Oleh Anton Muhajir
Dari batang-batang bambu, irama itu terdengar begitu merdu. Masakannya pun enak disantap. Apalagi kalau semuanya gratis.
Irama rancak terdengar dari kolaborasi antarbudaya Senin malam pekan lalu. Disc Jockey Kalsteen Schoorer dari Amerika Serikat dengan komputer Apple di depannya memainkan irama modern bertempo cepat sedangkan Gun Gun dan tiga temannya memainkan instrumen tradisional yang semuanya menggunakan bahan baku bambu: seruling, rindik, dan gendang. Musik tekno Kalsten bertemu dengan irama sunda. Mereka saling mengisi melahirkan harmoni.
Di antara instrumentalia lagu-lagu tradisional Indonesia itu, saya bergabung dengan sekitar 50 orang lain menikmati makanan yang pembuatannya juga menggunakan bahan bambu. Ada nasi lepang dengan rendang dan gulai padang di Warung Lapau Jl By Pass Ngurah Rai Sanur Denpasar tersebut. Inilah malam perayaan betapa bambu bisa menjadi sesuatu yang merdu didengar dan enak disantap. Hmm..
Tapi, ini baru permulaan. Anggap saja pemanasan. Sebab, perayaan sesungguhnya baru akan digelar 18-19 Agustus mendatang di Jakarta International Expo Jakarta. Penampilan kolaborasi Kalsteen dengan Gun Gun yang menyebut kelompok musik mereka Soulflip hanya satu dari tiga penampilan lain malam itu. Ada Wayan Balawan bersama Batuan Ethnic dan Nyoman Windha dengan Jegog Semarpagulingan yang juga tampil melengkapi diskusi dalam rangka Festival Musik Bambu Nusantara tersebut.
Festival Musik Bambu Nusantara, selanjutnya disebut Festival Bambu saja, berawal dari Wawan Juanda. Dia melihat begitu banyak musik tradisional di Indonesia berbasis bambu. Di Bali, persisnya di Jembrana, ada jegog yang terkenal di Jepang dan pernah tampil bersama Mick Jagger. Di Jawa ada kentongan yang biasa digunakan untuk patrol atau pada malam Ramadhan. Di Sulawesi Utara ada bambu melulu yang semua perangkat musiknya dari bambu mulai dari drum dan saxophone.
Sayangnya ya itu tadi, musik-musik tradisi ini masih saja dianggap tradisi, sesuatu yang kadung identik sebagai hal yang patut disimpan rapi, bukan untuk dinikmati. Kondisi ini melahirkan kegelisahan di otak Wawan. Tapi, bukankah kegelisahan selalu melahirkan hal baru? Maka, Wawan memulai ikhtiar itu. “Ini prakarsa awal untuk memberi tempat pada keragaman musik tradisi Indonesia,” katanya.
Festival Bambu di Jakarta Agustus nanti memang tidak hanya memperkenalkan bambu sebagai alat bunyi tapi sekaligus bagian dari kebudayaan Indonesia. Di Bali, misalnya, bambu ini selalu jadi sarana yang harus ada ketika upacara. Penjor, bambu berhias berbagai hasil bumi, adalah sarana upakara yang pasti ada ketika Galungan dan Kuningan. Penjor yang berhias buah dan makanan bermakna ucapan syukur atas kemenangan kebenaran (dharma) atas ketidakbenaran (adharma).
“Tapi jualan utama festival ini adalah keragaman musik Indonesia yang berbasis bambu,” kata Wawan. Keragaman musik Indonesia itu diklasifikasikan empat tema. Pertama, musik klasik untuk mengakomodasi musik-musik klasik seperti jegog, angklung, dan bambu melulu. Kedua, musik kontemporer yang menggabungkan musik modern seperti jazz dengan bambu atau rock dengan bambu. Soulflip adalah contoh dari kolaborasi modernitas dengan tradisi ini. Namun pada festival nanti akan tampil juga Krakatau, Sonoseni Ensemble, Samsasunda, Discus & Gamelan Saraswati, dan Balawan. Nama terakhir adalah jagoan gitar dari Gianyar Bali yang hampir selalu tampil bersama Batuan Ethnic, kelompok gamelan Bali.
Ketiga, musik tematik yang akan mengeksplorasi beragam jenis seruling di Indonesia antra lain saluang, suling dewa, toleal, serunai, suling panjang, terompet bambu, kedire, dan suling susun enrekang. Semua nama ini adalah nama di masing-masing daerah untuk alat musik tiup sejenis suling. Keempat, musik indi(geonous) yang akan menampilkan musik-musik tradisional lain seperti angklung banyuwangi, rindik, tarling, arumba, joged bumbung, calung banyumas, dan sasando.
Menurut Wawan, semua musik yang ditampilkan pada festival tersebut hanya sebagian dari ribuan musik tradisi di Indonesia. “Sekali lagi ini hanya awal. Sangat mungkin akan diteruskan tahun depan dengan jumlah peserta lebih banyak,” kata Wawan.
Toh, bagi music director Dwiki Dharmawan, Festival Bambu sudah melakukan hal luar biasa untuk membuka wawasan musik di Indonesia, terutama yang berbasis bambu. “Kami seperti memiliki tugas negara untuk mengembangkan kekayaan tradisi musik nusantara,” kata Dwiki dengan nada setengah bercanda. “Diharapkan ke depannya bisa jadi wadah musisi Indonesia untuk mengembangkan dan mengeksplorasi tradisi musik bambu di Indonesia,” tambahnya.
Menurut musisi ternama Indonesia ini, Festival Bambu memang berawal dari kegelisahan musisi terhadap kurang diperhatikannya musik tradisi di tengah ingar bingar musik industri. “Festival ini juga untuk memperluas wawasan generasi muda bahwa banyak ragam bentuk dan komposisi yang tidak terbatas pada kekayaan musik kita,” ujar Dwiki.
Hal senada dikatakan Wayan Balawan, pemain gitar yang terkenal dengan tapping-nya ini. melalui festival ini, Balawan yang kerap memainkan kolaborasi tradisi dan jazz ini ingin menyampaikan bahwa musik Bali bukan hanya musik tradisi yang biasa digunakan ketika upacara. “Kami juga ingin membentuk wawasan dan visi lebih luas. Misalnya menggabungkan pop, jazz, dan klasik dengan musik bambu tradisi,” kata Balawan.
Masalahnya musik bambu juga punya masalah tersendiri seperti yang disampaikan Balawan. “Selama ini kami paling susah melakukan tuning (pengaturan nada) karena kualitas suara bambu juga tergantung musim,” katanya.
Susahnya melakukan tuning mungkin satu dari sekian masalah yang harus dihadapi untuk mengangkat derajat musik bambu di Indonesia. Diskusi dan penampilan malam itu tentu satu langkah awal yang sangat berarti untuk menunjukkan bahwa bambu pun begitu merdu. [b]
Wah, ok banget ulasannya. Untuk bambu Indonesia yang luar biasa potensinya melahirkan banyak tantangan untuk di eksplorasi. Matur suksma Mas Anton.