Teks Gayatri Mantra, Foto Anton Muhajir
Politik Tubuh Wanita
Dikisahkan, seorang nenek (diberi nama nenek sihir) digambarkan cemburu dengan kemudaan dan kecantikan seorang gadis. Nenek berusaha menyingkirkannya dan membuatnya tertidur dalam waktu yang begitu lama. Karena kecupan seorang pangeran, Sang Putri akhirnya dapat terbangun dari tidur panjang dan tetap muda, serta mendapatkan kehidupan yang berbahagia dengan pendampingnya.
Dongeng ini diceritakan sejak anak-anak masih belum begitu memahami betapa kecantikan, ke-muda-an, penundaan waktu dapat membuat seseorang bisa menemukan kebahagiaaannya. Nilai estetika kecantikan dan ke-muda-an kemudian dikonstruksi secara sosial, dinarasikan, diartikulasikan pada akhirnya nilai ini bersemayam dan mengejawantah dalam alam kesadaran generasi berikutnya, khususnya kaum wanita.
Kesadaran manusia terhadap perubahan ruang dan waktu ini mendorong terobosan dan temuan yang memungkinkan proses menjadi tua dan menuju kematian, dapat ditunda. Trend dalam dunia kecantikan telah memperkenalkan berbagai pelayanan dengan sebutan seperti: anti-aging, botox, rejuvenasi hingga facelift dan operasi plastik. Industri farmasi disibukkan untuk meracik resep-resep anti oxidant, obat awet muda, dan pelangsing untuk mendukung para fashionista mewujudkan nilai kecantikan estetika. Kemudaan yang everlasting atau evergreen menjadi dambaan umat hedonistik ini. Semua ini ditawarkan untuk memperlambat atau menunda “durasi” proses terciptanya garis wajah penanda “tua”.
Rekayasa wajah menjadi sebuah alternatif pilihan untuk mendapatkan nilai estetika kecantikan sebagaimana yang ditawarkan para kapitalis melalui media massa. Wanita cenderung menjadi bagian dari kapitalisasi politik ketubuhan. Gadis Arivia (2004) menyatakan bahwa eksistensi tubuh perempuan dikonstruksi secara sosial untuk kepentingan laki-laki dan bisnis.
“Dalam budaya kita, tak ada satupun bagian dari tubuh perempuan yang luput tak tersentuh, tak dibongkar… Dari umur 11 atau 12 tahin hingga dia wafat, perempuan akan menghabiskan sejumlah besar waktu, uang, dan energi demi merampingkan, mengecat dan mengharumkan tubuhnya”
Kemudaan dan keabadian menjadi tujuan masyarakat kontemporer. Topik pembahasan tentang “tua” sama menakutkannya dengan mewicarakan misteri kematian. Kini, manusia dapat menyangkal ‘tua’ sebagai proses perubahan fisikal yang bersifat alamiah. Tua, tidak lagi menjadi sebuah ‘being’ yang harus di terima begitu saja. Konstruksi sosial ini ternyata dapat didekonstruksi sedemikian rupa dengan sedikit bantuan para ahli kecantikan dan kesehatan, industri farmasi dan tentu saja didukung dengan kekuatan kapital.
Wacana yang berkaitan dengan persoalan “tua, menjadi tua dan kelompok orang tua” sepertinya tenggelam dalam propaganda iklan estetika wajah dan performa vitalitas. Tua, kemudian hadir sebagai konstruksi diskriminasi, prasangka, sterotip yang terselubung, serta mengisolasinya ke dalam kelompok sosial dengan sebutan minoritas.
Politik Tubuh yang lahir dari citraan media menempatkan kaum lansia menjadi kelompok minoritas yang termarjinalkan. Dikotomi terbangun dengan menempatkan lanjsia sebagai sesuatu yang jahat (nenek sihir), buruk rupa, rapuh dan menjadi beban masyarakat harus disembunyikan atau disingkirkan. Ini merupakan kontra dari citraan akan kemudaan, produktifitas dan vitalitas sebagai cermin dari kemajuan.
Wanita Korban Kekerasan
Lansia wanita yang tinggal di panti jompo berdasarkan hasil observasi penulis sejak November 2008 – Agustus 2009 sebagian besar memiliki pengalaman kekerasan. Para nenek yang tinggal di Panti jompo memiliki latar belakang selain miskin, juga karena: tidak menikah, tidak memiliki saudara lelaki; menikah namun tidak memiliki anak, karena mandul (Bahasa Daerah Bali: Balu) atau karena anaknya meninggal; para janda yang ditelantarkan pihak keluarga suami dan anak; karena kekerasan domestik lainnya.
Para wanita itu tersingkir dan disingkirkan, secara halus maupun secara kasar melalui berbagai ragam bentuk kekerasan karena ‘ketidaksempurnaan’ mereka sebagai wanita. Perempuan Bali yang menikah seringkali diperlakukan sebagai refuji atau pengungsi di rumah keluarga suaminya atau keluarga batihnya sendiri. Ketika seorang wanita menjadi janda, merekapun sangat sulit untuk kembali kepada keluarga asalnya karena berbagai hal, seperti perlakuan adat dan persoalan waris. Bahkan ada jenazah yang nasibnya terkatung-katung tidak dapat dikubur atau dikremasi karena larangan adat.
Citraan janda atau rangda dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan jahat sebagaimana mitos sering digambarkan pada “Calon Arang”, sebuah stigma. Dan, perempuan yang tidak menikah (bahasa daerah Bali: daha tua) seringkali dicemaskan oleh anggota keluarganya yang lainnya bahwa suatu saat wanita itu akan menjadi beban keluarga. Dengan demikian, Panti Jompo menjadi pernaungan, rumah alternatif bagi kaum wanita miskin dan terlantar.
Kekerasan: Manakar Moralitas Hindu-Bali
Fakta kekerasan terhadap Lansia dan juga kaum wanita Bali memang tidak bisa digeneralisasi sebagai realitas “Bali”. Namun fenomena kekerasan domestik dan sosial, diskriminasi, isolasi, dan penelantaran yang menggejala di masyarakat jelas bertentangan dengan pengembangan semangat relijiusitas dan norma-norma dalam teks keagamaan. Misalnya, orang tua saat hidup atau meninggal harus diperlakukan secara hormat.
Menawa Dharma Sastra (Wiana, 2006:17) telah mengatur cara penghormatan terhadap orang tua dan leluhur. Selama orang tua masih hidup, mereka harus dihormati dan dilayani. Namun jika mereka meninggal, maka penyelenggarakan upacara Pitra Yadnya, dilakukan dengan melakukan penguburan jenasah hingga pengabenan (kremasi).
Teks Niti Çastra (sargah: 1 dan 5) yang berbunyi: Kewajiban (sikap atau tingkah laku dan perbuatan) seorang anak patut mentaati orang tua dengan mempedomani guna baiknya, sebab bukanlah hal itu yang menjadi kewajiban seorang anak yang benar-benar sadar pemeliharaan orang tua terhadap dirinya. Oleh karena itu, seorang anak yang menghendaki hidup utama, patut berlogika dalam mengusahakan kesejahteraan orang tua/keluarga. Sebab yang menjadi kewajiban anak yang baik, ialah anak yang disebut “Sadhu Gunawan”, yakni anak yang memberikan cerahnya keluarga.
Ayat 228 Sarasamuscaya menyebutkan: Yang dianggap anak adalah orang yang menjadi pelindung orang yang memerlukan pertolongan; serta untuk menolong kerabat yang tertimpa kesengsaraan; segala hasil usaha ditujukan untuk disedekahkan, memasak dan menyediakan makanan untuk orang-orang miskin, orang demikian putra sejati namanya”.
Harapan
Jumlah lansia yang menjadi warga panti jompo sekitar 130 orang dari 4 juta penduduk Bali, memang tergolong kecil. Namun kekerasan terhadap wanita khususnya lansia di Panti Jompo menunjukkan fenomena, adanya jarak sosial dan diskriminasi yang senyatanya memang ada. Kekerasan itu merefleksikan bagaimana lelaki Bali selama ini memperlakukan wanita di rumah-rumah mereka secara buruk hanya karena ia seorang janda, orang mandul, perawan tua dan nenek tua yang buruk rupa. Dalam sistem patrilinial di Bali, dimana kekuasaan lelaki menjadi dominan maka diharapkan kesadaran kaum lelaki untuk mengembangkan kesadaran dan nilai kemanusiaannya serta tidak diskriminatif. Campur tangan peran pemuka adat dibutuhkan agar kekerasan dalam domain lingkungan mereka dapat dimediasi, diselesaikan tanpa penyingkiran dan penelantaran. Hentikan Kekerasan pada lansia! [b]
Gayatri Mantra, Mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Dosen Akpar Mataram, dan Anggota Forum Komunikasi Perempuan Mitra Kasih Bali