Keterbukaan informasi adalah kunci dalam layanan publik.
Begitu pula dalam layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk membuat publik sebagai pengguna JKN bisa memahami kondisi dalam layanan, perlu adanya keterbukaan informasi sehingga terwujud peningkatan kualitas layanan.
Dalam menempuh upaya keterbukaan informasi dalam layanan tersebut, Sloka Institute mendorong para pemangku kepentingan terkait layanan JKN membuat diskusi terfokus dengan tema Open Data. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Awasi Jaminan Kesehatan Nasional (AJAKAN).
Rofiqi Hasan fasilitator dalam pengantar diskusi ini menjelaskan data dalam intitusi-institusi. “Dalam hal open data, sebenarnya ada dua jenis data, yaitu informasi yang terbuka dan informasi yang dikecualikan,” katanya. Melalui diskusi terfokus ini diharapkan dapat dipetakan hal-hal apa saja yang bisa dijadikan data terbuka terkait layanan JKN.
Pengantar materi Open Data pada kesempatan ini disampaikan oleh Luh De Suriyani dari Sloka Institute. Menurut Luh De Open Data adalah data yang bisa diakses oleh antar instansi pemerintah dan warga. Adapun manfaatnya menurut Luh De dapat memudahkan koordinasi antar lembaga, meningkatan kualitas layanan, dan pengambilan keputusan pribadi.
Secara khusus, Luh De menjelaskan manfaat langsung Open Data untuk program JKN, “Misalnya publik dididik untuk memilih faskes mana yang harus dituju lebih dulu.”
Diskusi terfokus ini dihadiri tujuh lembaga, yaitu Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Dinas Kesehatan kota Denpasar, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan cabang Denpasar, perwakilan RSUD Wangaya, RS Puri Raharja, Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Puskesmas II Denpasar Timur, masing-masing dua perwakilan.
Pada diskusi ini masing-masing lembaga sharing mengenai akses data pada lembaganya. Heri, bagian Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Denpasar mengakui bahwa perizinan untuk akses data cukup rumit. “Misalnya mahasiswa, untuk mendapatkan data harus bersurat melalui kampus ke Kesbangpolmas baru ke SKPD, dalam hal ini ke Dinas Kesehatan,” katanya.
Lain halnya permasalahan di institusi Puskesmas. Mereka mengakui kurangnya sumber daya pendukung untuk proses open data. “Puskesmas memiliki data lengkap, baik pertahun maupun perbulan. Sumber daya manusia sudah ada. IT online secara khusus yang belum ada,” kata perwakilan Puskesmas II Denpasar Timur.
Dalam diskusi terfokus ini juga ada proses diskusi kelompok. Peserta dibagi menjadi dua kelompok. Tujuan diskusi kelompok ini untuk menyamakan suara terkait instansi, hal-hal apa saja yang bisa dijadikan sebagai data terbuka.
“Idealnya open data itu seperti apa? Apakah mungkin terbuka? Bagaimana prosesnya?,” kata Rofiqi memberi pengantar untuk diskusi kelompok.
Pada presentasi kelompok, kedua kelompok mengamini bahwa informasi dan data yang bisa diakses hal-hal yang bersifat umum. “Hanya profil, dokter, dan fasilitas secara umum sudah ada di website masing-masing,” kata perwakilan kelompok I.
Dalam diskusi juga dipresentasikan, hal-hal yang ingin dimasukkan sebagai data terbuka. Beberapa data yang belum dimasukkan misalnya fasilitas ruang kosong, tarif, lamanya pelayanan, fasilitas, jenis layanan, tenaga medisnya, berapa sarana JKN, berapa yang menggunakan JKN, faskes yang melayani BPJS, dan kepuasan pengguna BPJS terhadap layanan.
Perwakilan BPJS cabang Denpasar, Ary Udianto mengatakan bahwa, dari BPJS data-data yang belum dipublikasikansebelumnya hanya untuk internal antara lain data fasilitas kesehatan jejaring dan data jejaring pembayaran. “Selama ini hanya untuk internal,” katanya.
Dari hasil diskusi kelompok I merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan melalui AJAKAN, “AJAKAN perlu memfasilitasi bagaimana memasukan data, memverifikasi data (menggunakan no kartu JKN, KTP, email).” Sedangkan kelompok II mengatakan bahwa perlu juga ditambahkan data pengaduan keluhan dan data hak dan kewajiban peserta sebagai pengingat.
Pada diskusi terfokus ini hanya menjadi gambaran institusi-institusi ini terkait data yang bisa diakses secara umum. Peserta belum bisa memutuskan terkait upaya open data pada institusi masing-masing. Untuk mewujudkan hal ini, perlu kesepakatan dari jajaran pimpinan tertinggi lembaga masing-masing.
Meskipun begitu, perwakilan BPJS Kesehatan Denpasar, Ary Udianto mendukung upaya ini. “Hanya saja untuk upaya integrasi harus melalui kesepakatan dengan BPJS kesehatan pusat,” katanya. [b]
Comments 1