Sudah sejak tahun 1960an hingga saat ini, Kuta dikenal sebagai tempat wisata paling sibuk di Bali. Turis datang untuk bersenang-senang di desa kecil di Kabupaten Badung ini. Kuta makin identik sebagai tempat dengan citra gemerlap: surfing, shopping, sun bathing, atau hanya untuk menikmati atmosfir dunia malam belakangan ini.
Ironinya, selain pantai dan dunia malamnya, Kuta sendiri tak terlalu punya tempat sebagai kunjungan wisata. Tidak seperti, katakanlah, Denpasar yang punya beberapa lokasi bersejarah seperti Museum Bajra Sandhi di Lapangan Margarana Renon atau Museum Bali di samping Puputan Badung Denpasar. Atau museum-museum seni di Ubud.
“Sebagai orang Kuta, saya sendiri sering merasa risih karena kami kurang tahu tentang tempat kami sendiri,” kata Made Supatra Karang, salah satu tokoh masyarakat di Kuta.
Padahal Kuta sebenarnya punya peran penting dalam sejarah perkembangan Bali modern, terutama dari sisi pariwisata. Kuta bisa disebut berada di garis depan untuk menciptakan citra Bali sebagai lokasi pariwisata dunia. Karena itu Kuta punya potensi untuk menjadi tempat wisata sejarah. Apalagi sejak lama Kuta sudah dikenal pula sebagai tempat yang memberi tempat untuk pluralisme.
Untuk mengenal Kuta sebagai tempat bersejarah itu, Supatra mengenalkan lima tempat yang punya peran dalam sejarah Kuta. Lima tempat tersebut adalah Pantai Pasih Perahu, Vihara Dharmanaya, Makam Mads Lange, Poppies Restaurant, and Monumen Bom Bali. Dua nama terakhir sudah banyak dikenal. Karena itu, kita akan mengunjungi tiga tempat lai yaitu Pantai Pasih Perahu, Vihara Dharmayana, dan Makam Mads Lange.
Menurut buku sejarah resmi dari Pemerintah Kelurahan Kuta, Kuta mulai dikenal ketika pada 1336 M, Gajahmada dan pasukannya dari Majapahit mendarat di bagian selatan pantai ini. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Tuban, seperti salah satu nama kota kecil di pesisir Jawa Timur.
Karena tempatnya bagus untuk pendaratan kapal, pelan-pelan daerah ini pun jadi pelabuhan kecil. Warga pun menyebut kawasan di Banjar Segara Kuta ini dengan nama Pasih Perahu yang berarti pantai perahu. Menurut Nyoman Rika, Kepala Lingkungan Banjar Segara Kuta sejarah Kuta tidak bisa lepas dari keberadaan pasih perahu ini. “Karena itu setiap orang yang ingin mengenal sejarah Kuta memang harus memulainya dari sini,” kata Rika beberapa waktu lalu.
Saat ini, tak ada bukti sejarah apa pun bahwa pantai ini pernah punya peran penting dalam perkembangan Kuta. Bekas pelabuhan di sini sudah dimakan ombak, terkena abrasi. “Sudah jauh di tengah sana,” kata Rika sambil menunjuk ke tengah laut.
Bukti fisik bahwa tempat tersebut pernah jadi pelabuhan bisa dilihat dari bangunan di Pura Pesanggrahan di tempat ini. Di bagian depan pura, terdapat miniatur perahu yang dibangun pada 2002. Menurut Rika, perahu dari semen ini merupakan sebagai bentuk penghormatan warga setempat pada leluhur mereka yang mendarat di tempat tersebut.
Ukuran perahu miniatur ini sekitar 6 x 2 meter persegi. Di tengah perahu ini terdapat sumber air yang, uniknya, adalah air tawar meski berada di tepi pantai. Sayangnya tempat ini tidak punya banyak keterangan untuk menjadi sebuah objek wisata. Padahal kalau dikemas dengan baik, tempat ini lumayan menarik untuk menjadi sebuah lokasi wisata sejarah, khususnya tentang Kuta.
Bagian lain dari Kuta yang bisa menjadi tempat untuk mengenal sejarah Kuta adalah vihara Dharmayana. Berdiri sejak sekitar 1876 M, vihara Dharmayana menjadi salah satu bangunan tertua di Kuta. Dia jadi saksi bisu sejarah perjalanan Kuta dari zaman Bali masih berbentuk kerajaan sampai saat ini. Namun, meski sudah berumur 132 tahun, vihara ini masih sangat terjaga. Bangunan masih tertata dan digunakan sampai saat ini.
Vihara ini berada di pojok antara jalan Blambangan dan jalan Padri Kuta, masuk wilayah Banjar Temacun, Kuta. Dengan warna merah menyala khas Tionghoa, vihara ini terlihat jelas di sisi kanan jalan. Ornamen seperti lampion yang menggantung, aksara Mandarin di dinding, atau patung naga di tiang vihara menjadi ikon khas bangunan tradisional Tionghoa.
Vihara Dharmayana adalah tempat warga keturunan Tionghoa melakukan sembahyang sehari-hari. Meski demikian, vihara ini terbuka bagi siapa pun yang ingin berkunjung, tidak hanya mereka yang ingin sembahyang. Karena itu turis pun bisa berkunjung ke vihara ini. Namun, faktanya, tidak banyak turis yang berkunjung ke vihara yang pernah dikunjungi Dalai Lama pada 1982 ini.
Hindra Suarlim, Ketua Yayasan Dharma Semadhi yang menaungi vihara ini mengatakan, Dharmayana dibangun untuk menghormati Yang Mulia Kongco Tan Hu Cin Jin, leluhur warga Tionghoa di Kuta. Menurut pemilik nama Tionghoa Lim Ing Hin ini, Tan Hu Cin Jin adalah arsitek yang mendesain Taman Ayun di Mengwi, Badung. Jin membangun Taman Ayun ini pada tahun 1716 M.
Meski didirikan sebagai bentuk penghormatan pada leluhur warga Tionghoa, namun vihara ini tetap boleh dikunjungi siapa pun, termasuk turis. Biasanya turis yang datang adalah dari China, Jepang, atau Korea. Turis dari Eropa dan Amerika sangat jarang. “Kalau mereka mau sembahyang di sini juga boleh,” kata Luwih Beratha, Ketua Pengurus vihara.
Berkunjung ke vihara Dharmayana Kuta, kita akan sekaligus belajar mengenal sejarah warga Tionghoa di Kuta, dan Bali pada umumnya. Sejak awal kedatangannya di Bali pada abad ke-18, warga Tionghoa memilih pekerjaan berdagang. Profesi ini pula yang mempengaruhi perkembangan Kuta sampai saat ini. Warga Tionghoa tetap menjadi salah satu kelompok yang menentukan roda perekonomian Kuta terutama dari sisi perdagangan.
Dalam berbagai buku tentang Kuta disebutkan bahwa pada zaman penjajahan Belanda, Kuta jadi salah satu pusat perdagangan di Bali. Saat itu, seorang warga Denmark bernama Mads Johansen Lange menjadi syahbandar Kuta. I Made Sujaya dalam bukunya Sepotong Nurani Kuta (LPM Kuta, 2004) menyebut bahwa di tangan Tuan Lange, demikian warga Kuta biasa menyebutnya, ini Kuta makin berkembang menjadi sangat maju dan terkenal. Karena itu, berbicara tentang Kuta juga tak bisa dilepaskan dari posisi Tuan Lange meski agak berbau kolonial.
Makam Mads Lange berada ada di bagian timur Kuta, di samping Tukad Mati, berjarak sekitar 100 meter dari jalan By Pass Ngurah Rai Kuta. Ada jalan bernama Tuan Lange yang seperti menunjukkan betapa pentingnya posisi Lange sehingga namanya diabadikan sebagai nama jalan. Lagi-lagi, sayangnya, tempat ini pun tak punya cukup informasi sebagai sebuah objek wisata. Padahal lokasi ini bisa saja dikemas sebagai sebuah wisata sejarah, misalnya dengan keterangan lebih jelas tentang siapa Mads Lange dan bagaimana perannya dalam perkembangan Kuta.
Saat ini tak banyak yang bisa dilihat di makam Mads Lange. Hanya ada monumen setinggi sekitar 3 meter dengan tulisan Sacred to the Memory of Mads Johansen Lange. Monumen ini agak terpisah dari kuburan-kuburan lain di kompleks kuburan Tionghoa tersebut. Menurut sejarah, Mads Lange memang menikah dengan perempuan keturunan Tionghoa. Karena itu dia pun dimakamkan di kuburan Tionghoa ini. Tanpa penunggu dan keterangan tertulis tentang tempat tersebut, makam Mads Lange pun tak bisa bercerita banyak tentang sejarah Kuta.
Tiga tempat tersebut, bersama Poppies Restaurant –salah satu restoran tertua di Kuta- dan monumen bom Bali, untuk mengenang tragedi pengeboman di Kuta pada 12 Oktober 2002 sebenarnya bisa jadi paket wisata yang menarik. Satu sama lain berjarak tak lebih dari 30 menit jika ditempuh dengan motor atau mobil. Tak perlu waktu sehari untuk menjelajah semuanya.
Sayangnya belum ada satu pun travel agent atau pelaku wisata yang menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai sebuah kegiatan wisata sejarah. Kalau toh ada turis yang datang, biasanya hanya karena ketertarikan pribadi, bukan ditawarkan oleh travel agent.
Namun, menurut Supatra Karang, sebagian warga di Kuta saat ini memang mulai berpikir tentang perlunya ada wisata sejarah di Kuta. “Kami belakangan berpikir ke arah sana. Semestinya Kuta punya museum sejarah atau paket wisata ke tempat-tempat bersejarah itu,” kata Ketua Kuta Small Business Association tersebut. Tapi ini masih sebatas ide, belum ada aksi apa pun.
Hal tersebut, lanjutnya, karena kurangnya sumber yang bisa menceritakan masing-masing tempat tersebut. “Meski demikian, mungkin memang harus ada yang memulainya. Kalau tidak ada yang memulai, seterusnya hanya akan jadi ide,” tambah penggagas kegiatan tahunan Kuta Karnival ini. [b]
TUh kan??Kuta emang gudangnya seni & budaya. Sekaligus tempat bersejarahnya. Tapi kenapa rombongan wisata hanya diarahkan ke pantai Kuta saja? menikmati yang menurutku ga jelas itu (awas tutup mata).
Sayang kok ga ada gambarnya ya??
Bli Mod, lain x bs ditambah gambarx dunk!!
kan bs nostalgia lg!!
sejarah puputan renonnya mana?????????????
bali sangat menakjubkan tanda kebesaran sang khalik
Kuta memang mempunyai pesona yang menarik/indah, disamping itu kuta merupakan salah satu tempat wisata yang populer dimata dunia.
Kepada yth. bagian Redakdi
Mohon penjelasan karena saya pernah mendengar kalau pengambangan pariwisata Bali merupakan suatu taruhan, yaitu bagian kaki Pulau Bali (dari Kuta ke selatan) dipertaruhkan untuk pariwisata, kalo hancur hancurlah bagian kaki pulau Bali.
Apakah benar begitu, mohon penjelasan! terima kasih