Seorang Bapak ingin tanamkan jiwa pantang menyerah kepada anaknya.
Dia lalu dia bercerita, “Nak, Bapakmu ini pernah naik Gunung Agung. Begitu melelahkan, jalannya naik hampir 45 derajat.”
“Kami kedinginan dan kelaparan karena bekal yang kurang. Tapi Bapak dan teman-teman terus berjalan. Kalau lapar, Bapak makan dedaunan yang ada di sepanjang jalan”.
Sang anak lalu bertanya, “Ada foto-fotonya, Pak? Atau videonya lah?”
Sang Bapak menjawab, “Duh kayaknya ada tapi entah di mana. Sudah lama soalnya”.
Sang anak tidak berkomentar lagi melainkan berkata, “Wah Kakek pernah trekking ke air terjun di Kintamani sana, 12 jam lho, Pak. Kehabisan bekal minum. Awalnya enak, jalan menurun. Ketemu air terjun nya dan di sana air nya habis.
Si anak melanjutkan ceritanya. “Kakek lalu pake air sungai itu untuk bekal minum naik ke atas. Eh di tengah perjalanan airnya habis. Kakek melihat ada rumah dan cerita ke penduduk sana dan akhirnya berbaik hati berikan air kelapa dan mengisinya lagi ke botol Aqua. Lanjut perjalanan lagi dan eh air kelapa itu habis lho.”
“Kakek ketemu lagi dengan penduduk sana yang berbaik hati memberikan air madu dan bengkoang segede gaban. Lanjut lagi naik, perutnya kakek mules dan akhirnya mencretlah kakek. Hahahaha. Kata kakek, itunya dilihat, kayak American Pie, katanya. Hahaha. Lucu lho, Pak”.
Melihat sang anak berapi-api, sang Bapak tanya, “Kok kamu tahu, Nak?”.
Sang anak jawab, “Baca cerita dan foto-fotonya kakek di blognya. Sungguh kakek luar biasa pantang menyerahnya lho, Pak!”.
Sang Bapak terdiam seribu bahasa.
Cerita di atas adalah peristiwa sehari-hari, kenapa sang anak ‘tidak mengenal’ sang Bapak. Dia malah berapi-api mengenal peristiwa hidup sang kakek. Sang anak mengenal kakek karena membaca tulisan dan melihat foto-fotonya, sedangkan sang ayah tidak pernah menuliskan pengalaman hidupnya.
Berkaitan dengan cerita Bapak dan anak itu, jadi teringat nukilan kalimat inspiratif dari Pramoedya Ananta Toer.
“Nak, tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84).”
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Anak-anak zaman sekarang lebih pintar dan kritis dalam memahami sesuatu hal dalam hidupnya. Namun saya merasa anak zaman sekarang lebih suka yang praktis dalam menulis.
Hal ini terjadi karena berkembangnya media microblogging seperti Facebook, Twitter, Path, dll yang sering digunakan menulis satu atau dua kalimat saja. Itupun isi tulisannya lebay, alay, narsis dan kadangkala mengundang pergunjingan.
Bagaimana dengan para blogger zaman sekarang? Kemana saja kalian?
Ada yang sibuk dengan pekerjaannya. Ada yang beralih menulis di media jurnalisme warga seperti BaleBengong.net, Kompasiana, dll. Tetaplah menghiasi blogmu dengan tulisan. Ngeblog bukanlah pekerjaan karena ngeblog adalah hobi, kepuasan, berbagi dan ikatkan ilmu, stimulus perubahan dunia.
Ada beberapa contoh seperti tulisan Bali Tolak Reklamasi dan video amatiran demonya. Sejarahmu ada di dalamnya. Yuk mai ngeblog!
Salah satu materi di atas saya sampaikan pada Workshop Jurnalistik di rangkaian kegiatan Pentas Jurnalistik 2014, Lembaga Pers Mahasiswa Media Ekonomika (Medikom) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, 27 Juli 2014. Saya mewakili Bali Blogger Community dan BeleBengong.net bersama Gung De (MNI Magazine), Oyong (blogger ISI), dan Made Adnyana “Ole” (Cerpenis dan Penyair). [b]
Errr… masih ngeblog sih… cuma topiknya gag menggigit lagi :p