Upaya Gubernur Bali menggugat pers menarik dicermati.
Gugatan ini perlu dicermati terutama langkah-langkahnya yang melompati lompatan prosedur yang seharusnya ditempuh. Memang belum ada peraturan bagaimana tahapan-tahapan sengketa pers diselesaikan. Namun, para pengamat hukum pers memberikan pandangan bahwa siapa pun pihak yang merasa dirugikan pers hendaknya menggunakan pada kesempatan pertamanya, Hak Jawab. Hak Jawab ini diajukan ke media bersangkutan.
Jika hak jawab ini kemudian ditolak media bersangkutan, maka pihak yang merasa dirugikan harus mengajukan kembali. Jika tiga kali ditolak, maka yang merasa dirugikan pemberitaan media bisa mengajukan media tersebut ke pihak kepolisian. Hal ini sesuai pasal 18 ayat 2 UU Pers 1999.
Bagaimana prosedur hukum penyelesaian sengketa pers ini juga diungkap Wina Armada. Tokoh Pers dan Anggota Dewan Pers ini menulisnya dalam buku “Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers”. Wina mengutip pemikiran pakar hukum Syaefurachman Al Banjary. Sebelum pihak yang merasa dirugikan pers mengajukan tuntutan (perdata) ke pengadilan, haruslah dibuktikan lebih dahulu bahwa pers yang menyiarkan berita tersebut memang terbukti tidak melayani hak jawab.
Urutan langkah hukum yang diajukan Syaefurrachman adalah, pertama-tama pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan sebuah media, hak jawablah yang seharusnya diajukan terlebih dahulu kepada media. Jika hak jawab ini tidak dilayani, pihak yang dirugikan harus mengirim somasi sampai tiga kali. Setelah tidak dilayani, pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan kasusnya ke polisi berdasarkan pelanggaran pasal 5 ayat 2 dan pasal 18 ayat 2.
Setelah pengadilan menyatakan pers yang diadukan itu melanggar ketentuan pidana, barulah pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ke pengadilan secara perdata menggunakan pasal 1365 KUHPer. (Wina Armada S, 2007 ;89-90).
Dalam kasus Gubernur Bali, bukan hak jawab yang disampaikan ke Bali Post, melainkan langsung somasi.
Langkah penting lain yang juga ditempuh pihak yang merasa dirugikan oleh media adalah menyampaikan pengaduan kepada Dewan Pers. Dewan Pers akan menindaklanjuti pengaduan ini dengan melakukan penilaian dan proses mediasi. Menurut Moeslim Kawi anggota Ombudsman Riau Post dalam artikelnya yang dimuat di situs LBH Pers (diunduh Senin, 20 Feb 2012 pkl 14.45 WIB), hasil pemeriksaan kasus inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers.
Dari sudut kredibilitas penataan atas pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) Dewan Pers, Moeslim menyatakan apresiasinya. Fakta menunjukkan pernyataan penilaian dan rekomendasi Dewan Pers selama tujuh tahun, pada umumnya dipatuhi para pihak yang terlibat. Ini menunjukkan bahwa PPR Dewan Pers cukup independen dan telah dilakukan dengan memenuhi asas-asas kepatutan.
Pers skala besar dan pihak-pihak setingkat menteri yang berperkara dalam sengketa pers sangat menghormati dan patuh terhadap PPR Dewan Pers. Isi dan PPR Dewan Pers itu dilaksanakan baik oleh para pihak, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan mereka. Contohnya kasus Menteri BUMN Laksamana Sukardi yang mensomasi sejumlah media terkait pemberitaan yang menyebut mantan tokoh PDIP ini kabur ketika akan diperiksa pihak penegak hukum. Baik Laksamana Sukardi maupun media yang digugat sama-sama mematuhi PPR yang dikeluarkan Dewan Pers untuk penyelesaian kasus tersebut. Mereka tidak menempuh jalur hukum.
Menurut data, selama tujuh tahun (2001-2008) Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers tersebut selalu dipatuhi. Hanya ada beberapa kasus saja yang tidak sepenuhnya dilaksanakan. Salah satunya adalah gugatan Gubernur Bali terhadap Bali Post.
Menyoal prosedur penyelesaian sengketa pers ini memang belum terdapat acuan baku. Artinya, ketika seseorang dirugikan atas pemberitaan pers harusnya mengajukan hak jawab sebagai satu-satunya cara penyelesaian sengketa pers, belum diatur secara tegas. Pun demikian, bahwa memang benar tidak ada larangan bagi pihak yang dirugikan media untuk langsung mengajukan gugatan ke pengadilan dengan menggunakan pasal-pasal perdata bahkan pidana.
Namun, biasanya gugatan hukum diajukan ke pengadilan adalah pada pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik atau fitnah. Substansi beritanya menyerang wilayah privat. Jarang ada gugatan terhadap media yang substansi pemberitaannya adalah soal kebijakan.
Pada kasus Gubernur Bali menggugat Bali Post, Dewan Pers telah melakukan mediasi dan telah pula mengeluarkan pernyataan, penilaian dan rekomendasi. Inti dari PPR tersebut bahwa adanya pelanggaran kode etik yang telah dilakukan Bali Post. Gubernur Bali disarankan menggunakan Hak Jawabnya. Bali Post telah menyatakan kesediaan untuk memuat hak jawab. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa ada pengakuan mengenai kesalahan menyangkut kode etik yang dilakukan Bali Post.
Namun, pihak Gubernur Bali memilih menolak menggunakan hak jawabnya. Dia tetap melanjutkan gugatan hukum ke pengadilan.
Ketidakbersediaan Gubernur Bali menggunakan hak jawab ini mengundang pertanyaan tidak saja pada saat setelah keluarnya PRR Dewan Pers, namun juga sejak awal munculnya berita. Padahal Gubernur Bali adalah entitas hukum yang harusnya benar-benar memahami hukum terutama UU Pers No. 40 1999 yang rohnya adalah bagaimana Hak Jawab mestinya ditempatkan sebagai bagian utama dalam penyelesaian sengeketa atau delik pers.
Dalam tulisannya, Dewa Rai Anom PNS bagian Humas Pemprov Bali yang dimuat Bale Bengong berjudul Gagalnya Pembunuhan Karakter Melalui Bali Post ada disebutkan soal telah digunakannya hak jawab oleh Gubernur Bali saat sidang paripurna DPRD pada hari di mana berita yang digugat dimuat. Argumentasi ini menunjukkan ketidakpahaman penulis (Rai Anom) soal hak jawab.
Jelas bahwa Gubernur Bali dalam kesempatan tersebut menyatakan dirinya belum membaca Bali Post. Video pernyataan Gubernur Bali bisa dilihat di situs Bali Post. Bagaimana bisa hak jawab diberikan jika beritanya saja belum dibaca oleh yang bersangkutan?
Implikasi dari kengganan penggunaan hak jawab ini dari sejumlah yurisprudensi sengketa pers dapat disimpulkan tidaklah kecil. Bahkan ada banyak kasus di mana gugatan digugurkan karena adanya keengganan menggunakan Hak Jawab oleh pihak yang merasa dirugikan media. Mereka yang tidak menggunakan hak jawab patut dipertanyakan haknya untuk melakukan gugatan. Sebab, dalam logika hukum, mereka bisa dikatogorikan sebagai pihak yang ikut membiarkan beredarnya informasi salah.
Dalam pledoinya di hadapan majelis hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 16 Agustus 2004, Bambang Harimurti, wartawan majalah Mingguan Tempo yang didakwa telah membuat berita bohong, keonaran dan fitnah terhadap pengusaha Tommy Winata menyatakan:
“Mereka yang mengetahui ada kesalahan di media dan tidak menggunakan jak koreksi atau hak jawabnya jelas bukan warga yang baik, karena membiarkan informasi yang salah beredar di masyrakat, oleh karena itu menurut hemat saya sepatutnya kehilangan haknya untuk menggugat seorang yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetapi tidak mempergunakan hak jawabnya seharusnya kehilangan haknya untuk menggugat”(Wina Armada, 2007 : 91)”
Jauh sebelum kasus Tempo Vs Tommy Winata terjadi dan sebelum UU Pers No.40 1999 diberlakukan, Mahkamah Agung pernah memutuskan hal serupa. MA menolak gugatan dari penggugat terhadap media karena tidak digunakannya hak jawab. Keputusan tersebut menyangkut gugatan seorang pengusaha di Medan yang menggugat Harian Garuda sekitar tahun 1989.
Pada pengadilan negeri dan Pengadilan Tinggi, penggugat dimenangkan. Tetapi pada kasasi di MA, Harian Garuda di bebaskan dari gugatan. Dasar pertimbangan majelis hakim di MA ketika itu adalah:
“Tidak digunakannya hak Jawab oleh penggugat, sehingga perbuatan penggugat tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh tergugat dalam harian Garuda adalah mengandung kebenaran, paling tidak mengandung nilai estimasi”
Hak jawab sesungguhnya bisa menjadi bagian penting sebagai dalam penyelesaian sengekta pers. Majelis Hakim di MA berpendapat bahwa dalam rangka pelaksanaan fungsi pers, keseimbangan secara universal di tempuh melalui instrument hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers. Majelis hakim di MA menegaskan sebagai berikut:
“Hak jawab merupakan instrumen paling tepat dibandingkan dengan proses hukum yang selalu terdapat kemungkinan tidak dapat diketahui secara luas sebagaimana kalau menggunakan hak jawab, karena dengan menggunakan hak jawab akan ada keseimbangan antara kesemestian pers bebas dan kemestian perlindungan kepentingan seseorang dari pemberitaan pers yang keliru”
Maka dari sejumlah yurisprudensi sengketa pers, telah terlihat bahwa posisi hukum dari hak jawab tidaklah kecil, bahkan sangat menentukan. Hal ini memberikan gambaran bahwa penggunaan hak jawab semestinya ditempatkan sebagai upaya penyelesaian sengketa pers yang memenuhi asas keadilan bagi semua pihak.
Hal penting lain yang juga harusnya mendapat perhatian lebih mendalam bahwa pada kasus pemberitaan yang digugat Gubernur Bali jelas substansinya adalah pada ranah kebijakan bukan ranah pribadi. Indikatornya, gugatan dilakukan atas nama Gubernur Bali bukan atas nama Mangku Pastika sebagai pribadi. Posisi hukum penggugat ini juga mengundang tanda tanya lain karena menyangkut asal muasal dana-dana yang dipergunakan untuk membiayai penasehat hukum penggugat.
Wayne Overbeck, pakar dari California State University, Fullerton, penulis Buku Major Principles of Media Law yang telah dicetak hingga edisi ke-14 seperti dikutip Effendi Gazali dalam sebuah artikelnya yang dimuat di duniaesai.com (diunduh Selasa 21 Februari 2012 Pkl 15.20 WIB) menyatakan dengan tegas soal posisi badan pemerintahan dalam konteks gugatan hukum terhadap pers dalam kasus di negara Amerika Serikat.
Overbeck menyatakan bahwa badan-badan pemerintah di AS tidak mungkin bisa mengajukan gugatan terhadap pers (meski pegawai pemerintah sebagai individu dapat melakukannya jika reputasi pribadinya dirusak oleh pemberitaan pers). Landasan filosofi di belakangnya kurang lebih: uang rakyat tidak boleh digunakan untuk menggugat kebebasan masyarakat mendapatkan dan mendiskusikan informasi!
Kalau gugatan atas nama pribadi, maka substansi berita harusnya yang menyangkut masalah pribadi. Dana untuk pengacara juga adalah dana-dana pribadi Mangku Pastika, bukan dari APBD. Namun, jika gugatan hukum atas nama Gubernur Bali atas berita yang substansinya adalah mengkritik kebijakan, maka dana untuk pengacara haruslah menggunakan dana APBD. Tetapi filosofi dasar penggunaan APBD yang nota bene adalah uang rakyat jelas tidak bijak jika dipergunakan untuk menggugat pers. [b]
Penulis, Wartawan tinggal di Semarang bekerja pada media kelompok Bali Post. Tulisan ini pendapat pribadi yang tidak mewakili perusahaan dan organisasi manapun.
jika saya ingin berkomentar panjang lebar, saya akan mewawancara kedua belah pihak dan mengumpulkan bukti-bukti berupa koran BP terbitan lawas yg menjadi permasalahan oleh MP.dan perlu ditanyakan juga tindakan2 apa saja yg telah dilakukan oleh MP dan BP dalam konflik ini.apakah masing2 telah melaksanakan prosedur sebelum kasus ini masuk ke ranah hukum??? kita tidak bisa terpaku dengan hukum yg kadang kaku padahal permasalahan sekarang lebih kompleks.kita ambil contoh hukuman pencuri sendal di jawa 5 thn penjara,sedangkan hukuman koruptor di tuntut 6 thn penjara.LOGIKA nya dimana???? saya tidak tahu apakah itu krn hukum yg lemah atau penegak hukum yg lemah??? seharusnya HUKUM bisa lebih dinamis dan adil.maaf jika mungkin kata-kata saya agak kacau balau krn saya bukan orang hukum,saya hanya rakyat biasa yg agak pesimis dengan HUKUM di negeri kita ini.
Dalam artikel terdahulu penulisan bahwa Gubernur Made Mangku Pastika telah menggunakan hak jawab bukan esensi tulisan, akan tetapi sebatas kronologi sehingga berada dibawah sub judul titik picu. Oleh karena itu, tulisan Saudara Winata yang menyebut Dewa Rai Anom tidak ffaham hak jawab adalah tafsir pribadi yang bersangkutan yang menurut saya diluar konteks tulisan terdahulu. Esensi yang ingin penulis sampaikan adalah setting yang terbaca dalam aneka diskusi dan sarasehan bahwa pesan dibalik berita yang ditangkap dari berita yang bekesinambungan dan banyak melanggar kaidah jurnalistik itu adalah usaha-usaha yang mengarah pada pembunuhan karakter Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Meski sekarang Dewa Rai Anom PNS di Humas Pemprov Bali, sebelumnya ybs pernah menjadi wartawan paling produktif dan pengumpul poin tertinggi serta penulis investigasi sejumlah kasus seperti Selasih, Nang Ciri di Tanah Lot dan reklamasi Pantai Padanggalak. Jadi, tak objektif kesannya menulis Dewa Rai Anom yang PNS Humas Itu tak faham hak jawab
Maaf sebelumnya, mohon kalau ada yg bisa memberikan pencerahan, masalah Hak Jawab.
1. Apa saja definisi hak jawab itu??
2. Seandainya koran A, berkomentar yg tidak sesuai dengan fakta, lalu apakah Hak Jawab kita harus melalui media A (melalui suara pembaca di media A) , ataukah bisa melalui media cetak lain selain Media A tsb??
3. Apakah Hak Jawab tsb harus berupa tulisan di media cetak? Ataukah bisa lewat lisan dan di dengarkan oleh audien yg pesertanya banyak?
4. Apakah Hak Jawab itu nantinya akan memulihkan nama baik seseorang? dan kasus dianggap selesai??
Terimakasih bagi yg bersedia memberikan jawaban/pencerahan.
Halooo, bagaimana kabar Kemoning? Budaga? Apakah akar permasalahan kerusuhan sudah diselesaikan? Kenapa yang rame malah gontok-gontokan para elite saja? Tidak kelihatan ada prestasi baik dari MP maupun ABG dalam menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya?
@ Pak Dewa Rai Anom : Tak ada hubungan antara kemampuan Anda dalam melakukan investigasi dan produktivitas menulis ketika menjadi wartawan dengan pemahaman soal Hak Jawab. Jika saja bagian Humas Pemprov Bali lebih cerdas dan paham soal Hak Jawab maka penggunaan instrumen hukum dalam penyelesaian sengketa pers akan dihindari. Instrumen Hak Jawab adalah inti dari semangat pembentukan UU No 40 tahun 1999. Hak Jawab mestinya dipahami tidak sebagai cara penghindaran tanggungjawab dari media, melainkan adalah juga bentuk hukuman bagi media itu sendiri. Bahkan hak jawab bisa menjadi hukuman yang jauh lebih efektif bagi bagi media daripada penyelesaian sengketa hukum yang rawan menuai kontroversi. Gugatan hukum terhadap pers dalam sejarahnya adalah upaya pembungkaman pers.
Selain itu Hak jawab juga memberi pemahaman yang menyeluruh terhadap khalayak tentang pokok persoalan yang menjadi permasalahan karena masih dalam kurun waktu ketika persoalan tersebut masih menjadi perhatian khalayak. Sementara penyelesaian hukum hanya akan menjadi pengetahuan kalangan yang terbatas disamping waktunya yang jauh lebih lama.
Masih ada satu lagi pertanyaan yang saya harap Pak Dewa Rai Anom bisa menjawabnya ” Darimana asal dana-dana yang digunakan Gubernur Bali untuk membayar para pengacara dalam melakukan gugatan terhadap Bali Post?”
@Gede Sastrawan ST
1. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap sebuah berita yang dianggap merugikan nama baiknya (dari UU Pers No 40 1999)
2. Jika menggunakan logika, maka hak jawab seharusnya dilakukan di media yang dianggap merugikan nama baiknya. Bukan dimedia lainnya.
3.Hak jawab sebaiknya dalam bentuk tertulis yang memang dimaksudkan untuk meluruskan sebuah pemberitaan yang dianggap tidak sesuai dengan fakta (dalam pandangan pihak yang dirugikan oleh media). Dapatkah dalam bentuk lisan dan dihadapan orang banyak? Bisa saja selama hal tersebut dilakukan secara khusus untuk memberikan sanggahan dan tanggapan atas sebuah berita yang telah dengan jelas dipahami oleh si pengguna hak jawab. (misalnya dalam bentuk konfrensi pers). Namun hal ini sangat rentan menimbulkan multitafsir karena penyampaiannya lisan. Berbeda dengan jika dilakukan secara tertulis. Tidak bisa disebutkan hak jawab ketika tanggapan atau sanggahan diberikan sementara si pengguna hak jawab belum mengetahui dengan pasti apa yang disanggah atau ditanggapi atau belum paham apa yang menjadi pokok persoalan yang dianggap merugikan nama baiknya. Karena hal seperti ini sangat rentan juga dengan ketidaktepatan hak jawab. Masalah yang paling berbahaya adalah ketika si pengguna Hak Jawab tak paham apa itu hak jawab.
4. Hak Jawab adalah instrumen yang dianggap lebih memenuhi asas kesemestian karena jawaban atas pemberitaan yang dianggap merugikan nama baiknya akan dapat “membenarkan” atau meluruskan informasi yang salah kepada khalayak luas. Ini menjadi semacam penjelasan bahwa berita yang dinilai telah merugikan nama baiknya tidaklah benar. Pencemaran nama baik adalah hal yang masih mengundang perbedatan hingga saat ini. Memang pasal-pasal dalam KUHP masih memuat soal tindakan pidana pencemaran nama baik. Pasal-pasal ini bagi sejumlah pihak sering di istilahkan dengan pasal karet, karena soal pencemaran nama baik, kerugiannya tak bisa dibuktikan secara riil. Karena itulah biasanya penggunaan pasal pencemaran nama baik harus disertai dengan upaya keras dari si penggugat untuk membuktikan kerugian yang ia terima dari pencemaran nama baiknya. Sementara khusus bagi kekuasaan, dalam KUHP ada istilah pasal-pasal Hatzai Artikelen yakni penghinaan atas kekuasaan pemerintah. Namun pasal-pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Apakah setelah pemuatan Hak jawab kasus dianggap selesai? Ini tergantung dari siapa yang berkasus. Biasanya mereka yang tidak puas dengan pemuatan hak jawab tetap melakukan gugatan hukum. Hal inipun tidak dilarang oleh Undang-undang. Namun yang penting dipahami adalah sejumlah yurisprudensi menyebutkan bahwa sebelum melakukan gugatan, Hak jawab haruslah dipergunakan terlebih dahulu.
Yang menjadi pokok persoalan yang harusnya dicermati bersama-sama dalam kasus Gubernur Bali menggugat Bali Post adalah legal standing, atau posisi hukum dari penggugat. Penggugat adalah Gubernur Bali bukan Mangku Pastika atas nama pribadi/warga negara. Gubernur Bali adalah entitas hukum pemerintahan yang merepresentasikan kekuasaan negara. Pada posisi ini, maka menjadi kewajiban bagi Gubernur Bali untuk menjamin tegaknya kemerdekaan pers karena pers adalah salah satu bentuk perwujudan Hak Asazi Manusia (HAM) terutama dalam hak menyampaikan pendapat. Sebaliknya media juga punya kewajiban menjunjung tinggi hak asazi manusia dengan tidak berlaku semena-mena terhadap warga negara. Karena itulah pers punya kewajiban untuk memuat hak jawab dan apabila melanggar atau tidak mau memuat hak jawab, dikenakan pasal pidana dengan hukuman denda maksimal Rp. 500 juta (pasal 18 ayat 2 UU Pers)
winata: maaf saya kurang banyak mengerti ttng hukum tetapi jawaban anda No.2 saya rasa sangat riskan.kenapa saya katakan riskan krn jika MP selaku gubernur BALI memuat hak jawab nya secara tertulis di koran BP apakah DI JAMIN agar tulisan hak jawab MP selaku Gubernur BALI tidak di KURANGI atau di LEBIHKAN ???? itu yg masi menjadi pertanyaan saya dan mungkin bagi masyarakat awam lain nya yg melihat dr sisi masyarakat awam.
@Ngaceng Ngawak : itulah yang menjadi persoalan kita bersama jika terlalu banyak ketakutan lalu tidak mau melakukannya. Pada kasus Gubernur Bali Vs Bali Post sebernarnya sudah jelas Rekomendasi dari Dewan Pers adalah penyelesaian dengan menggunakan Hak Jawab. Dan Bali Post sudah bersedia memuat hak Jawab dari Gubernur Bali. Dalam sejumlah kasus serupa, biasanya antara pihak media dengan pihak yang akan dimuat hak jawabnya melakukan negosiasi lebih lanjut. Apa saja yang harus dimuat oleh media dan apa-apa yang tidak bisa dikurangi. Masalahnya pada kasus Gubernur Bali kan tidak ada upaya untuk melakukan hal tersebut??. Disarankan menggunakan hak jawab, tetapi justru memilih menggunakan jalur hukum tanpa alasan yang jelas. Nah kalau pasti ternyata ada substansi pokok dari jawaban Gubernur Bali yang tidak dimuat, ya disitulah baru bisa disimpulkan ada hak jawab yang tak dilayani. Dan pilihan gugatan hukum melalui kepolisian bisa dilakukan. Jadi… jangan berburuk sangka dululah karena yang dijabat oleh MP adalah jabatan publik. Ingat persoalan yang jadi pokok masalah adalah soal yang berkaitan dengan jabatannya bukan berkaitan dengan urusan-urusan pribadinya.
@winata : soal Hak jawab MP itu juga yg menjadi pertanyaan saya juga kenapa tidak di gunakan oleh MP??? kita masi belum terlalu tahu masalah dan proses sebenarnya apakah sebelum nya MP sudah pernah melakukan mediasi dgn BP atau belum.jika menurut saya pribadi ada baik nya mereka saling Intropeksi diri. dr sekian lama saya mengikuti perkembangan politik, tidak lah gampang untuk menjadi pimpinan daerah jika tidak di dukung oleh bawahan nya.istilah nya jika pemimpin nya berada di jalan yg benar tetapi bawahan nya “Ngendah” otomatis yg terlihat pemimpin nya yg tidak benar.kalau bawahan nya sendiri tidak mau sadar untuk menjalankan amanat rakyat BALI,sudah tentu SIAPAPUN pemimpin nya tidak akan ada perubahan yg berarti untuk BALI jika pejabat bagian bawah tidak mendukung pemimpin nya.
@Ngaceng Ngawak : Mediasi sudah pernah dilakukan antara Gubernur Bali dengan Bali Post. Pihak yang memediasi adalah Dewan Pers. Hasilnya bahwa benar terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh Bali Post terutama pada point dimana Bali Post tidak melakukan konfirmasi terhadap narasumber utama. Bahwa sumber berita yang dimuat Bali Post termasuk sumber kredibel, namun tetap terjadi kesalahan yakni tidak dilakukannya konfirmasi ke sumber utama. Secara prinsip sanksi yang dikenakan kepada Bali Post adalah Kewajiban Bali Post untuk memuat Hak Jawab dari Gubernur Bali. Sebenarnya hak jawab ini bisa memuat hal-hal yang memang perlu untuk dipaparkan sebagai bentuk sanggahan ataupun koreksi. Bagi sebuah media, memuat hak jawab itu sebuah hukuman yang berat karena akan mempengaruhi kredibilitas media tersebut. Pada sjeumlah kasus, bahkan ketika media diwajibkan memuat hak jawab, media bisa saja menolak. Namun pada kasus Bali Post, sudah ada kesediaan untuk memuat hak jawab Gubernur Bali. Itu artinya sudah ada kemauan dari Bali Post untuk menyampaikan permohonan maaf nya.
Saya tidak mengatakan bahwa menjadi pemimpin itu mudah. Karena itulah kita harus terus menerus menekan pemimpin, terutama mereka yang menikmati fasilitas dari rakyat untuk benar-benar bekerja secara serius. Kalau bisa sesempurna mungkin, jangan sampai ada kekurangan. Kita tak bisa memaklumi kekurangan kepemimpinan yang hidupnya dari pajak-pajak rakyat.JIka ia tak mampu bekerja sempurna, maka adalah keharusan bagi dia untuk tak lagi menjadi pemimpin. Lalu siapa yang mau jadi pemimpin?? biarlah hanya mereka yang mampu bekerja untuk rakyat sepenuh hati, memberikan waktu seluruhnya untuk rakyat. Jangan hanya karena dikritik oleh media kemudian menjadi gusar dan melibatkan diri secara emosional pada konflik tersebut. Tidak mudah menjadi pemimpin memang.
@winata: Suksma atas informasinya pak.memang seharusnya pemimpin itu tegas dan keras untuk melakukan perubahan yg baik bagi rakyatnya.bila perlu pecat pejabat pemerintahan yg tidak melaksanakan tugas nya!!! dan dapat membuat keputusan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.mungkin ada baik nya memilih pemimpin BALI dari jalur Independen krn selama ini saya melihat pemimpin sekarang berada dalam tekanan keperluan partai nya saja.Kita sebagai rakyat BALI harus mencoba nya seperti pencalonan Gubernur jakarta dr jalur Independen Jokowi-Ahok.bukankah begitu pak winata??
Berikut alamat facebook Nyoman Winata yang bekerja di Kelompok Media Bali Post
saran saya untuk para staf Bali Post agar lebih terbuka dalam hati dan pikiran menyikapi perkara Gubernur dan BaliPost
https://www.facebook.com/winata.nyoman
@Made Bayu : Terima kasih sudah menginformasikan alamat facebook saya di forum ini. Saya tidak tau maksud anda menginformasikannya. Tetapi kalau tujuannya mempromosikan saya, terima kasih. Tetapi kalau tujuannya anda memberikan informasi kepada kawan-kawan di forum ini kalau saya bekerja di Bali Post, maka itu adalah mubazir karena dibagian akhir tulisan saya diatas sudah saya jelaskan, kalau saya adalah wartawan yang bekerja di Bali Post ditugaskan di Semarang dan tulisan saya ini sama sekali tidak mewakili institusi saya bekerja melainkan pendapat saya pribadi sebagai seorang pekerja media. Saat ini Saya sama sekali tidak lagi terlibat dalam kebijakan redaksi Bali Post. Saya ditugaskan dibidang lainnya.
Seharusnya Anda tidak hanya meminta staf Bali Post yang terbuka hati dan pikirannya dalam menyikapi perkara Gubernur Bali Vs Bali Post ini. Tetapi semua pihak haruslah terbuka hati dan pikirannya.