Oleh Anton Muhajir
Menjadi petani di Denpasar kian susah bagi Rini Suryani. “Biaya untuk bertani dengan pendapatan yang didapat tidak seimbang. Banyak ruginya,” kata istri Made Kelir ini.
Suryani kini mengerjakan 45 are sawah di daerah Renon, Denpasar Timur yang terpisah oleh jalan Tukad Badung. Di sisi barat jalan 30 are, di sisi timur jalan 15 are. Dia menanam padi, yang panennya tiap tiga bulan bahkan empat bulan sekali, di semua lahan
Menurutnya, selain tenaga dia juga harus mengeluarkan biaya tak sedikit. Selama satu musim panen, Suryani perlu sewa traktor untuk membajak sawah. Harga sewa traktor sekitar Rp 450 ribu untuk semua lahan. Selain itu dia juga perlu memupuk padi dua kali tiap musim tanam. Harga pupuk Urea Rp 105 ribu per sak. Untuk semua lahan itu dia perlu sekitar delapan sak tiap satu kali pemupukan.
Jadi, tiap musim tanam dia menghabiskan sekitar Rp 1,7 juta untuk membeli pupuk. Jika ditambah dengan biaya sewa traktor, maka Suryani menghabiskan sekitar Rp 2,1 juta untuk tiga bulan. “Itu belum ditambah biaya beli pestisida dan sewa orang untuk menanam padi atau membersihkan gulma,” katanya akhir pekan lalu.
Mahalnya biaya bertani itu, menurut Suryani, tak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Tiap kali panen, seperti sebagian besar petani di Indonesia, Suryani hanya menjual secara ijon atau taksiran kasar luas lahan. Harganya Rp 150 ribu per are. “Itu kalau panennya bagus. Kalau jelek paling mahal seratus ribu (untuk satu are),” tambahnya.
Hasil penjualan itu harus dibagi sepertiganya pada pemilik lahan. Sebab Suryani memang menggarap lahan orang lain. Singkatnya Suryani akan mendapat sekitar Rp 4,5 juta selama tiga bulan tersebut. “Untuk hidup masih kurang. Makanya suami saya juga kerja jadi tukang,” kata Suryani.
Selain menghadapi masalah mahalnya biaya bertani dan murahnya harga jual padi, Suryani dan petani lain di Denpasar juga menghadapi masalah lain: lahan mereka terancam hilang.
Menurut I Nyoman Sutawan, Guru Besar di Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali, beberapa tahun belakangan ini areal persawahan di Bali yang telah beralih fungsi mencapai 1000 ha per tahun. Sekitar 30 tahun lalu, menurutnya, jumlah lahan persawahan di Bali sekitar 120 ribu hektar. Namun sekarang tak lebih dari 80 hektar. “Penciutan areal sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di lokasi yang dekat kota karena dipicu oleh harga yang cenderung membubung tinggi,” katanya.
Data Sutawan itu sesuai dengan data dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Distan) Bali. Pada tahun 2004 terdapat 82.095 hektar lahan sawah di Bali. Namun pada tahun 2005 jadi 81.210 hektar. Setahun kemudian, pada 2006, tinggal 80.997 hektar.
Sutawan mengatakan, maraknya alih fungsi lahan pertanian itu terjadi karena petani pemilik sawah, terutama di kota, cenderung tergoda oleh tawaran harga tanah yang tinggi. “Sebab, jika dibandingkan dengan mengusahakan sendiri untuk usahatani hasilnya sungguh tidak seimbang,” tambahnya.
Pendapat Sutawan bisa dilihat di lapangan. Lahan pertanian di Bali, terutama di Denpasar dan Badung, saat ini memang makin hilang digantikan oleh pembangunan jalan, rumah, dan semacamnya. Nyaris tidak ada tempat yang bersih dari konversi lahan: Kesiman, Peguyangan, Renon, Canggu, dan seterusnya. Akibatnya konversi lahan, petani pun mendapat masalah. “Sekarang susah sekali mendapat air. Padahal dulu sangat gampang,” kata Wayan Artha, petani di Kesiman, Denpasar Timur.
Menurut Artha, sejak dua tahun ini dia mulai kesulitan mengairi 30 are lahannya tak jauh dari jalan raya By Pass Ngurah Rai Sanur tersebut. Karena itu Artha kini beralih ke tanaman jagung dari yang semula padi. Sebab jagung perlu air lebih sedikit dibanding padi.
Makin susahnya air tersebut, lanjut Artha, terjadi akibat sumber air dari daerah Mambal, Kabupaten Badung juga makin mengecil. Petani sepanjang aliran kanal itu pun kini harus membagi air. “Kami harus giliran dengan kelompok subak lain agar dapat air,” ujarnya.
Kalau sebelumnya tiap hari ada air, maka sekarang hanya dua hari dalam seminggu. Jadinya meski menanam jagung pengairan juga masih terlambat.
Banyaknya bangunan yang menggantikan sawah juga jadi penyebab makin susahnya petani mendapat air. Sawah Suryani kini dikepung berbagai bangunan: rumah, toko, sekolah, hingga cafe. “Saluran airnya ditutup karena dipakai jalan,” katanya. Di jalan Tukad Badung, di mana sawah Suryani berada, lima tahun terakhir memang terjadi konversi lahan sangat cepat.
Renon adalah kawasan pusat pemerintahan di Bali. Di daerah ini ada kantor Gubernur Bali, Kantor DPRD Bali, dan berbagai lembaga pemerintah lainnya. Beberapa kawasan rumah elit pun berada di sini. Tak heran jika areal sawah-sawah di daerah sini pun berubah sangat cepat menjadi perumahan, pertokoan, dan semacamnya. Apalagi harga tanah di sini termasuk mahal, antara Rp 150 juta sampai Rp 300 juta per are.
“Sepuluh tahun lalu masih sawah semua di sini,” kata Suryani.
Menurut Sutawan, makin terjepitnya posisi petani maupun pertanian di Bali terjadi akibat belum adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah. “Sampai hari ini pembangunan pertanian hanya wacana. Termasuk di Bali,” kata penulis buku tentang subak, sistem irigasi tradisional di Bali ini.
“Pemerintah masih menganakemaskan pariwisata dan industri,” lanjut Sutawan.
Akibatnya salah satu kearifan budaya Bali, subak, pun terancam punah. “Tradisi lokal ini sangat dipengaruhi oleh pertanian. Maka ketika lahan pertanian semakin tidak ada, maka pelan-pelan tradisi ini juga akan hilang,” katanya.
Sutawan memberikan data makin berkurangnya jumlah subak di Bali tersebut. Pada tahun 1980 terdapat 1.733 kelompok subak di Bali. Sembilan tahun kemudian sudah berkurang jadi 1.402 kelompok. Saat ini, menurut Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Bali, ada sekitar 1.600 subak. Namun Sutawan meragukan data itu. “Karena memang pendataannya tidak jelas,” tuding Sutawan.
Makin berkurangnya jumlah lahan dan subak di Bali pun berdampak pada produksi tanaman pangan di Bali. “Kalau pangan sudah dilalaikan, tidak mungkin negara akan besar,” ujar Sutawan.
Jumlah panen di Bali sendiri memang tidak stabil, fluktuatif. Tapi secara umum terlihat menurun. Menurut data Distan Bali, empat tahun terakhir luas tanam padi cenderung turun. Dari 154.065 hektar pada 2004 menjadi 152.877 hektar pada 2005, 145.795 hektar pada 2006, dan 154.724 hektar pada 2007. Luas tanam menurun 4,63 persen dari tahun 2005 ke 2006 namun setahun kemudian naik 6,12 persen.
Produksi padi pun demikian. Dari 788.360 ton pada 2004 jadi 786.360 ton pada 2005, 840.891 ton pada 2006, dan 839.775 ton pada 2007. Terakhir terjadi penurunan hingga 2008 ini sebesar 0,76 persen.
Ketika produksi padi menurun penduduk justru terus bertambah. “Akibatnya kita jadi bergantung pada pangan impor,” kata Sutawan.
Karena itu, menurut Sutawan, pemerintah Bali sebaiknya mempunyai program yang jelas untuk petani di Bali. Misalnya dengan kebijakan tata ruang yang memihak petani. Kebijakan tata ruang Bali juga sudah ada. “Tapi apakah sudah ada zoning?” tanya Sutawan.
“Petani tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tata ruang. Kelian subak tidak pernah dilibatkan. Law enforcement juga tidak ada,” tambahnya.
Masalah lain yang dihadapi petani di Bali, menurut Sutawan, adalah soal kepemilikan lahan. Sebagian besar petani bukanlah pemilik lahan tapi hanya penyakap. Karena itu perlu adanya reforma agraria di Indonesia. Pemerintah setidaknya mendukung agar petani juga bisa memiliki lahan. Ini yang dilakukan pemerintah Jepang dan Taiwan. Mereka membantu petani dengan kredit agar bisa memiliki lahan sendiri. Memang di Indonesia ada UU Land Reform, tapi tidak digubris.
Bantuan lain yang bisa diberikan pada petani adalah pembebasan pajak, terutama ketika petani gagal panen. “Saat ini kan tidak ada. Petani malah dijerat dengan mahalnya pajak lahan mereka,” kata Sutawan. Lahan pertanian disamakan dengan nilai jual objek pajak (NJOP) di sekitarnya. “Masak lahan pertanian disamakan dengan industri dan fasilitas wisata lain,” kata Sutawan.
Padahal, menurutnya, lahan pertanian juga memiliki fungsi jasa yang tidak bisa dinilai secara ekonomi. Misal sebagai penjaga lingkungan sehingga tetap ada daerah serapan air tanah, membuat udara bersih, dan menahan erosi. “Tapi nilai untuk lingkungan itu tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah,” kata Sutawan. [b]