Oleh Anton Muhajir
Inilah enaknya tinggal di Bali, ke mana-mana relatif dekat. Apalagi kalau tinggal di Denpasar, ibukota Provinsi Bali. Denpasar berada di kawasan Bali selatan. Namun dia bisa disebut juga berada di tengah.
Dari Denpasar, ke kabupaten atau kota-kota lain di Bali relatif dekat. Misalnya dari Denpasar mau ke Negara, yang terletak di bagian barat. Paling lama hanya perlu tiga jam dengan mobil atau motor. Ke Karangasem, kota paling di timur tak lebih dari 1,5 jam. Ke Singaraja yang di sisi utara hanya sekitar dua jam.
Bukan hanya soal kota dan kabupaten lain yang dekat dari Denpasar, semua objek wisata di Bali juga bisa terjangkau kurang dari setengah hari. Bahkan lebih banyak dalam hitungan jam sudah sampai.
Mau ke pantai? Dari rumah di jalan Subak Dalem, Denpasar utara misalnya saya perlu waktu hanya sekitar 30 menit. Ke kawasan gunung dan danau Batur di Kintamani hanya sekitar 1,5 jam. Ke Bedugul, kawasan dingin di Bali tak kurang dari 1,5 jam dari Denpasar.
Nah, karena ke mana-mana dekat itulah, maka bagi saya tiap minggu bisa jadi kegiatan wisata di Bali. Salah satu tempat favorit untuk liburan bersama keluarga tersebut adalah Bedugul, Tabanan. Tak terhitung berapa kali saya ke sini. Dan selalu saja menyenangkan. Salah satu favorit saya kalau ke sini adalah Kebun Raya Bedugul.
Awal bulan lalu saya dan anak istri kembali ke sana. Rencana kami sebenarnya ke Kintamani. Kami belum pernah ke Kintamani bersama. Namun rencana itu berubah karena kami pikir, Kintamani kurang tepat sebagai tujuan jalan-jalan kalau bersama keluarga. Kalau di Bedugul kan ada kebun raya, kalau Kintamani kan tidak. Jadilah kami pergi ke Bedugul.
Biar agak berbeda, kali ini kami mencoba objek wisata lain di Bedugul yaitu danau Beratan. Titik ini ada di kanan jalan sebelum Candi Kuning. Ada tulisan besar “Bedugul” di papan penunjuk arah. Dari jalan besar ini masih sekitar 500 meter.
Untuk masuk di sini kami harus membayar tiket masuk Rp 7.500 per orang. Ditambah tiket motor Rp 2000, kami harus membayar Rp 17.000 berdua. Harga yang relatif mahal bagi kami karena semula kami menduga akan gratis masuk sana. Maklum, kami penggemar gratisan. Hehe.. Tapi ya sudahlah, kami bayar saja.
Dari pos penjaga ini jalan masih sedikit berkelok dan turun. Sudah dekat sebenarnya. Cuma karena kami tidak melihat adanya papan petunjuk, maka kami sempat agak bingung. Intinya kalau dari pos tiket itu pengunjung berbelok ke kiri.
Pemandangan yang menyapa kami ketika sampai danau adalah air danau putih dengan latar belakang bukit. Cuaca adem. Sangat bersahabat. Tapi kalau toh cuaca panas, jangan khawatir. Ada banyak tempat duduk menghadap danau dengan payung di mejanya. Jadi aman. Kita bisa menikmati danau dengan santai.
Di bagian kanan danau adalah bukit-bukit yang pernah jadi tempat bersembunyi pasukan Jepang pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1940an. Di depan ada bukit juga. Agak di kiri ada Pura Ulun Danu. Lalu persis di sebelah kiri ada Masjid Candi Kuning. Pemandangan yang eksotis sekaligus menunjukkan keragaman kawasan ini.
Untuk menikmati danau dengan mengarunginya ada dua pilihan, naik cadik atau naik speed boat. Naik cadik harganya Rp 40 ribu per setengah jam. Cuma sayangnya pemilik cadik agak diskriminatif. Kalau pengunjungnya dari luar Bali, maka harga bisa sampai Rp 60 ribu. Kalau penumpangnya bule bahkan sampai Rp 125 ribu. Ini sih kami lihat sendiri juga berdasarkan pengakuan tukang cadik.
Kalau naik speed boat Rp 125 ribu per speed boat selama 30 menit. Dengan kapasitas untuk lima orang, maka kalau penuh berarti bisa dibagi masing-masing orang bayar Rp 25 ribu.
Dengan alasan hemat dan ramah lingkungan, kami pilih naik cadik.
Asik juga. Cadik alias perahu dengan dua pengaman di sisinya yang mirip sayap itu memang terlihat agak menakutkan. Tapi sebenarnya sangat aman. Dua sayap di sampingnya itulah yang membuatnya jadi seimbang.
Pelan-pelan cadik pun berjalan. Dari titik naik, cadik berjalan ke sisi kanan. Menyusuri sisi timur danau. Kami bisa melihat gua-gua bekas dipakai tentara Jepang. Beberapa pasangan sedang pacaran. Ketika kami lewat mereka dengan cueknya asik berpelukan lalu berciuman. Suasana yang sepi dan dingin tentu menambah semangat untuk para pasangan. Anggaplah ini bonus jalan-jalan keliling danau Beratan. Hehe..
Cadik hanya berjalan di sekitar seperempat danau. Atau malah kurang dari itu. Sekitar 15 menit berjalan, cadik sudah memutar kembali ke arah dermaga tempat kami memulai. Dari sini asik juga. Kami bisa melihat Gunung Batukaru dari tengah danau. Cadik yang berjalan pelan membuat kami lebih bisa menikmati air danau dan pemandangan dengan leluasa.
Oya, ada bonus pula. Di beberapa titik, pendayung cadik akan menggoyang-goyang cadik tersebut. Akan ada gelombang-gelombang kecil yang jadi aksesoris perjalanan. Ini jadi sensasi tersendiri. Agak takut tapi malah keasikan karena goyangan itu. [b]
huaduh… membayangkan naik cadik… kok kepala saya malah ikutan bergoyang-goyang yah ?
mabuk laut eh danau kali nih…
jadi pengen nyoba naik cadik yang didanau bratan..so far cuma pernah nyoba nyebrang dari desa kedisan menuju trunyan…
ach…anda juga mojok kan ?
ngintip atau melakukan 😛
Setiap minggu Bang Anton jalan2 keliling Bali. Wah enak juga ya jadi turis lokal.