Para caleg telah melakukan praktik politik oplosan seperti minuman arak atau tuak yang dicampur dengan spirtus dan pentol korek.
Pemilu legislatif (Pileg) akan digelar 9 April 2014. Sebanyak 6.608 caleg akan memperebutkan 560 kursi di DPR RI, 458 caleg memperebutkan 55 kursi DPRD Provinsi Bali, dan 2.663 caleg memperebutkan 350 kursi DPRD kabupaten/kota se-Bali.
Kendati kampanye Pileg 2014 resmi digelar mulai awal Maret 2014, namun fakta di lapangan kebanyakan caleg sudah mencuri awalan kampanye terselubung jauh sebelum pelaksanan Pileg 2014, baik melalui tatap muka langsung, maupun melalui media massa (cetak, radio, TV) serta baliho, spanduk dan poster-poster yang terpasang di sudut-sudt kota dan desa.
Sebagian spanduk, baliho dan poster para caleg itu nampak semrawut dan terkesan mengotori wajah kota sehingga petugas dinas ketertiban dan keamanan pun terpaksa membredelnya.
Saking banyaknya atribut kampanye politik di jalanan, sebagian masyarakat merasa bingung, tidak memperhatikan isi iklan bahkan mengacuhkannya. Kendati semula kurang tertarik, tapi akhirnya saya tergoda juga untuk mengkritisi persoalan iklan politik para caleg 2014 ini.
Pencitraan
Para caleg terus menebar pesona, merajut citra diri, dan terus berupaya menjerat calon pemilihnya, baik caleg stok lama (inkamben) maupun caleg baru. Pencitraan diri para caleg bisa dilakukan setidaknya melaui dua jurus.
Pertama, caleg yang berupaya bekerja sebaiknya-baiknya untuk “kemaslahatan orang banyak”, yakni caleg yang merintis karier politiknya dengan menegakkan moral untuk memperjuangkan nasib rakyat. Mereka berupaya melaksanakan tugas secara bertangungjawab sehingga sosoknya memang pantas dipilih.
Kedua, upaya menggaet massa melalui jurus-jurus instan, termasuk via iklan politik, sebagaimana yang diterapkan oleh mayoritas caleg dalam Pileg 2014 ini. Mereka rajin melakukan gerilya politik, termasuk bagi-bagi sembako, “menjadi pahlawan kesiangan”, blusukan ke kampong-kampung, sok akbab dengan wong cilik untuk membangun simpati publik.
Untuk memikat simpati publik, banyak partai politik kini sengaja merekrut para artis ternama – yang diharapkan bisa menaikkan citra dan elektabilitas partainya.
Jurus pertama cenderung tidak popular, memerlukan waktu dan pengorbanan yang tidak instan, dan sulit diterapkankan oleh caleg baru yang pragmatis. Jurus pertama bisa dilakukan oleh pribadi yang punya visi kerakyatan kuat seperti sosok Jokowi yang berhasil memimpin DKI karena sudi membela wong cilik saat menjadi walikota Solo sebelumnya.
Sebagian kecil caleg yang berlaga dalam Plileg 2014 ini memiliki modal politik yang cukup baik. Mereka memiliki rekam jejak yang cukup representatif untuk mewakili rakyat duduk di DPR.
Tapi, mayoritas caleg cenderung memilih jurus kedua, hanya mengandalkan popularitas, modal material, pasang sebanyak mungkin spanduk atau poster plus orasi politik oplosannya.
Oplosan
Semua partai politik menerima caleg setidaknya didasarkan atas tiga hal: popularitas (tingkat pengenalan masyarakat terhadap calonnya), elektabilitas (kehendak pemilih memilih calon) dan integritas (kejujuran, kesesuaian perilaku calon dengan norma masyarakat).
Namun indikasi yang mengemuka, para politikus (termasuk anggota legislatif dan calon legislatif) telah melakukan praktik politik oplosan, yakni penerapan ideologi politik oplosan – seperti minuman arak atau tuak yang dicampur dengan spirtus dan pentol korek sehingga sang peminum bisa mabuk, pingsan bahkan meninggal dunia karenanya.
Politik oplosan antara lain tercermin dalam praktik politik yang meniadakan keaslian (tidak orisinil). Mereka begitu mudah mencampuradukan ideologi yang mendasarinya. Pada umumnya statemen para caleg hendak mengawal perjuangan reformasi demi kesejahteraan rakyat, namun pesan politik dan gambar sebagian caleg malah menghadirkan sosok Pak Harto (penguasa Orde Baru) atau Bapak Proklamator Soekarno (penguasa Orde Lama).
Upaya menghadirkan sosok kedua bapak bangsa dalam iklan politik, di satu pihak memang dapat dimaknai sebagai penghormatan atas jasa besar mereka, tetapi di pihak lain hal itu justru mereduksi kesatuan pesan yang ingin disampaikan sang caleg. Terjadi ideologi oplosan di dalamnya. Ideologi sosialis, nasionalis atau religius?
Praktik politik oplosan juga kerap lakukan oleh para politikus atau para pemimpin negeri ini, baik yang di legislatif maupun eksekutif, antara lain yang tercermin pada praktik kutu loncat politik, inkonsistensi komitmen politik, serta nuansa sikap politik mereka yang jauh dari makna “memperjuangkan kedaulatan rakyat”.
Rakyat punya kriteria cerdas tersendiri sebelum menjatuhkan pilihannya. Selain rekam jejak sang caleg, asal partai, visi misi dan perilaku sang caleg juga menjadi pertimbangan dalam penentuan bahwa sang caleg layak dipilih atau tidak. Tapi yang jelas wakil rakyat di DPR adalah representasi rakyat yang memberikan mandat kepada mereka.
Seyogyanya – seperti kata Hanah Arendt dalam The Human Condition (1958): menjadi wakil rakyat bukan sekadar pekerjaan demi hasrat materialistik semata, tetapi wakil rakyat yang benar-benar melakukan praktik politik bermoral, berkarya yang membela hak-hak rakyat, memperjuangkan kedaulatan mereka.
Wakil rakyat yang memperjuangkan nasionalionalisme (ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan) yang selama ini masih tersandera oleh ideologi politik neoliberal, wakil rakyat yang berupaya menegakkan kembali ideologi Pancasila untuk diimplementasikan lebih riil (bukan indoktrinasi) demi kedaulatan, kebersamaan, kesejahteraan dan keadilan rakyat berbendera merah putih ini.
Jika terdapat indikasi bahwa caleg yang berlaga dalam Pileg 2014 ini hanya “mencari ladang pekerjaan dan demi kekuasaan belaka” boleh jadi, rakyat akan bersikap golput karena kedaulatan aspirasi mereka tak terwadahi. [b]