Teks Luh De Suriyani, Foto Agus Sumberdana
I Komang Satria Wibawa, pria 24 tahun ini merasa geli setelah giginya dikikir atau dirapikan oleh tukang, awal September lalu. Alat pengikir gigi itu berbunyi nyaring untuk meratakan permukaan bawah gigi atas dan bawah Bowo, panggilan Satria Wibawa.
Ia tengah mengikuti ritual adat potong gigi atau mepandes, ritual kewajiban orang tua Hindu untuk anak-anaknya sebelum menikah. Di atas bale-bale, Bowo dengan pakaian adat Bali lalu duduk berdampingan dengan kerabatnya yang lain, berbaur antara Muslim dan Hindu.
“Kalau sudah begini, agama jadi tidak penting ya,” ia berseloroh. Bowo mengaku senang mengikuti ritual potong gigi. Baginya, kehidupan terasa lebih bermakna.
Bowo seorang Muslim. Ia dan adik perempuannya, Ni Ketut Indrawati Sumartini Eka Putri, memilih beragama Islam. Sementara dua kakak mereka, I Putu Eka Indra Putra dan I Made Yanuarta Dwi Putra Yasa, beragama Hindu.
Bowo dan semua saudaranya dibesarkan di Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kecil mereka ikut membaca Alquran, seperti teman-teman di rumahnya. Setelah sekolah menengah, mereka mulai memilih keyakinan seperti disyaratkan sekolah dan identitas kependudukan.
“Saya memilih Islam karena keyakinan sendiri. Orang tua membebaskan anaknya,” katanya. I Made Yanuarta, kakak laki-laki Bowo yang memilih Hindu pun mengaku lebih senang hidup dalam keragaman.
Mereka masih tinggal serumah. Yanuarta membantu membangunkan kedua adiknya saat sahur. Demikian juga ikut menikmati es buah ketika buka puasa.
“Kita dapat pandangan lebih banyak tentang agama kalau berbeda. Jadi lebih menikmati dan nyaman hidup dengan kebiasaan berbeda,” kata Bowo.
Menjelang buka puasa, Yanuarta kadangkala tengah menghaturkan canang (sesajen dari bunga) di tugu rumahnya. Bowo mengaku Yanuar anak muda yang rajin menelaah buku Agama Hindu dan mempraktikkannya.
Hal yang sama terlihat di keluarga Dewi di Denpasar Utara. Dewi yang berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat dan bersuami dari Karangasem, Bali mendidik anaknya dengan kebebasan memilih keyakinan. Di rumahnya terdapat tiga anak lelaki yang berpuasa.
“Saya selalu menyiapkan makanan sahur dan buka untuk mereka,” kata Dewi yang sebelum menikah beragama Islam. Ketika upacara adat di Karangasem, seluruh keluarganya yang Muslim juga ikut datang, walau tak turut bersembahyang di pura.
“Kalau sudah punya cukup uang, saya akan memenuhi kewajiban orang tua seperti halnya adat di Bali untuk semua anak,” janji Dewi. Ia merasa perbedaan agama tak menghalangi niatnya untuk memberikan doa dan membuat selamatan.
Saling silang ritual ini bisa jadi oase di tengah kecenderungan orang untuk melakukan ajaran agama secara eksklusif. Puasa, yang sebenarnya ritual untuk Muslim ternyata juga diikuti penganut Hindu. Demikian pula dengan ritual potong gigi, salah satu upacara ritual Hindu Bali.
Bhagawan Dwija, salah seorang pemuka Agama Hindu mengatakan ritual Potong Gigi yang diikuti pemeluk agama lain tidak masalah. “Dalam konteks pluralisme, seorang anak yang bersedia mengikuti ritual kewajiban akhir orang tuanya ini punya sikap saling menghargai,” ujarnya.
Menurutnya, siapa pun bisa mengikuti ritual agama lain sepanjang dilandasi sikap menghormati dan memberi penghargaan. [b]
Bowooo thelooooo … love you aw aw
euh, aku kok jadi terharu ya? bowo… gak usah mudik ke banyuwangi, deh. lebaran di denpasar aja sama akyu. hihihi *tetep*
lahh.. aku belom komen ternyata.
yaa begitulah..
keragaman adalah suatu keindahan dikeluarga kami. kamipun sering ketawa bersama ketika melihat suatu persoalan yang mengatasnamakan agama.
Wah, ini sangat unik, saya baru tahu, dulu di sebuah blog saya pernah menulis bahwa pada kenyataannya manusia dilahirkan diberi label agama oleh orang tuanya, tanpa memiliki kesempatan untuk memilih. Ternyata kejadian ini telah membalikkan pendapat saya tersebut, sungguh menakjubkan. Hidup pluralisme!! Mari saling menghormati 🙂
Bowo kan dual culture alias ac-dc.. hehehe… Selamat menjadi dewasa wok.. ayo buruan nikah..
<> Puasa itu ritual islam atau hindu. Jadi Puasa nyepi merupakan contekan dari puasa ramadan? Bukannya Hindu ada ribuan tahun sebelum islam? kok jadi bingung ya…!!
Ada yang punya literatur, bagi dong!
Puasa org Hindu dan Islam tuw beda. Memang Hindu sudah terlebih dulu ada sebelum Islam tapi inget kawan, sebelum Hindu ada, udah ada umat2 agama zaman kuno (ex: penyembah api, matahari dll) yg jg uda kenal dgn puasa. Org Kristiani jg puasa, so puasa itu milik semua agama yg ada ritual puasanya, gak monopoli satu agama aja, cuma yg ngebedain adalah tata cara, tujuan puasa dll…
Moga nambah wawasan iah…
>>>Unity in diversity<<<
Luuu wooo……..
Agama kuno (Penyembah api, matahari) dan agama modern?
Memangnya ada terminologi seperti itu?
Memangnya harus menyembah sesuatu untuk dapat disebut agama?
Gak usah ikut-ikutan terminology yang dibuat agama Abrahamis deh.
saya muslim, co saya hindu, ada yang bisa bantu pure mana yang bersedia mengadakan upacara untuk beda agama? ataukah tidak bisa? makasih sebelumnya
Toleransi itu adalah dalam hal kehidupan bermasyarakat bukan dalam hal ritual agama, Saya orang Islam dari keluarga Hindu Bali dan saya juga melaksanakan kewajiban melakukan pengabenan terhadap ayah saya meskipun saya tidak mengikuti ritual agamanya. Sangat senang sekali melihat sebuah keluarga yang tidak menjadikan perbedaan keyakinan sebagai penghalang tali silaturahmi.