Pukul 11 malam, 29 Januari 2014. Suasana Pura Suranadi cukup ramai.
Anak-anak pelajar dari sekitar Mataram diajak oleh sekolahnya melakukan jagra (tidak tidur) di pura ini. Saya dan rombongan dari Bali baru saja memasuki kota Mataram beberapa jam sebelumnya.
Setelah menumpang mandi dan mempersiapkan banten untuk bersembahyang di rumah saudara di Karang Medaeng, kami, 13 orang dari Bali dan 4 orang dari Lombok, meluncur ke Pura Suranadi dengan dua mobil.
Pukul 1.30 siang. Saya dan rombongan sudah ada di Bandara Ngurah Rai Bali. Pesawat Garuda yang kami tumpangi menuju Lombok rencananya akan berangkat pukul 15.10 Wita. Setelah melewati pintu keberangkatan dan melalui scanner, kami antre di depan counter Garuda untuk check in. Boarding pass sudah di tangan masing-masing rombongan.
Sekali lagi kami harus melewati scanner sebelum bisa duduk di bangku panjang, di gate 20 keberangkatan domestik.
Sekitar pukul 15.00 Wita dari pengeras suara, terdengar suara merdu wanita yang memberitahukan pesawat Garuda menuju Lombok tertunda keberangkatannya. =Ternyata nggak cuma si Lion yang suka telat, si Garuda juga ikut-ikutan.
Hanya saja saya tak habis pikir, kalau maskapai penerbangan terlambat terbang, hingga 2 jam kita tidak bisa protes. Coba kita telat check in 5 menit saja dari batas akhir waktu check in bisa-bisa kita ditolak naik ke pesawat.
Pukul 5.20 Wita sore kami keluar dari Bandara Internasional Lombok, setelah menunggu bagasi yang lamanya hampir sama dengan waktu terbang dari Bali ke Lombok. Saya tersadar. Ada yang beda, sangat sepi kalau untuk sebuah Bandara Internasional. Ruang tunggu keberangkatan dan di penjemputan hanya terlihat beberapa orang.
Ternyata cerita tentang BIL, begitu orang Lombok menyebut nama bandaranya, terbukti. Bandara internasional yang luas tapi sepi dan masih banyak lahan-lahan hijau. Untung tidak lihat sapi ataupun kambing.
Sinkretisme
Dari pukul 6 sore, kami asyik bertukar cerita tentang Bali dan Lombok dengan keluarga yang menjemput tadi. Sepertinya Lombok lebih seru cerita sinkretisme agama Islam dan Hindunya dibanding dengan di Bali.
Setelah makan malam dan berpakian sembahyang kami bersiap meluncur ke pura Suranadi. Ternyata sudah pukul 9.30 malam. Rombongan berjalan tidak buru-buru. Menikmati kota Mataram di malam hari.
Pukul 11.30 malam, selesai menghaturkan sembah di pelinggih atas kolam pemandian. Saya pun mengganti pakian dengan kain putih yang tersedia di situ. Tiga orang, dengan badan yang kekar saya lihat terlebih dahulu masuk ke dalam kolam ketika sedang memakai kain putih.
Setelah menghaturkan sembah sebentar, saya pun mencelupkan kaki ke kolam. Airnya sangat dingin. Ada ragu yang muncul di hati. Jangan-jangan saya tidak kuat mandi suci di tengah malam Siwa Ratri ini. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, saya mulai melangkah menuju pancuran air yang ada di seberangnya. Dingin semakin terasa.
Saya celupkan wajah. Benar-benar dingin. Saya coba memasukkan seluruh badan hingga kepala ke dalam air. Sangat dingin.
Setelah menyelam beberapa kali, saya memutuskan menyudahi ritual mandi suci di pura Suranadi. Pelan, saya melangkah mundur, hingga kembali sampai di tempat semula saya turun tadi. Hilang sudah kekhawatiran saya, kalau tiba-tiba pingsan karena tidak kuat akan dinginnya air pegunungan yang memenuhi kolam pemandian itu.
Khasiat
Saya sempat heran, setelah naik dari kolam, badan saya terasa lebih segar, tidak dingin lagi. Padahal saat itu sudah pukul 12 malam.
Keputusan ikut ritual mandi suci ini saya ambil, sesungguhnya setelah mendengar cerita saat di rumah saudara tadi. Kata salah satu saudara yang telah lama tinggal di Lombok, mata air yang muncul di Pura Suranadi adalah karya dari Dang Hyang Nirartha, tokoh besar Hindu abad ke-13 hingga 14.
Dari sinilah dimulainya catatan panjang pengajaran Hindu di Lombok hingga terjadi sinkretasi antara Hindu dan Islam di beberapa tempat di Lombok.
Ada lima mata air yang beliau buat saat tiba di Lombok pertama kali. Ini untuk menjawab keadaan Lombok saat itu yang tidak memiliki pedanda, pendeta suci. Kalau Dang Hyang Nirartha tidak ada di Lombok, maka masyarakat di sana cukup menggunakan tirta-tirta dari mata air yang muncul untuk menuntaskan upacara yang mereka lakukan.
Konon, katanya, mata air itu muncul dari hujaman tongkat yang dibawa Dang Hyang Nirartha. Setiap beliau menghunjamkan tongkatnya ke tanah, maka muncullah mata air. Lima mata air yang muncul dikenal dengan sebutan panca tirtha. Hingga saat ini segala ritual Hindu di Lombok yang besar selalu menggunakan tirtha dari pura Suranadhi ini.
Selain untuk keperluan ritual keagamaan, air dari mata iar di pura Suranadi juga diyakini memiliki khasiat penyembuhan dan juga bisa mengabulkan permohonan kita.
Oya, selain segar, setelah mandi suci tadi pegal-pegal di badan juga hilang. Mungkin benar juga cerita tentang khasiat air suci di Pura Suranadi ini. Jadi teringat dengan terapi rendam esnya tim sepakbola under 19 kita.
Jadi buat teman-teman kalau main ke Lombok jangan lupa untuk singgah di Pura Suranadi dan cobalah ikuti mandi suci di kolam pemandiannya. Siapa tahu mendapatkan pengalaman menarik…. [b]