Penyebaran HIV dan AIDS ke pedesaan di Tabanan melahirkan tantangan baru, susahnya ODHA mengakses layanan kesehatan.
Tiap bulan, Ni Putu Kesiut harus melewati sekitar 10 km perjalanan jika harus memeriksakan kesehatan ke Klinik Pelangi di Rumah Sakit Tabanan. Ibu satu anak ini tinggal di Desa Kesiut, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, sekitar 65 km utara Denpasar.
Dari jalan raya Denpasar – Gilimanuk, perjalanan ke desa Putu ini sekitar 5 km dengan sebagian jalan rusak. Dia juga harus melewati jalur penghubung Jawa dan Bali yang tiap hari riuh dengan ribuan kendaraan besar termasuk bus dan truk ini.
Putu berusia 27 tahun dengan satu anak yang juga positif HIV seperti dirinya. Dia tertular HIV dari suaminya yang sudah meninggal dua tahun lalu. Tubuhnya kurus. Gigi depannya keropos. “Tidak tahu kenapa keropos. Tapi keroposnya sejak minum ARV (obat penguat daya tahan tubuh bagi orang dengan HIV/AIDS),” katanya lalu tertawa.
Selain harus diri sendiri, Putu juga harus mengurus anaknya, Putu Bagus, 7 tahun, yang juga positif HIV. Setiap bulan mereka ke klinik di Tabanan untuk memeriksa kesehatan, misalnya cek hemoglobin (HB) dan fungsi hati, serta mengambil ARV.
Jauhnya tempat layanan bagi ODHA ini juga dialami I Wayan Sarka dan Ni Made Sumarti. Tiap dua minggu sekali mereka harus memeriksakan cucu mereka yang positif HIV, Putu Agus, 3 tahun ke Tabanan. Orang tua Agus sudah meninggal.
CD4 Agus kini 298. CD4 adalah indikator seberapa kuat daya tahan tubuh mereka. Pada orang sehat, CD4 bagus sekitar 400 hingga 600. Meskipun masuk kategori sehat, bagi Sarka dan istrinya, kondisi cucu mereka tetap harus terus menerus diperiksakan. “Agar kami bisa memastikan dia sehat-sehat saja,” katanya.
Bagi Kesiut dan Sarka, lokasi layanan kesehatan di Tabanan tak hanya jauh tapi juga kurang nyaman. Di Klinik Pelangi RS Tabanan, mereka mengaku harus melewati birokrasi panjang. Kesiut, misalnya, merasa harus melewati birokrasi berbelit dan antre panjang karena mereka dicampur pasien umum.
Karena itu, sebagian ODHA, termasuk Kesiut dan Sarka, lebih memilih berobat di klinik milik Yayasan Maha Bhoga Marga (MBM) yang berada Bogan Pala, Tabanan karena dianggap lebih cepat. Di klinik ini tiap bulan rata-rata ada 15 ODHA memeriksakan kesehatan. “Selain cek kesehatan rutin, mereka juga mendapat vitamin,” kata Alvonso Novika, Konselor MBM.
Seiring meluasnya HIV dan AIDS ke desa-desa, penanggulangan HIV dan AIDS di Tabanan pun menghadapi tantangan baru, jauhnya layanan kesehatan bagi ODHA di kabupaten ini. Kesiut dan Sarka hanya dua di antara 344 ODHA di kabupaten ini. Penyebaran HIV dan AIDS ini menyebar ke delapan dari sepuluh kecamatan di Tabanan, termasuk Baturiti dan Pupuan, dua kecamatan terjauh dari pusat kota Tabanan.
“Kasihan ODHA di Baturiti dan Pupuan. Kalau cek kesehatan rutin, mereka harus ke Tabanan yang bagi mereka termasuk jauh,” kata Fais Abdillah, Koordinator Lapangan Petugas Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) yang selama ini mendampingi ODHA di Tabanan.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan I Ketut Sumarta membenarkan masih jauhnya tempat layanan kesehatan di daerahnya ini bagi ODHA terutama yang di pedesaan. Hingga saat ini hanya ada dua tempat layanan bagi ODHA di Tabanan. Keduanya di kota.
Selain jauhnya tempat layanan kesehatan bagi ODHA, penanggulangan HIV dan AIDS di Tabanan juga menghadapi tantangan lain, susahnya penjangkauan bagi kelompok berisiko tinggi (risti). Salah satu penyebabnya, penutupan lokalisasi di terminal Pesiapan, Tabanan.
Menurut Fais, sebelum lokalisasi ini ditutup sejak sekitar tiga bulan lalu, petugas lapangan dengan mudah menjangkau pekerja seks komersial dan pelanggannya untuk penanggulangan AIDS. Mereka bisa membagi kondom untuk PSK dan pelanggannya.
“Sekarang susah karena mereka (PSK dan pelanggannya) menyebar ke rumah warga,” ujar Fais.
Sumarta juga memberikan data mendukung pernyataan Fais tentang susahnya penjangkauan pada kelompok risti. Januari lalu Dinkes dan Yakeba mengadakan sero survei. Pada tahun-tahun sebelumnya mereka dengan mudah mendapatkan 100 responden karena kelompok risti terfokus di Pesiapan. Sekarang mereka hanya dapat 70 responden.
Masalah baru juga muncul. Setelah lokalisasi Pesiapan ditutup Pemkab Tabanan, pekerja seks kini melakukan transaksi seks di kafe-kafe ataupun bungalow. Pelanggannya pun meluas. “Kalau sebelumnya hanya orang-orang dewasa, sekarang pelajar pun banyak yang melakukan hubungan seks dengan PSK,” kata Fais. [b]
miris jg membaca fakta ini,, lama kelamaan akan banyak manusia mati sia-sia karena Seks Bebas dan Asap Rokok.