Musim panen kopi telah tiba di Kintamani, Bangli.
Kebun-kebun di kawasan setinggi lebih dari 900 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini pun penuh dengan biji-biji kopi merah ranum. Begitu pula hamparan kebun kopi di Desa Belantih, Kintamani.
Salah satunya kebun milik Ketut Jati. Sekitar 0,5 hektar kebun itu penuh warna-warni akhir Juli lalu. Selain merah dan kuning dari biji-biji kopi, kebun itu juga penuh warga kuning oleh jeruk yang telah siap dipanen.
“Kami memang melakukan tumpang sari dengan tanaman jeruk,” kata Ketut Jati.
Inilah ciri khas pertanian kopi di Kintamani, dibudidayakan dengan sistem tumpang sari bersama pohon jeruk. Maka, rasa asam dari jeruk pun turut mempengaruhi keunikan cita rasa khas kopi kintamani.
Desa Belantih berada dekat perbatasan tiga kabupaten yaitu Bangli, Badung, dan Buleleng. Dia menjadi salah satu lokasi produksi kopi paling populer di Bali, kopi kintamani. Kopi ini termasuk specialty coffee dari Indonesia selain kopi gayo, kopi ijen, kopi toraja, dan lain-lain.
Keunggulan kopi kintamani adalah karena dia merupakan kopi pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat Masyakarat Perlindungan Indikasi Geografis (MIPG) pada November 2008. Sertifikat ini berarti, dia menjadi kopi khas dengan ciri khas pula dari daerah tersebut.
Meskipun bernama pasar kopi kintamani, kopi yang diproduksi di kawasan ini tak hanya dari Kecamatan Kintamani. MIPG kopi kintamani meliputi satu kawasan di tiga kabupaten yaitu Kecamatan Kintamani, Bangli; Kecamatan Plaga, Badung; dan Kecamatan Sukasada, Buleleng. Luasnya sekitar 23.000 hektar.
Sebagian petani di sini bergabung dalam Koperasi MIPG Kintamani. Menurut Ketua Koperasi MIPG Kintamani Dewa Raka, sebenarnya ada sekitar 3.600 petani yang tergabung dalam 64 kelompok tani di kawasan ini. Namun, hanya sekitar 300 petani yang bergabung koperasi.
Padahal, menurut Raka, koperasi telah membantu petani untuk memasarkan kopi, meningkatkan pelayanan, serta meningkatkan pendapatan anggota.
Raka menambahkan kopi kintamani dikelola berbasis subak abian, kelompok subak di kebun atau daerah kering. Tiap tahun, koperasi memproduksi sekitar 4.000 ton kopi. Biji-biji kopi itu diolah dengan cara dikeringkan sebelum kemudian diekspor lewat perusahaan-perusahaan eksportir terutama dari Surabaya, Jawa Timur.
Tujuan ekspor mereka ke terutama Eropa dan Amerika Serikat. “Potensi pasar domestik juga besar, namun kami masih fokus pada pasar ekspor,” kata Raka.
Saat ini, petani kopi kintamani menjual produk tersebut melalui perusahaan eksportir di Surabaya. Penjualan dilakukan secara kolektif melalui koperasi. Petani menjual dalam bentuk biji merah ke koperasi. Lalu, koperasi mengolah biji gelondong merah hingga menjadi biji hijau (green been).
Tempat pengolahan koperasi di Desa Catur, Kintamani tak hanya menjadi pusat penggilingan dan pengeringan tapi juga tempat belajar petani maupun peminat kopi di negeri ini.
Akhir Juli lalu, sekitar 30 petani mitra VECO Indonesia, lembaga donor di bidang pertanian berkelanjutan, dari Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur pun belajar ke sana. Mereka melihat langsung proses pengolahan kopi kintamani dan belajar tentang koperasi.
Tentu saja mereka juga menyeruput pahit dan nikmatnya kopi kintamani langsung dari petani. Ditemani sejuk suhu Kintamani dan manisnya jaja bali, nikmatnya terasa tak tertandingi. [b]
Comments 1