
Berbagai proyek strategis nasional yang dilakukan Pemerintah Indonesia, tak sedikit yang abai terhadap hak-hak masyarakat. Pada saat membangun, tanah-tanah yang kini didirikan proyek strategis nasional itu dibangun di atas pemukiman warga. Tak hanya pemerintah, para investor sibuk memenuhi tanah-tanah dengan bangunan mewah.
Atas nama investasi, sejumlah proyek melakukan pembebasan lahan dengan kekerasan. Salah satunya yang dialami warga Rempang, Pulau Batam. Konflik agraria juga memenuhi wajah negeri. Bali salah satunya, sejumlah konflik agraria di 4 Kabupaten di Bali masih berlangsung hingga kini. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Bali, 4 kabupaten itu diantaranya Buleleng, Klungkung, Gianyar, dan Tabanan.
Pertama, Buleleng setidaknya memiliki empat kasus konflik agraria. Pertama yakni eks pengungsi Timor Timur (TimTim) NTT di Sumberklampok sejak 21 tahun. Kasus lainnya yaitu di Sendang Pasir Pemuteran yang sudah berlangsung selama 27 tahun. Terdapat pula kasus di Dusun Sumber Poa, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak.
Kabupaten lainnya seperti Klungkung, memiliki kasus di bantaran Tukad Kali Unda. Adapun kasus di Gianyar, berkonflik antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Kasusnya bergulir selama puluhan tahun, tapi hingga kini belum ada solusi dari pemerintah.
Teranyar, terdapat di Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Kabupaten Tabanan. Luas lahannya 300 hektar dan 54 KK yang mengajukan permohonan kepada KPA. Berdasarkan data KPA, jumlah letusan konflik agraria berdasarkan sektor, meningkat tiap tahunnya.
Sejak tahun 2014 hingga 2022, terdapat beberapa sektor seperti perkebunan, infrastruktur, properti, pertambangan, kehutanan, pertanian/agribisnis, pesisir dan pulau-pulau kecil, dan lain-lain. Beberapa sektor berada pada jumlah serius, seperti di tahun 2020 terdapat 122 konflik agraria di sektor perkebunan. Sempat menurun di tahun 2021 menjadi 74 kasus, tapi di tahun 2022 meningkat yaitu dengan 99 kasus.
Konferensi Tenurial, Keadilan Sosial Ekologis Melalui Pembaruan Agraria

Demi membentuk keadilan sosial ekologis melalui pembaruan agraria, terlaksana sebuah kegiatan bertajuk Konferensi Tenurial, salah satunya di Regional Bali dan Nusa Tenggara. Konferensi yang berlangsung di Hotel Oranjje Denpasar dihadiri oleh beberapa perwakilan seperti KPA Bali, AMAN, SLPP, perwakilan Bali, Nusa Tenggara Barat dan NTT. Berlangsung di tanggal 22 September 2023 lalu, konferensi ini diikuti oleh 127 orang, komunitas organisasi non pemerintah dan akademisi yang terdiri dari 23 peserta Region Bali, 13 peserta Region NTB, 91 peserta Lombok dan Sumbawa, Flores timur dan flores barat, serta tim kerja nasional.
Ada beberapa pembahasan yang dilakukan selama konferensi. Salah satunya memetakan peran perempuan dalam upaya meraih keadilan sosial ekologis. Selama memperjuangkan hak atas tanah, perempuan memiliki peranan vital. Seperti memimpin aksi hingga konsolidasi. Aksi yang dilakukan oleh peserta konferensi yang mewakili daerah Sumba, melakukan pendekatan kebudayaan, seperti menghalangi aparat dengan menenun di tengah jalan bersama ibu-ibu lainnya. Peranan lainnya yaitu perempuan terlibat dalam pengumpulan dan pemetaan data hingga gerakan pangan berkelanjutan di daerahnya masing-masing.
Sayangnya, peranan vital tersebut ganjarannya adalah risiko-risiko berbahaya. Pemetaan bahaya yang diterima meliputi fisik maupun psikis. Ancaman secara digital juga diterima para perempuan selama melakukan perjuangan terhadap tanah adatnya. Tak hanya perempuan, beberapa kaum rentan terhadap ancaman seperti anak muda yang kritis, dihalang-halangi pemenuhan beasiswa pendidikannya.

Konferensi ini juga mengidentifikasi kebijakan agraria dan pembangunan yang jauh dari keadilan sosial ekologis. Salah satu kebijakan yang cukup banyak disebutkan mengenai beberapa pasal di Undang-undang Cipta Kerja. Seperti proyek strategis nasional yang tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Hal ini kian diperparah dengan sikap pemerintah daerah yang tidak mengkaji secara utuh kebijakan nasional perihal pembangunan yang dijalankan pada setiap daerah mereka.
Kebijakan terkait investasi juga disoroti karena masyarakat masih belum merasakan dampaknya. Kurangnya sosialisasi terhadap proyek yang ada juga menjadi persoalan. Pelaksanaan kegiatan konferensi di Bali ini merupakan salah satu dorongan untuk melengkapi rumusan konferensi tenurial di tingkat nasional. “Kegiatan ini sebagai masukan atau dorongan untuk melengkapi proses seluruh regional, nantinya ini akan dirumuskan dan dibawa ke konferensi tenurial di tingkat nasional,” jelas Asty Noor selaku tim kerja nasional.
Ni Made Indrawati, Ketua Pelaksana Konferensi Tenurial Regional Bali – Nusa Tenggara mengungkapkan kehadiran seluruh perwakilan di wilayah Bali dan Nusra merupakan salah satu upaya membela tenurial kedepannya. Rumusan hasil konferensi tenurial di setiap wilayah akan dibawa ke nasional demi mewujudkan keadilan sosial ekologis yang maksimal.