
Sejatinya pemaknaan hidup itu sendiri harusnya bisa sederhana
Sebelumnya Dea Anugrah sudah menelurkan beberapa karya sebelum buku ini diterbitkan. Misalnya kumpulan puisi Misa Arwah (2015) atau kumpulan cerpen Bakat Menggonggong (2016). Dea Anugrah sendiri selaku penulis baru saya ikuti di Twitter pada medio 2018an. Jadi, praktis saya baru mengikuti karya penulis dan jurnalis dimulai dari buku ini serta membeli serta membacanya pada Februari tahun ini.
Saya ingat, saya membaca buku ini di sela-sela mengerjakan tugas kuliah yang tidak begitu penting di sebuah restoran cepat saji di kawasan Denpasar. Pada saat itu pengunjung masih ramai. Mungkin masih percaya bahwa pandemi COVID-19 yang kian hari makin mengkhawatirkan ini tidak bisa masuk ke Indonesia karena cuaca tropis. Bisa jadi mereka juga percaya pada guyonan wakil presiden indoneisa bahwa ‘korona tidak hilang berkat doa qunut’.
Ya, mungkin saya juga salah satunya.
Kembali membahas buku ini. Meskipun tergolong tipis, buku ini saya baca untuk beberapa hari. Namun, hari itu, dengan agak tergopoh-gopoh saya menyelesaikannya. Hal itu saya sesali karena keinginan untuk segera menghabiskan membaca akhirnya menyebabkan banyak pikiran-pikiran mendalam di buku ini yang saya lewati. Jadi, mungkin yang tertarik membca buku ini bisa belajar dari kesalahan saya dan mulai membaca buku ini dengan santai.
Banyak tulisan menarik dalam buku ini. Tentu esai terakhir dan sekaligus menjadi judul buku ini merupakan tulisan paling berkesan. Akan tetapi tulisan-tulisan lainnya juga tidak kalah penting dan menyenangkan. Pada tulisan ‘Mengutuk dan Merayakan Masturbasi’ misalnya, Dea mencoba memberi tahu bagaimana masturbasi bisa menjadi topik liar yang bisa dibawa kemana saja seperti penghakiman masturbasi pada zaman Victoria (1837-1901) mengenai kegegalan pemerintahan mereka.
Namun, pada akhir tulisan ini kesan merayakan masturbasi begitu heroik dengan penggambaran bahwa suatu hari bisa saja masturbasi bisa dipamerkan. Hal ini mengingat masturbasi tidak ubahnya sama dengan kegiatan artistik melukis dengan argumen keduanya sama-sama membutuhkan kerja mental dalam eksekusinya.
Ada banyak hal yang Dea Anugrah selaku penulis ingin kemukakan pada buku setebal 179 halaman ini. Namun, menurut saya benang merah yang bisa ditangkap selalu sama, ‘whatever it is, life is a gift’. Salah salah satu tulisan yang berjudul Kesedihan yang Menguatkan misalnya membuat saya termenung lama dan memikirkan lagi. Bahwa ada hal-hal yang terlewat dan lupa kita pikirkan bersama seiring dunia yang bergerak begitu cepat dan kita yang cenderung berpikir terlalu individualistik.
Dalam tulisan ini juga, penulis mengajak untuk memikirkan kembali mengenai kesedihan kolektif atau masyarakat lebih mengenalnya dengan kata ‘senasib sepenanggungan’ agar dapat lebih mengnal diri sebagai sebuah kesatuan. Pada akhirnya menghadapi situasi-situasi pelik juga sebagai suatu kesatuan. Misalnya dalam menghadapi situasi pandemi saat ini, mengingat pemerintah yang cenderung abai, oleh karenanya solidaritas dan kesadaran kolektif sudah seharusnya menjadi rumah berteduh paling aman dari badai yang kata orang akan berlalu ini.
Buku ini sejatinya bukan mengajak pembaca untuk menjadi pesimis melihat semua permasalahan yang ada. Sebaliknya buku ini mengajak memahami lebih jauh mengenai hal-hal yang kita anggap angin lalu dan jarang kita perhatikan. Buku ini juga bisa menjadi pengingat bahwa hidup tidak seburuk itu. Seperti judul buku ini yang dicetak miring dan dimulai dengan kata hidup, sejatinya pemaknaan hidup itu sendiri harusnya bisa sederhana. Misalnya bangkit dari tempat tidur di pagi hari, buat secangkir kopi, dan menikmatinya.
Bisa jadi, hidup sesederhana itu. [b]