Semua banten yang menjadi simbol perwujudan manusia terbangun dari unsur Panca Maha Butha dan Panca Tan Matra. Ditransformasikan dalam unsur benda-benda yang ada di bumi. Sederhana dan sarat makna. Kenapa kini makin berubah?
Persembahan begitu banyak bentuknya. Begitu juga persembahan yang diyakini umat Hindu. Bukan kemegahannya, tapi maknanya untuk menggunakan isin gumi, apa yang ada di sekitar, apa yang dihasilkan dan dibutuhkan.
Dalam buku Arti dan Fungsi Banten yang ditulis I Nyoman Mider Adnyana, sembahyang berasal dari kata “sembah” merupakan bentuk penghormatan atau permohonan kepada Tuhan. Pendekatannya banyak bentuknya, salah satunya menggunakan media sarana sesajen.
Yadnya inilah yang menggerakkan pembuatan banten. Dalam konsepnya, banten itu disusun berdasarkan Triangga (badan) sebagai alat pembanding atau pengukur. Ada yang berkedudukan di hulu (kepala), di tengah/madia sebagai badan, dan bagian teben sebagai kaki.
Banten menjadi simbol penyerahan diri manusia yang dilandasi ketulusan hati atau lascarya. Ketulusan ini diwujudkan dalam bentuk tatuasan yang menunjukkan saking tuas (lascarya). Reringgitan yang menunjukkan keindahan seni adalah simbol perasaan cinta kasih dan bhakti untuk mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan Hyang Maha Esa.
Banten yang dikategorikan sebagai banten hulu (linggastana) adalah canang sari, daksina, suci, dewa-dewi dan catur. Besar kecilnya banten hulu ini mempengaruhi banten yang menyimbolkan badan. Banten bagian badan biasanya disebut banten ayaban, yang berupa canang ajengan atau canang raka, sorohan, bebangkit. Sedangkan yang masuk dalam simbol kaki adalah nasi sega, nasi kepel, dan segehan pancawarna.
Semua banten yang menjadi simbol perwujudan manusia ini terbangun dari unsur Panca Maha Butha dan Panca Tan Matra. Ditransformasikan dalam unsur benda-benda yang ada di bumi. Misalnya bagian apah (air) adalah air tawar dan air laut, atau makhluk hidup yang hidup di air seperti ikan lele, yuyu, udang, ikan teri, ikan pari. Dari unsur pertiwi (tanah), seperti kacang-kacangan, umbi-umbian. Yang mewakili unsur akasa (udara) seperti binatang buruan.
Bentuk persembahan ini tidak terlepas dari profesi yang ditekuni masyarakatnya. Misalnya, untuk para petani akan mempersembahkan hasil pertaniannya untuk Dewi Sri Sedana. Sedangkan bentuk banten akan berbeda pada yang berprofesi sebagai pedagang yang memohon berkah pada manifestasi Dewi Rambut Sedana.
Profesi umat ini mempengaruhi bentuk banten. Sehingga, banten di Bali sangat fleksibel. Ada benten yang besar unitnya, seperti mecatur tapi ada juga hanya tingkat tegteg daksina saja sudah cukup. “Hakekatnya tidak beda,” tulis I Nyoman Mider pada bukunya halaman 13.
Persembahan Dunia Melalui Daksina
Banten daksina/pejati adalah salah satu banten hulu yang dianggap sejati. Tak perlu yang mewah. Namun, bagian isinya memiliki makna yang penting.
Dalam buku Nyoman Mider, Daksina diterjemahkan sebagai simbol dunia, hal itu terlihat dari setiap pengadegan Bhatara pasti menggunakan daksina. Bahan-bahan penyusun banten ini mewakili isi dunia dalam versi mini.
Dirinci pula, daksina memiliki unsur-unsur badan alam makrokosmos. Daksina yang dibalut dalam sok srebeng/srobong adalah perwujudan kulit luar dari badan. Berisi kelapa sebagai kepala/hulu. Kelapa memiliki bentuk menyerupai kepala yang berisi mata dan mulut/hidung di bagian hulu kelapa itu. Selain ada juga ada mithologi bahwa kelapa adalah perwujudan alam jagat raga yang berasal dari kepala Dewa Brahma.
Bagian selanjutnya adalah telur yang melambangkan jantung karena bentuknya menyerupai jantung. Tingkih sebagai ungsilan dan pangi simbolik hati karena bentuk dan warnanya seperti hati. Daksina juga tersusun dari pisang kayu yang menjadi simbol tulang karena memiliki bentuk seperti tulang iga. Bija ratus sebagai jeroan/usus.
Bagian bawah kelapa berisi tampak, yang menjadi simbol cakra berputar. Diterjemahkan sebagai hukum alam yang terus bergerak. Juga berisi peselan yang terbuat dari 5 jenis daun buah-buahan yang mewakili warna putih, merah, kuning, hitam dan hijau atau biru.
Lima warna ini menggambarkan panca dewata. Pemilihan jenis daun ini pun fleksibel berdasarkan jenis daun yang tersedia di sekitar tempat tinggal. Peselan ini memiliki makna mengharapkan kehadiran Panca Dewata untuk berstana di daksina agar menyaksikan dan menganugerahkan kerahayuan. “Tidak harus sama jenis daunnya dengan tempat lain, tapi ditekankan adalah mewakili 5 warna itu,” tulisnya.
Bentuk banten atau tetandingan yang terlihat begitu rumit menyebabkan orang mengerjakannya berhari-hari dengan tekun dan teliti. Proses pembuatan tetandingan ini menjadi kesempatan untuk orang agar sepuas-puasnya dapat mengabdi melalui kerja dan bhakti untuk Ida Sang Hyang Widhi.
Begitu pula jika diperhatikan bahan terbuat dari bahan-bahan yang mudah rusak. Kenapa membuat daksina dari perak, lalu tumpeng dari permata? Nyoman Mider menjawab dengan sederhana. Jika dibuat dari bahan yang tahan lama, maka orang tidak perlu membuat banten lagi. Begitu juga kesempatan kerja untuk mengabdi pada Tuhan akan berkurang. Banten yang terbuat dari bahan yang mudah rusak mengandung makna agar setiap orang berkesempatan berbuat karma lalu merealisasikan Ida Bhatara melalui karyanya (banten).
Becik nunas mangda terus ngicen pemahaman indik bebantenan secara terus menerus dan alat yg sederhana suksema