Mengunjungi pegunungan Jepang bagian tengah, sepertinya tak lengkap tanpa menjejakkan kaki di sekitar Gunung Fuji. Gunung setinggi 3.426 m di atas permukaan laut tersebut berada di dua provinsi, yaitu Yamanashi dan Shizuoka.
Di sela-sela mengikuti kegiatan workshop dan sosialisasi mitigasi bencana di sekolah menengah dan kantor balai kota Kawaguchiko, kami tidak menyia-siakan waktu tersisa untuk mengeksplorasi tempat-tempat wisata yang ada, khususnya berkaitan dengan Gunung Fuji. Kekuatan wisata di kaki Gunung Fuji salah satunya ialah mereka mampu mengolah dan mengemas berbagai aktivitas wisata yang magnetnya berbahan dasar sama, yaitu Gunung Fuji.
Spirit Gunung Fuji bertebaran dalam berbagai kemasan wisata. Entah itu wisata alam, budaya, maupun buatan. Spirit Gunung Fuji itu tak hanya menjadi ruh bagi destinasi-destinasi wisata utama. Dia juga menyusup, menelisik ke dalam berbagai kuliner, suvenir, kartu pas, gantungan kunci, hiasan dinding interior akomodasi wisata, dan papan-papan penanda di jalan raya.
Semua atribut hampir tak pernah terlepas dari spirit Gunung Fuji. Gunung yang dikelilingi lima danau yang tak kalah mempesonanya.
Sehari setelah workshop penanggulangan bencana (14 Juni 2023), kami mengunjungi Stasiun 5 pendakian Gunung Fuji yang terdapat di area cukup tinggi. Jarak tempuhnya dari Kantor MFRI sekitar 1,5 jam melewati kawasan hutan cukup lebat. Di tengah perjalanan kami melewati sebuah jembatan yang di kanan kirinya terdapat tajuk pohon-pohon cukup rapat.
Dari atas jembatan terlihat hamparannya sangat luas. Inilah hutan Aokigahara. Hutan ini fenomenal dan viral karena sering menjadi lokasi bunuh diri terutama warga berusia muda. Menurut penerjemah kami hari itu, Fajar, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti pertukaran pelajar di salah satu kampus di Jepang, banyaknya kejadian bunuh diri di hutan tersebut selain karena dipicu oleh cerita sebuah novel. Hal ini karena banyaknya anak muda yang mengalami krisis pertumbuhan awal dewasa muda.
“Anak muda Jepang terlalu terbebani dengan predikat mereka sebagai negara maju dengan warganya yang cerdas-cerdas. Padahal, realitanya, tidak semua anak mudanya cerdas dan pintar,” kata Fajar.
Fajar mengatakan kehidupan modern yang serba cepat mengejar kemajuan juga menghadirkan kekosongan jiwa yang teramat parah bagi anak-anak muda Jepang kekinian. Mereka juga jarang yang mau menikah dan punya anak.
“Faktor-faktor inilah yang memicu depresi yang kemudian diakhiri dengan aksi bunuh diri,” jelas Fajar yang membuat saya menghela napas berat. Ternyata modernitas tak selalu menghadirkan kebahagiaan buat warganya.
Di Stasiun 5 pendakian Gunung Fuji cuaca cukup ekstrem. Dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Padahal saya sudah membekali diri dengan jaket tebal. Namun, rasa dingin itu tetap menembus kulit di bawah jaket. Beberapa mas-mas joki kuda tampak menemani kuda-kudanya yang siap membawa pengunjung berjalan-jalan.
Kami menuju ke arah bangunan Pusat Informasi Pendakian Gunung Fuji. Lokasinya persis di sebelah sebuah toko oleh-oleh. Di sana kami disambut oleh Kepala Pusat Informasi yang telah siap memberikan informasi. Pendakian Gunung Fuji saat itu tengah sepi. Gunung Fuji baru akan dibuka untuk pendakian pada 1 Juli sampai minggu kedua September. Pada saat itu jumlah pendaki bisa mencapai 5.000 per hari.
Jalur pendakiannya sudah disediakan anak-anak tangga dari batu dan kayu. Di beberapa pos juga disediakan kabin-kabin buat penginap para pendaki, sehingga pendaki tak perlu membawa tenda. Beberapa aturan tegas dibuatkan bagi pendakian, sperti dilarang nyampah dan menyalakan api unggun. Pendaki bisa meminta ditemani ranger (guide) selama pendakian untuk membantu mereka. Sama seperti di Tanah Air, tujuan pendakian adalah untuk menyambut matahari terbit di puncak gunung saat fajar.
Perubahan Besar
Tempat berikutnya yang layak diceritakan adalah Museum Fujisan World Heritage yang berlokasi di Fuji Yoshida, prefektur Yamanashi. Di sini kita bisa memperoleh berbagai pengetahuan dasar tentang kebudayaan Jepang, mulai dari jaman Sengoku, Edo (1603-1807), hingga zaman modern. Sebagaimana tercatat pada zaman Edo-lah Jepang mengalami apa yang disebut dengan restorasi Meiji. Kebijakan ini membawa perubahan besar dalam aspek politik, ekonomi dan sosial dalam peradaban Negeri Sakura.
Berbagai informasi tersebut disampaikan bukan lewat ceramah atau penjelasan yang membosankan. Petugas hanya memberikan penjelasan singkat di awal tentang bagaimana tour museum itu akan berjalan. Sebuah ponsel lengkap dengan pelantangnya diberikan kepada setiap pengunjung. Kita bisa mendengarkan semua penjelasan dari setiap panel hanya dengan mendengarkan dari ponsel tersebut.
Kami hanya bisa bilang ‘wow’ pada apa yang kami lihat. Dengan apik dan epiknya pemerintah Jepang membangun museum Fuji san hingga bisa tampil menjadi pusat pembelajaran sekaligus atraksi wisata yang menghibur. Berbagai koleksi museum tampil elegan, hi-tech, dan milenial sehingga memanjakan olah akal dan olah rasa penikmatnya. Pencahayaannya dibuat bergradasi dan berubah-ubah dari menit ke menit sehingga memberikan sensasi bagi mata pengunjung.
Tak henti bibir ini berdecak kagum manakala menikmati panel demi panel, sudut demi sudut. Hal yang paling spektakuler ialah perform virtual reality museum Fujisan yang sangat paripurna.
Model presentasi paling menakjubkan di museum tersebut adalah sebuah replika Gunung Fuji di sudut ruangan seluas kurang lebih 700 meter persegi. Dalam sebuah palung terdapat miniatur Gunung Fuji berwarna putih dengan kontur yang sangat presisi.
Saat sebuah layar plasma disentuh, mulailah sebuah tayangan di dinding ruangan layaknya sebuah layar bioskop, menyajikan fragmen demi fragmen sejarah Jepang, khususnya sejarah warga sekitar Gunung Fuji. Sementara miniatur Gunung Fuji menampilkan peta warna-warni yang temanya berubah-ubah sesuai materi yang dibahas di layar pada dinding.
Beberapa proyektor besar Nampak tergantung di langit-langit ruangan memancarkan cahaya redup yang kemudian dipantulkan di dinding maupun miniatur gunung. Transisi dari satu fragmen ke fragmen berikutnya berlangsung amat smooth dan bergantian antara di layar dinding dan di replika gunung Fuji.
Dengan menyimak suguhan foto grafis dan multimedia di sini saya mengetahui lebih detil bahwa ternyata kegiatan pendakian Gunung Fuji tidak hanya sekedar kegiatan wisata. Pendakian gunung sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu oleh warga lokal sebagai sebuah bentuk ritual penyembahan (penghormatan) terhadap dewi penguasa Gunung Fuji yaitu dewi Kanohana Sakuya Hime. Ia merefleksikan bagaimana masyarakat lereng Fuji dengan segenap wujud kebudayaannya menjalin hubungan yang selaras dan harmony dengan alam sekitarnya.
Selain ritual pendakian gunung, warga bersama tokoh-tokoh spiritual Gunung Fuji juga memiliki ritual pemujaan obor setiap Agustus yang selalu penuh sesak oleh kunjungan wisatawan. Maka, tak aneh kemudian bila pintu masuk jalur pendakian era modern dimulai dari kuil-kuil yang ada di sekitar lereng Fuji.
Saya bersyukur dapat memahami sejarah dan spirit budaya Gunung Fuji setelah membenamkan diri di Fuji san museum selama kurang lebih dua jam. Keterbatasan dalam bahasa lokal tak membuat kesukaran berarti dalam belajar karena pihak museum juga menyediakan informasi dalam bahasa Inggris.
Membaca Ramalan
Pada hari lain kami berkesempatan mengunjungi dua situs budaya lereng Fuji yaitu Situs Funatsu dan Kuil Fuji Sengen Jinja Shrine. Funatsu berlokasi tak jauh dari kantor MFRI tempat kami workshop dua hari sebelumnya. Area sekitar situs yang berupa hutan dengan vegetasi cukup rapat dan tajuknya yang tinggi memberikan pengaruh pada sejuknya cuaca dalam kawasan situs.
Ingatan saya melayang ke Pura Besakih manakala masuk ke dalam area kuil Kuil Fuji Sengen Jinja Shrine. Melewati gate utama, mata kita dimanjakan dengan deretan pohon pinus tua di kanan-kiri jalan tanah. Terasa sekali kayanya oksigen yang memasuki rongga dada ketika kita melangkahkan kaki. Sejuk dan segar.
Setelah menelusuri jalan sepanjang 250 meter, di hadapan saya terdapat gerbang kayu berkaki empat yang berdiri kokoh. Di depannya mengalir sungai kecil dengan airnya yang jernih.
Menurut Bu Asahina yang mengantarkan kami hari itu, kuil Fuji Sengen Jinja merupakan kuil terbesar di daerah Fujiyoshida. Di kuil itu diadakan festival obor setiap Agustus yang merupakan refleksi penghormatan warga Sinto Gunung Fuji terhadap dewi dan dewa penguasa Gunung Fuji. Sebuah bangunan paling besar di dalam area kuil berisikan patung-patung dewa.
Banyak warga Jepang maupun turis yang datang melakukan peribadatan. Ada juga yang meminta kertas lipat berisi ramalan. Setelah dibaca kertas tersebut digantungkan di halaman luar kuil.
Sebuah bangunan di sisi kiri yang berisi pancuran kecil yang airnya keluar dari patung naga perunggu menarik minat saya untuk mendekat. Sejumlah orang membasuh muka dan meminum air yang mengucur. Secara bergantian mereka maju silih berganti untuk melakukan ‘ritual minum air pancuran ala Jepang’. Saya ikut masuk dalam antrean.
Ini semacam melukat di pura-pura di Bali, pikir saya.
Kenangan ini membuat saya merasa tak berjarak dengan kuil ini. Segarnya air tirta yang melewati tenggorokan menghadirkan kesegaran yang tiada terperikan. Beberapa detik saya terhanyut ke dalam sensasi spiritual yang seakan menghubungkan saya dengan peradaban kuno masyarakat Fuji.
Bangunan berikutnya yang memikatku adalah deretan ‘pelinggih’ di sisi kanan bangunan utama. Beberapa bangunan kecil berwarna merah berdiri berjejer persis komposisi pelinggih pura di Bali. Di belakang pelinggih tunbuh pohon-pohon pinus tua yang memberikan kesan magis pada area tersebut. Tepat di ujung deretan pelinggih terlihat gapura kayu yang di sisi kanannya terdapat patung laki-laki yang konon merupakan patung yang mencerminkan sosok pendaki di masa awal. Bila Anda melanjutkan langkah kaki terus ke sana, Anda akan diantarkan melewati pos demi pos pendakian yang berakhir di puncak Gunung Fuji.
Saya tidak masuk ke bangunan utama karena bangunan itu nampaknya hanya untuk warga atau pengunjung yang melakukan peribadatan. Saya cukup melakukan doa sederhana di depan bangunan, menangkupkan tangan dalam posisi anjali dan membiarkan ruang hening di dalam berkuasa beberapa jenak. Menyampaikan doa dan respek saya kepada leluhur masyarakat Fuji yang telah menghadirkan kearifan lokal yang amat luhur sehingga bisa menjadi pondasi peradaban bangsa Jepang hingga kini.
Tentu saja berterima kasih juga karena warisan agung itu bisa dinikmati juga oleh pengunjung yang datang, termasuk saya dan rombongan kami.
Sungguh kunjungan singkat seminggu di kawasan lereng Gunung Fuji banyak memberikan pembelajaran tentang bagaimana kita bisa mengemas potensi spiritual, alam, budaya yang dimiliki menjadi suguhan atraksi wisata yang elegan, eksotik, sekaligus menjadi sumber ilmu pengetahuan. Sebuah pelajaran yang tak habis-habisnya bisa kita timba dari generasi ke generasi.
Selama beberapa hari di Lembah Fuji kami belajar bahwa hidup bukan hanya untuk pengejaran materi namun akan jauh lebih bermakna bila disertai dengan menimba kebijaksanaan dan kearifan dari alam sekitar, sebagaimana para leluhur warga Fuji san melakukannya dan diwarisi oleh generasi hari ini.
Haik, Arigato Ghozaimasu. [b]