlindungan anak dalam aturan adat tertulis, misalnya awig-awig atau perarem, merupakan salah satu daru tiga agenda yang dibahas. Dua agenda lain adalah komisi eksistensi desa pakraman sebagai subjek hukum menghadapi tantangan global dan komisi evaluasi program Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang menjadi payung di tingkat provinsi.
Hal menarik dari rapat besar ini adalah adanya barisan pengurus (prajuru) MDP perempuan di kursi terdepan. Sejak Pesamuhan MDP 2010, perempuan kini ambil bagian dan juga memasukkan agenda perempuan dan anak untuk diadopsi dalam aturan atau imbauan adat.
Ketua panitia Pesamuhan Agung untuk kali pertama juga perempuan, aktivis Yayasan Bali Sruti dan staf ahli (nayaka) MUDP Bali Luh Riniti Rahayu.
Demikian juga Pesamuhan tahun ini. Terlebih saat diskusi di komisi perlindungan anak di desa pakraman, aktivis lembaga sawadaya masyakarat (LSM) dan akademisi yang bukan pengurus MDP juga diundang untuk menambah kajian.
Ketua MUPD atau Bendesa Agung Jero Gede Suwena Putus Upadesa mendukung masuknya agenda perlindungan anak pada pesamuhan 2017 karena makin banyak kasus melibatkan anak yang harus mendapat perhatian lingkungan sekitarnya. Ketiga agenda utama sudah dibahas mendalam dalam focus group discussion sebelum dibawa ke pesamuhan.
Dalam rancangan rumusan pesamuhan ini disebut keberadaan anak atau keturunan bagi keluarga krama desa penting diperhatikan agar yang bersangkutan dapat melanjutkan tanggung jawab orang tuanya terhadap keluarga maupun masyarakat sebagai warga adat. Itu sebabnya pasangan suami istri Hindu memiliki keinginan kuat untuk memiliki keturunan.
Kalau tak dikarunia anak, biasanya mengusahakan dengan mengangkat anak yang sudah diatur dalam awig-awig. Tapi belum ada ketentuan upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama anak dan remaja. Untuk itu, Pesamuhan Agung VI MDP Bali merekomendasikan sejumah hal.
Pertama, MUPD agar menyusun contoh awig-awig atau perarem tertulis tentang usaha meningkatkan kualitas sumberdaya manusia krama desa khususnya anak-anak dan remaja. Dengan cara menentukan usia minimal perkawinan 18 tahun, sistem pendidikan menuju asrama grahasta/pra nikah, dan perlindungan anak berhadapan dengan hukum.
Kedua, desa pakraman agar memasukkan dalam revisi awig-awig dan atau perarem tertulis untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia itu.
Ketiga, meningkatkan pemahaman dan peran desa pakraman (DP) dalam memajukan adat dan budaya Bali melalui pendidikan dan pemberdayaan remaja. Keempat, DP bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan non permerintah merealisasikan harapan dalam butir-butir di atas.
Prof Budiana yang memimpin diskusi komisi perlindungan anak mendorong restorative justice melibatkan DP. Ia juga terlibat dalam riset LBH Bali tentang draft aturan adat berbentuk perarem yang sudah didiskusikan di 5 desa di Denpasar, Karangasem, dan Buleleng.
“Intinya sepakat kah adopsi isi UU SPPA ketika anak diserahkan ke desa, restorative justice. Mengurangi stigma dan pelabelan,” ia memandu diskusi.
Nyoman Marjaya dari MDP Klungkung mendukung ide ini dan bagaimana menuangkan ke perarem agar tidak memberatkan. Gede Dastra dari MDP Karangasem membagi pengalaman di desanya ada perkelahian anak dan diselesaikan di bawah peradilan adat.
Luh Putu Anggreni, salah satu pengurus MUDP mengatakan penegasan usia perkawinan penting mencegah perkawinan anak. Dalam UU Perkawinan masih berlaku 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, dan di bawah itu harus melalui dispensasi pengadilan.
“Akan berpengaruh pada prajuru yang jadi takut sebagai saksi dan tanda tangan perkawinan anak,” kata perempuan yang juga aktivis LSM ini.
Ketika ada kasus harus ada tanda tangan persetujuan orangtua dan dispensasi Pengadilan Negeri sebagai bentuk tanggung jawab orangtua pada perkawinan anak agar tetap bisa sekolah. Dalam pesamuhan ini usia masih jadi perdebatan, minimal 18 atau 20 tahun.
Sementara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali didukung Yayasan TIFA sedang mendiskusikan draft perarem untuk uji coba sistem penyelesaian anak berhadapan dengan hukum berbasis kearifan lokal di 5 desa pakraman di Bali.
Tujuannya menghidupkan partisipasi desa pakraman dalam penyelesaian kasus anak berhadapan dengan hukum berbasis keadilan restorasi (restorative justice) dengan mengedepankan pembinaan dan pengembangan anak. Karena pemidanaan adalah upaya terakhir untuk mencegah stigma berkepanjangan.
Dalam draf ini ada landasan filosofis bahwa terkait dengan Tata Agama, yadnya tertinggi adalah pengorbanan diri untuk kepentingan sesama manusia, apalagi keluarga khususnya anak (Manava Seva, Madhava Seva). Kemudian hak anak dijabarkan dalam Tata Pawongan (lingkungan sekitar).
Misalnya anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Anak dengan disabilitas juga berhak mendapat rehabilitasi sosial dan bantuan.
Secara teknis bagaimana desa adat bisa bekerja sama dengan penegak hukum untuk menghindari pemenjaraan ini saat ada upaya perdamaian. Ini mendorong desa pekraman terlibat dan berkomunikasi agar bisa melakukan pembinaan sesuai kearifan lokal.
Denda di tingkat desa bisa berupaya uang, minta maaf, atau upacara ritual. Hukum yang dilanggar adalah ringan merujuk UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak misalnya terkait perkawinan, pencurian, perkelahian, dan lainnya.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika saat membuka pesamuhan mengingatkan desa pekraman soal keberagaman yang harus dijaga bukan dipertentangkan. “Kepekaan terhadap komunitas lainnya harus ditumbuhkan sesuai filosofi menyama braya, jangan terkesan arogan karena otonominya,” dia mengingatkan. [b]