Jika tak ditangani dengan saik, sampah bisa merusak wajah kota.
Namun, jika dibuang di tempat khusus, tentu akan menyejukkan mata kita. Hal itulah yang diterapkan di Banjar Nyuh Kuning, Desa Mas, Gianyar. Warga setempat membuat tempat sampah sendiri.
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Seiring berjalannya waktu, keberadaan sampah menjadi polemik warga saat ini.
Sampah seakan membawa dampak positif dan negatif terhadap lingkungan. Dampak negatifnya masalah penanganan sampah itu sendiri.
Petugas Dinas Kesehatan dan Pertamanan (DKP) pun terlihat kewalahan setiap hari mengangkut gundukan sampah di pinggir jalan raya. Ulah pemulung yang menghamburkan sampah dalam kantong plastik mempersulit pengangkutan ke atas truk sampah. Pemandangan ini tentu mengotori wajah sebuah kota.
Sebuah daerah yang terlihat rapi dalam penanganan sampah ini adalah Banjar Nyuh Kuning yang terletak di Desa Mas, Gianyar. Warga setempat memiliki inisiatif dalam membuat tempat sampah dengan ukuran 2×3 m di depan rumah mereka.
Orang yang tidak tahu, tidak menyangka bahwa itu sebuah tempat sampah karena di bagian depannya dipasang pintu besi.
Menutur Made Widnyani, penjual bubur di banjar Nyuh Kuning itu, masing-masing Kepala Keluarga cukup membayar Rp 10.000 – Rp 30.000 per bulan kepada petugas khusus sampah.
Nilai itu tergantung dari banyak sedikitnya sampah yang diangkut petugas. Sampah yang terkumpul kemudian dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Temesi. Petugas terlihat cepat mengangkut tanpa diganggu pemulung yang menghamburkan sampah dalam kantong plastik.
Begitulah potret sebuah banjar yang terletak di kawasan pariwisata. Mungkin warga kota dapat menirunya bila masih ada lahan kosong di depan rumahnya. [b]
Sebenarnya asal tidak membuat sampah berlebihan, sampah masih bisa dikelola dengan baik oleh rumah tangga dan warga. Tapi pertanyaannya, apakah dengan pola konsumtif kita saat ini, hal tersebut dimungkinkan?