Oleh Sri Purna Widari
Tulisan ini bentuk kepedulian saya terhadap masa depan generasi muda Bali, terutama dalam mempersiapkan diri menjelang era perdagangan bebas ASEAN yang akan mulai 2015.
Pada 12 dan 13 September yang lalu, saya mengikuti serangkaian tes wawancara dan diskusi. Keduanya merupakan persyaratan utama dalam upaya mencari beasiswa S2 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di Selandia Baru. Kedua proses seleksi tersebut diadakan di Gedung Menteri Keuangan Jakarta Pusat. Segala pengeluaran terkait dengan persiapan dokumen, akomodasi, transportasi, dan konsumsi selama berada di Jakarta merupakan tanggung jawab masing-masing peserta.
Dari aspek administrasi, saya sudah dinyatakan lulus. Akan tetapi saya harus menyerah kalah dalam sesi wawancara. Konon, sesi merupakan tahapan terpenting dalam menentukan kelayakan saya menerima dana abadi pemerintah yang berjumlah sekitar Rp 16 triliun. Dana ini memang dialokasikan untuk membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jumlahnya rata-rata masih tergolong cukup rendah jika dibandingkan negara-negara maju.
Adalah Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengusulkan agar pemerintah Indonesia mulai menyadari realita yang cukup pahit. Tenaga kerja kita masih dibayar dengan cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Beliau berharap bahwa dengan diberikannya kesempatan bagi generasi muda untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, tenaga kerja Indonesia akan memiliki daya saing dan dinilai lebih tinggi baik saat bekerja di dalam maupun luar negeri.
Sebenarnya, jika mengikuti ego saya yang terluka karena kegagalan dalam memperoleh beasiswa ini, saya tidak akan ikhlas membagi informasi yang masih sangat langka di Bali. Lain halnya jika saya lulus dan saya merasa bahagia, akan lebih mudah bagi saya untuk mendukung siapapun untuk bisa merasakan hal yang sama.
Akan tetapi, mengingat saya merasa cukup khawatir dengan masa depan Bali di masa yang akan datang, saya memutuskan untuk memproritaskan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi. Saya berharapkan akan memberikan kegunaan utamanya di Bali, pulau di mana saya dilahirkan dan dibesarkan.
Ilustrasi
Sebelum saya memberikan informasi tentang LPDP, lembaga di bawah naungan Departemen Keuangan ini, izinkanlah saya memberikan sedikit ilustrasi. Semoga mampu memberikan motivasi kepada para orang tua maupun generasi muda yang membaca tulisan ini.
Sebuah artikel mengenai solusi-solusi permasalahan keuangan yang ditujukan kepada orang asing di Indonesia dipublikasikan oleh Bali Advertiser edisi 6 Agustus hingga 20 Agustus 2014. Artikel yang ditulis Colin Bloodworth tersebut berjudul, “How much can you afford to pay your staff?”. Artikel itu mengatakan bahwa pendapatan tenaga kerja minimum di Australia adalah 19 kali pendapatan tenaga kerja warga lokal. Karena itu terdapat banyak warganegara Australia yang merasa mabuk kepayang dengan pelayanan dengan harga murah yang mereka dapatkan di Bali.
Sebuah artikel lain dipublikasikan oleh The Economist edisi 2 September 2014 dengan judul “Why globalization may not reduce inequality in poor countries”. Artikel ini menggambarkan bagaimana negara-negara miskin dan berkembang menyediakan banyaknya tenaga kerja dengan kompetensi cukup rendah yang bisa dibayar dengan upah sangat minimum seperti apa yang terjadi di Bali. Hal ini telah menimbulkan kesenjangan dan tak dapat dipungkiri kecemburuan sosial sangat tinggi terutama terhadap semakin banyaknya warga asing yang belakangan memutuskan untuk bermukim di pulau kita. Mereka bertahan hidup akibat krisis moneter berkepanjangan di negara mereka dan tidak lagi mampu bersaing dengan orang-orang yang lebih berkompeten.
Di samping itu, seperti dikutip media ternama Inggris The Guardian edisi 9 Maret 2013, beberapa tahun belakangan harga tanah di Bali diperkirakan mengalami pembengkakan yang bahkan bisa disejajarkan dengan Dubai, yaitu sekitar 20 persen. Saya merasa sangat khawatir bahwa dengan adanya rencana perdagangan bebas pada tahun 2015, siapapun generasi muda di Bali terutama yang tidak diberikan atau bergantung pada warisan orang tuanya dan dengan hanya mengandalkan pendapatan yang sangat jauh dibandingkan dengan orang asing, tidak akan mampu membeli tanah ataupun rumah di daerah-daerah strategis di Bali.
Akan terdapat fenomena baru seperti yang sudah terjadi di Jerman yang notabene merupakan negara maju di mana angka jumlah penduduk yang bisa membeli dan memiliki rumah pribadi semakin menurun dan lebih banyak yang memilih untuk menyewa.
Selanjutnya, ada pendapat Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari dalam sebuah artikel berjudul “Apa yang harus anda ketahui tentang masyarakat ekonomi ASEAN” yang dimuat dalam BBC Indonesia edisi 27 Agustus 2014. Dita mengatakan bahwa Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
Ia juga menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. Sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya.
Saya ingin bertanya, “Apakah generasi muda Bali sudah siap akan hal ini dan apakah kita semua sudah mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas sumber daya kita sehingga nantinya kita bisa bersaing secara sehat dan dihargai dengan upah yang sejajar bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri?”
Betapa miris bagi saya, bahwa saat ini jika kita ingin membeli rumah di Bali, selain dengan mencicil di bank seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, anak-anak muda harus bekerja di kapal pesiar dengan posisi yang kebanyakan posisi pelayan. Sementara nantinya di Bali, dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean, siapapun dari negara-negara di Asia Tenggara akan memiliki hak untuk menduduki posisi-posisi profesional yang bahkan akan dengan berani menantang gaji lebih tinggi.
Gubernur atau presiden pun tidak akan mampu melindungi kita dari persaingan bebas ini.
Saya sendiri juga sudah melihat, bagaimana di Seminyak atau Canggu tempat saya tinggal, kebanyakan usaha-usaha baru yang semakin marak bukanlah dimiliki orang Bali. Mulai sekarang kita harus belajar untuk berhenti menyalahkan para pendatang baik asing maupun luar Bali yang mampu menguasai daerah-daerah “basah” ini.
Mulai sekarang kita harus belajar untuk berhenti menyalahkan para pendatang baik asing maupun luar Bali yang mampu menguasai daerah-daerah “basah” ini.
Cara Terbaik
Oleh karena itu, saya sangat berharap tulisan ini akan disebarkan kepada siapapun individu yang memiliki kekhawatiran sama dan menyadari bahwa salah satu cara terbaik untuk bisa tetap bertahan di tanah leluhur kita dan bersaing secara sehat adalah dengan dengan mendapatkan pendidikan tinggi dan utamanya di luar negeri. Dengan demikian kita lebih merasa layak dan pantas untuk menegosiasi gaji yang sejajar bukan hanya dengan orang – orang dari negara ASEAN saja, tetapi juga negara maju.
Nah, sekarang, saya akan membagi sedikit informasi mengenai LPDP yang sebenarnya bisa langsung dilihat sendiri pada website mereka www.lpdp.menkeu.go.id. Beberapa hal yang ingin saya ingatkan adalah:
Pertama, dana yang dialokasikan pemerintah ini merupakan dana abadi. Saat ini jumlahnya Rp 16 triliun dan rencananya tahun depan akan ditingkatkan menjadi Rp 20 triliun. Jika kita sebagai orang Bali menyadari kontribusi pariwisata kita untuk devisa negara Indonesia, maka sudah sepantasnya kita pun memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya.
Kedua, dalam mempersiapkan diri untuk memperoleh beasiswa, Anda harus mempersiapkan dana untuk mengurus dokumen dan tes wawancara yang saat ini hanya diselenggarakan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Saat ini sosialisasi tentang lembaga ini di Bali belum ada. Saya berharap akan dilakukan dalam waktu dekat karena saya yakin ada banyak generasi muda Bali cerdas yang pantas mendapatkan beasiswa ini dan mampu bersaing secara global.
Ketiga, pada saat Anda lulus seleksi administrasi, usahakanlah untuk tidak langsung besar kepala karena tes wawancara ternyata sangat berpengaruh dalam kelulusan anda. Sebagai seseorang yang sudah pernah mengikuti tes ini, saya merasa bahwa saat diwawancara saya terlihat terlalu percaya diri. Padahal sebenarnya saya sedang menutupi perasaan minder dan tegang. Pastikan untuk terlihat rendah hati seperti dilakukan para peserta dari Bali yang akhirnya lulus.
Keempat, tidak ada kuota dan tidak ada diskriminasi apapun. Awalnya saya sempat khawatir akan adanya diskriminasi terhadap anak-anak daerah dan kaum Muslim yang akan diutamakan. Tetapi ternyata hal ini tidak terjadi. Saya sangat bangga bahwa anak-anak Bali dan yang beragama di luar agama Islam pun diberikan kesempatan.
Saya sangat bangga bahwa anak-anak Bali dan yang beragama di luar agama Islam pun diberikan kesempatan.
Kelima, menurut pengalaman orang-orang yang sudah lulus, beasiswa dari LPDP termasuk yang terbaik jika dibandingkan dengan yang didapat dari DIKTI. Pembayaran dilakukan tepat waktu dan pembiayaan tersebut mencakup tempat tinggal dan biaya hidup sehari-hari sesuai dengan standar kehidupan di negara yang dituju.
Keenam, seleksi beasiswa ini dilakukan setiap tahun di bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Ketujuh, pelayanan secara online di organisasi ini masih kurang memuaskan mengingat jika kita mengirim email, kita akan mendapatkan balasan setelah 2 minggu atau seperti saya yang tidak mendapatkan balasan sama sekali. Jadi rajin-rajinlah membaca blog orang-orang yang sudah berpengalaman pernah mengikuti seleksi ini.
Kedelapan, Setelah menyelesaikan studi, anda akan diminta pulang ke Indonesia dan membagi serta memanfaatkan ilmu anda di dalam negeri tetapi anda tidak mutlak dan diwajibkan bekerja di pemerintahan.
Saya sangat berharap informasi ini akan disebarluaskan dan dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya dan akan mampu mendongkrak kualitas sumber daya manusia kita di masa yang akan datang. Saya sangat mendambakan pulau saya dipenuhi tenaga-tenaga ahli profesional dengan kinerja berkualitas dari Bali. Kalaupun memilih bekerja di luar negeri, mereka memiliki posisi-posisi terhormat dan dibayar dengan upah adil dan sejajar tanpa memandang ras atau negara asal. [b]