Beberapa tahun terakhir, Jl Kamboja Denpasar menjadi lokasi Denpasar Book Fair.
Agenda tahunan ini diadakan tiap tahun pada Hari Saraswati. Peringatan turunnya ilmu pengetahuan ini diharapkan jadi simbol kampanye literasi di kalangan pelajar.
Pameran buku yang biasanya dihelat selama tiga hari sebelum sampai sesudah Saraswati ini memberikan peluang penerbit, distributor buku, dan usaha terkait lainnya memamerkan karyanya. Ada diskon-diskon buku, perpusatakaan keliling, dan aneka lomba. Terakhir, Denpasar Book Fair dilaksanakan 3-5 Oktober lalu.
Acara ini dihelat Pemerintah Kota Denpasar, awalnya juga untuk memperkenalkan Rumah Pintar, gedung yang dikonsep sebagai ruang belajar dengan koneksi internet di Jalan Kamboja. Didirikan di kawasan pusat sekolah di Denpasar. Di sepanjang ini jalan ada deretan gedung-gedung sekolah mulai playgroup sampai universitas.
Tak heran, festival ini selalu ramai karena pasti dilewati pelajar yang sedang di sekolah. Termasuk saat Saraswati. Para pelajar nongkrong usai sembahyang pagi harinya di sekolah masing-masing. Mengenakan pakaian adat seperti kamen dan udeng untuk lelaki sambil membaca buku adalah pemandangan yang menggugah.
Mitos tak boleh membaca saat hari raya Saraswati juga terkikis. Anak-anak sekolah dasar masih sering dicekoki mitos ini oleh orang tuanya. “Jangan baca buku saat Saraswati nanti hilang ilmunya,” demikian mitos zaman dulu.
Bisa jadi ini untuk menakuti anak-anak agar mau merapikan bukunya, karena akan diberikan banten Saraswati. Pameran ini malah mendorong orang membaca dan membeli buku.
Pelajar berusia belasan tahun mendominasi area festival. Mereka duduk di trotoar, ada yang menengok buku diskon terutama komik dan novel, atau masuk stand kuliner yang dikelola pelajar.
Sebuah patung Dewi Saraswati diletakkan di tengah arena, dan dikelilingi aksesoris tumpukan buku dari gabus. Sementara patung yang disimbolkan dewi pengetahuan ini yang berukuran jauh lebih besar ada di tiap halaman sekolah.
Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan yakni pikiran, intelektual, mawas diri, dan ego.
Di masing-masing lengan tergenggam empat benda yang berbeda, yaitu Lontar (buku), adalah kitab suci Weda, yang melambangkan pengetahuan universal dan abadi. Genitri (tasbih, rosario), melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual. Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan dan Damaru (kendang kecil).
Stan penjualan buku malah cenderung lebih sepi. Karena sebagian besar hanya menjual, tidak membuat kegiatan kreatif yang interaktif. Yang paling ramai adalah stan kreasi pelajar seperti robotik, komunitas kreatif, kuliner, dan panggung seni. Kampanye membaca itu menyenangkan perlu lebih mendapat eksplorasi.
Tahun lalu ada salah satu stan yang menarik perhatian yakni SMA Saraswati. Mereka memperlihatkan hasil karya briket arang, bahan bakar alternatif dari sampah sisa banten atau organik. Ada juga pameran robot yang dirakit sederhana oleh pelajar pria di stan ini.
Beberapa sekolah kejuruan memamerkan sajian makanan olahan dapur sekolah mereka. Khususnya dari jurusan tata boga. Misalnya menu makanan tradisional seperti betutu sampai menu barat seperti pizza.
“Stan jual buku sama dengan toko buku biasa, tak terlalu menarik,” ujar salah satu pelajar perempuan.
Tahun ini, Pemkot menyediakan semacam ruang baca namun tak terlalu nyaman. Ada beberapa pengunjung dewasa yang merokok di area ini. Juga meja kayu yang tak rata dan kursi plastik seadanya. Ada mobil perpustakaan keliling milik Badan Lingkungan Hidup sehingga banyak menyediakan buku pengetahuan soal pelestarian lingkungan hidup.
Ada beberapa stan yang mencoba menarik perhatian dengan khusus memajang buku-buku pemikiran kritis tentang Bali. Ditulis oleh warga Bali dan juga luar negeri. Misalnya buku Bali Benteng Terbuka 1995-2005 dari Henk Schulte Nordholt. Buku ini mengulas efek-efek desentralisasi dan demokratisasi terhadap perpolitikan Bali, serta meninjau peran yang dimainkan cendekiawan urban dalam memperkuat identitas Bali.
Sebelumnya Aryatha Soetama, seorang penulis pernah mengingatkan agar pameran buku ini dikemas lebih kreatif dengan lebih banyak bedah buku atau lomba-lomba terkait apresiasi buku agar penulis muda di Bali tertarik. Tak hanya menjual buku saja.
Komang Adiarta, penggagas sanggar belajar alternatif Anak Tangguh mengatakan kampanye literasi sangat penting. Misalnya dengan mengundang atau mendorong komunitas pecinta buku dulu. Setelah itu program penulisan dan pendampingan. “Dari koleksi buku harus menjadi sebuah karya, dan ini perlu pendampingan,” kata pria desainer produk kerajinan ini.
Karya tak hanya berupa buku tapi juga karya seni seperti musik dan lukisan. [b]
Comments 1