“Mana lebih berbahaya, reklamasi atau konferensi-konferensi internasional di Bali seperti APEC, WTO yang menguatkan kapitalisme yang memberi dampak pada masyarakat dunia?” tanya Revrisond Baswir retoris.
Ia tak hendak menghadap-hadapkan dua hal itu. Namun ingin menegaskan bahwa cengkraman korporasi hanya segelintir didukung kesepakatan dalam sidang-sidang WTO yang lebih mengancam hajat hidup orang banyak. Termasuk investasi pariwisata yang dikuasai pemodal besar.
Revrisond, Dosen Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini juga mendorong masyarakat untuk mengetahui siapa penguasa aset-aset di Indonesia, termasuk Bali. Hal ini menjadi salah satu bahan diskusi bertajuk Refleksi Akhir Tahun: Bali Surga Investasi yang dihelat di Penggak Men Mersi, Denpasar, Minggu (29/12) oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI).
“Agar image Bali bagus sebagai penyelenggara konferensi, juga harus mendukung konferensi tentang ekonomi kerakyatan atau semacam World Social Forum, agar ada perlawanan wacana,” kata Revrisond.
Ia mengingatkan semangat konstitusi UUD yang menyebutkan perekonomian disusun atas asas kekeluargaan dan kerakyatan. Sesuatu yang menurutnya makin dipangkas dari program pembangunan. Revrisond menyebutnya korupsi konstitusi. Pemerataan ekonomi inilah menurutnya yang harus diperjuangkan termasuk dari industri pariwisata.
Keprihatinan senada juga disampaikan guru besar pertanian Universitas Udayana Prof I Wayan Windia. “Tidak ada penguasa yang membangun pertanian. Semua orientasi fisik seperti pembangunan hotel, reklamasi yang cepat selesai dan dapat penghasilan,” katanya.
Hal ini menurutnya sudah diperkirakan alm IB Mantra, mantan Gubernur Bali yang membuat rambu-rambu investasi di Bali. Prof Mantra membuat peraturan bahwa bangunan tak boleh lebih dari pohon kelapa, arsitektur harus khas Bali, dan pembangunan tidak melanggar sempadan pantai dan sungai.
“Studi dari lembaga Perancis menyebut Bali hanya perlu 24 ribu kamar agar tetap berlanjut sesuai sosio kulturalnya,” kata Windia. Saat ini sudah lebih dari 55 ribu kamar, belum termasuk villa yang tak berizin. Jika ada pembatasan maka tercipta pemerataan dan pemberdayaan kampung adat sehingga turis mencintai kebudayaan dan bukan mass tourism.
Selain itu, Windia mengingatkan warisan Prof Mantra membangun Lembaga Perkreditan Desa (LPD) agar ekonomi berkembang di atas sosio kultural masyarakatnya. “Agar masyarakat adat tak diberatkan dana membuat ritual, ekonomi merata,” katanya. Windia menyebut yang menjadi penyakit adalah ketidakmerataan regional dan sektoral.
Untuk regional, menurutnya jelas dengan penyebaran investasi yang tak merata di tiap kabupaten. Kemudian di tingkat sektor, kesenjangan tinggi antara sektor pariwisata dan pertanian yang menjadi modal wisata itu sendiri. “Investasi bidang pariwisata 90 persen dan pertanian di bawah 1 perse. Nilai tambah pertanian paling rendah sementara tenaga kerjanya paling tinggi. Ini yang berbahaya,” papar Windia.
Pendapatan petani yang memiliki 1 hektar sawah menurutnya sekitar 2,5 juta per bulan, lebih rendah dibandingkan pendapatan pengemis. “Pajak sawahnya terus meningkat karena tingginya Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Kalau begitu, siapa yang bertahan jadi petani? Subak pasti hancur,” sebutnya.
Menurut Windia, subak adalah bemper kebudayaan Bali. Ironisnya, tidak ada perlakuan khusus agar petani tetap mau bertani dan menjaga subak. Program yang dibanggakan pemerintah Bali saat ini, Simantri, pun menurutnya tidak efektif. Salah satunya karena Simantri diadakan tidak berbasis subak tetapi gabungan kelompok tani (Gapoktan). “Banyak orang bukan petani yang ikut Gapoktan demi mendapat bantuan lewat Simantri,” katanya. Ia mengaku baru saja menguji disertasi mahasiswa Unud yang meneliti Simantri yang disebut tak efektif ini.
Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana itu menambahkan, dukungan untuk subak sudah terbukti bisa berhasil jika dilakukan dengan cara keberlanjutan. Windia memberikan contoh beberapa subak seperti di Wongaya Betan, Tabanan dan Lodtunduh, Gianyar. Di tempat-tempat tersebut petani tak hanya menjaga subak tapi juga memproduksi beras organik untuk konsumen secara berkelanjutan.
“Petani yang miskin didampingi sedikit saja tapi memberikan dampak besar sekali. Beda dengan DPR, yang diberi banyak tapi dampaknya sedikit. Belajarlah dari petani yang punya integritas dan harga diri,” lanjut Windia.
Hal yang penting harus ditingkatkan adalah modal sosial. Subak sebagai modal sosial harusnya ditata lagi agar tak hanya pencitraan dan dipolitisisasi. Modal sosial ini menurutnya yang diekspose oleh para penulis asing masa lalu seperti Miguel Covarubias sehingga Bali dikenal sebagai pulau Surga. Tapi kemudian mulai dipertanyakan seiring makin masifnya pariwisata massal pasca kepemimpinan Prof Mantra.
Rumawan Silain, peneliti soal tata ruang juga mengkritisi kenapa skema MP3EI soal rencana percepatan pembangunan nasional koridor Bali tak memasukkan pembangunan basis agraris dan budaya. “Kenapa hanya pariwisata dan perikanan? Akhirnya pariwisata hanya jadi komoditas saja,” sebutnya.
Ia mencontohkan pembangunan jalan tol di atas perairan yang menjadi komoditas hanya untuk APEC. “Jalan tol itu tidak ada dalam tata ruang Bali,” kata Rumawan.
Seorang peneliti iklim muda Bali, Made Kris Astra memberikan perspektif tambahan mengenai kerentanan bencana di Bali karena benteng pertahanannya yakni tebing-tebing dan pantai makin dieksploitasi. “Saya pernah mengamati di tebing Selatan tingginya 50-170 meter, tapi sudah banyak yang dipotong untuk pembangunan hotel,” keluhnya. Menurutnya benteng tebing sangat efektif menahan tsunami yang tinggi ombaknya 30 meter seperti tsunami paling tinggi di Chili.
Pada 1818 pernah terjadi tsunami di Singaraja sedikitnya ada 3000 korban. Kris menyebut jangan mengubah topografi alam karena Bali ada di jalur yg membangkitkan tsunami seperti gempa bumi atau meteor jatuh. Tiap bulan gempa bisa 30 kali, skala besar dan kecil.
“Investasi di pesisir tergolong rentan bencana apalagi di wilayah populasi padat dan potensi bencana nyata. Papua sering gempa tapi tidak disebut bencana karena tidak ada korban sebab pesisirnya steril,” jelas Kris. [b]
Tentunya konferensi2 internasional yang lebih berbahaya, karena reklamasi adalah dampak dari event tersebut.