Nelayan Desa Penuktukan tak mau lagi merusak lingkungan.
Hingga sekitar 2008 lalu, desa di pesisir timur laut Bali ini masih menjadi salah satu lokasi pencarian ikan hias tidak ramah lingkungan. Nelayan menggunakan potasium untuk meracun ikan atau merusak terumbu karang.
Akibatnya, ikan hias pun makin hari makin jarang. Terumbu karang juga banyak yang rusak. Nelayan setempat pun mulai menyadari kalau metode penangkapan yang mereka gunakan selama ini tidak benar. Mereka mulai memikirkan cara menangkap ikan namun tetap memperhatikan daya dukung lingkungan.
Desa Penuktukan termasuk kawasan Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali bagian timur laut. Jarak lokasi ini sekitar 90 km dari Denpasar dengan waktu tempuh 3-4 jam. Bagian utara desa berbatasan langsung dengan pantai timur laut Bali. Banyak warga menggantungkan hidup sebagai nelayan sehingga laut adalah tempat hidup mereka.
Karena itu, ketika ikan hias makin berkurang dan terumbu karang juga makin rusak, nelayan pun resah. Muncul ide untuk membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas). “Dulu kami mulai hanya dari ngobrol-ngobrol santai di balebengong,” kata Nyoman Wardana, salah satu anggota pada April lalu.
Mereka ingin mengawasi agar tidak ada nelayan yang menggunakan potasium ataupun bahan berbahaya lain saat menangkap ikan.
Ketika baru membentuk kelompok, Wardana bercerita, para anggota Pokwasmas ini kadang-kadang berbenturan dengan sesama nelayan. “Mereka tidak mau kami larang untuk menangkap ikan hias di kawasan pantai kami,” katanya.
Memang tidak sampai terjadi konflik terbuka di antara sesama nelayan. Namun, kata Wardana, penolakan itu sempat membuat nelayan juga berkecil hati dengan upaya mereka untuk menjaga lingkungan laut mereka.
“Tapi kami juga tidak mau mewariskan kerusakan kepada anak cucu kami. Jika tidak ada yang peduli, lingkungan kami pasti makin rusak,” ujarnya. “Kami memang tidak sekolah, tapi kami peduli pada lingkungan,” lanjutnya.
Kepedulian terhadap lingkungan itu mereka wujudkan dengan membentuk kelompok nelayan yang mengawasi penangkapan ikan hias dan pengrusakan terumbu karang. Pada 2 Juni 2008, 10 nelayan di Penuktukan pun resmi membentuk kelompok nelayan pengawas dengan nama Taman Segara. Kelompok ini bahkan disahkan melalui surat keputusan perbekel (kepala desa) Penuktukan.
Berbekal pengesahan termasuk surat keputusan dari perbekel tersebut, Kelompok Taman Segara lebih berani untuk menindak nelayan yang melanggar peraturan untuk tidak menangkap ikan hias di Desa Penuktukan.
Anggota kelompok menjaga secara berkala lingkungan pesisir mereka. Pengawasan rutin masih mereka lakukan secara rutin hingga saat ini. Anggota kelompok melakukan patroli di kawasan pesisir mereka untuk mencegah adanya penangkapan ikan hias yang membahayakan.
Ada sanksi untuk mereka yang melanggar aturan. “Tapi sampai sekarang sih paling hanya diselesaikan secara kekeluargaan kalau ada yang melanggar,” kata Wardana.
Roti Buaya
Selain mengawasi kawasan pesisirnya, nelayan juga melakukan rehabilitasi terumbu karang. Dengan dukungan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pelestarian laut, seperti Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI) dan Reef Check Indonesia, kelompok juga membuat terumbu buatan.
Ada dua bentuk karang yang dibuat, yaitu fish dome atau heksadome seperti stupa dengan lubang-lubang di sekelilingnya dan bentuk lain yang mereka sebut roti buaya karena memang mirip roti buaya. Fish dome maupun roti buaya dibuat dari campuran beton berisi substrat. Bibit-bibit terumbu karang kemudian ditempelkan di fish dome dan roti buaya tersebut.
Gede Arjana, nelayan lain di Penuktukan mengatakan pembuatan karang buatan itu untuk mengembalikan ikan-ikan hias maupun terumbu karang yang makin jarang. Karena itu, bentuknya berupa kubah ikan (fish dome) dengan lubang-lubang di sekelilingnya. “Harapannya agar ikan juga senang tinggal di dalam kubah tersebut,” kata Arjana.
Delapan tahun sejak upaya pertama oleh nelayan Penuktukan, kini mereka sudah melihat hasilnya. Jumlah ikan terus bertambah kembali. Wardana, Arjana, dan anggota kelompok lainnya memperlihatkan ikan-ikan yang ada di kawasan pesisir mereka saat ini, seperti ikan anten merah (Pseudanthias squamipinnis), ikan singa (Pterois volitans), ikan brajanata strip (Sargocentron diadema), dan lain-lain.
Balebengong sederhana terbuat dari kayu tempat mereka memulai kelompok tersebut masih ada hingga saat ini. Namun, mereka kini juga sudah memiliki balai kelompok yang lebih permanen. Tak hanya menjadi para anggota berkumpul, balai itu sekarang juga menjadi tempat belajar tentang dunia bawah laut di Pantai Penukutukan dan cara melestarikannya.
Di balai tersebut terdapat berbagai informasi kegiatan kelompok maupun foto-fotonya serta zonasi wilayah.
Setelah pengawasan dan rehabilitasi sudah berhasil, sekarang nelayan berusaha untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Pada 8 Oktober 2012, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana meresmikan Kawasan Taman Segara sebagai tempat wisata selam. Peresmian ditandai pula dengan pemasangan papan peringatan agar nelayan tak melakukan penangkapan ikan dengan bahan berbahaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 8 ayat 1 dan Pasal 84 ayat 1.
“Setiap orang yang melanggar akan dikenai sanksi enam tahun penjara atau denda paling banyak Rp 1,2 miliar,” demikian bunyi peraturan yang ditulis di papan peringatan dari kayu tersebut.
Upaya lain nelayan di Penuktukan utuk menjaga lingkungan pesisirnya adalah dengan membuat zonasi wilayah laut yaitu zona rehabilitasi dan zona perikanan. Penataan zona sesuai peruntukannya. Untuk zona wisata bawah laut ada tiga lokasi utama yaitu Coral Stairway, Oasis Point, dan Angel Canyon yang memiliki ciri khas masing-masing.
“Turis di sini tidak hanya mendapatkan keindahan bawah laut yang sudah kembali tapi juga kepedulian kepada usaha pelestarian lingkungan oleh nelayan,” kata Arjana.
Keberhasilan nelayan Penuktukan untuk mengembalikan dan melestarikan lingkungan bawah lautnya, sejalan dengan upaya pengembalian kondisi bawah laut di kawasan ini. Selain Penuktukan, desa lain yang juga melakukan rehabilitasi adalah Desa Les. Nelayan di desa tetangga Penuktukan yang tergabung dalam Kelompok Mina Lestari juga memasang terumbu buatan dan melakukan zonasi.
Konservasi lingkungan pesisir di kawasan Tejakula ini dilakukan nelayan bersama pemangku kepenting lain, seperti pelaku pariwisata, pemerintah, dan LSM. Mereka sepakat membagi kawasan tersebut dalam lima zona yaitu Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan, Zona Peruntukan, dan Zona Suci.
“Melalui zonasi semacam itu, kami yakin potensi bawah laut di desa kami masih bisa dinikmati sekaligus dilestarikan dan diwariskan pada anak cucu kami,” kata Wardana. [b]