Kamasan tidak bisa dipisahkan dengan lukisan tradisional khas wayang.
Pada pertengahan Mei lalu peserta bimbingan teknis Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejarahan bagi Penulis Sejarah berkesempatan mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Denpasar dan Klungkung.
Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah daerah Kamasan. Lebih spesifiknya yaitu sanggar kerja salah satu Maestro seni lukis wayang Kamasan, Nyoman Mandra.
Siang itu Sanggar Kerja Nyoman Mandra sepi. Dua orang perempuan lewat paruh baya sedang mewarnai kain yang sudah diberi gambar di salah satu sudut dekat pintu masuk. Kedua perempuan tersebut adalah Made Tanjung dan satu lagi mengaku bernama Wayan.
Made Tanjung sibuk mencampur pewarna berbahan dasar “pere,” batu dari pasir laut yang tersedimentasi dengan bahan lain agar pewarnaan tidak mudah luntur. Batu-batu ini katanya didapatkan dari daerah Serangan. Sementara itu, Wayan sibuk dengan kuasnya mewarnai kain yang hampir selesai.
“Tiyang uli cerik,” kata Made Tanjung ketika ditanyakan sejak kapan mulai mewarnai lukisan. Artinya dia sudah mewarnai lukisan sejak masih kecil.
Saudara perempuan Nyoman Mandra ini lebih aktif meladeni peserta yang bertanya. Ia juga banyak menjelaskan mengenai proses pembuatan lukisan, mulai dari persiapan media lukis. Mula-mula kain belacu direbus menggunakan kanji, setelah kering digosok dengan kulit kerang bertubuh licin. Baru kemudian dipakai sebagai media menggambar sketsa wayang.
“Muridnya yang membuat sketch,” kata Made Tanjung mengacu pada salah satu murid Nyoman Mandra. Lukisan di sanggar tersebut juga ada yang dibuat oleh penerus sang Maestro.
Pertautan
Nyoman Mandra menemui para peserta dengan udeng dan pakaian adat ringan. Ia juga menggunakan kaos kaki, sebelumnya ia telah mengkonfirmasi bahwa kondisinya kurang sehat. Sang Maestro ini kemudian memanggil anak perempuannya Wayan Sri, untuk membacakan sejarah seni Kamasan. Meskipun dalam keadaan tidak sehat, Nyoman Mandra tetap interaktif dengan pertanyaan para peserta setelah mendengarkan sejarah Kamasan.
Khas Wayang tradisional Kamasan kemudian disebut Seni Kamasan ini merupakan pertautan seni pada era kerajaan Klungkung dibawah Raja Dalem Waturenggong. “Baru ada peninggalan tertulis tentang sejarah Kamasan pada Abad ke-16 dan 17,” kata Nyoman Mandra.
Gaya lukisan wayang Kamasan yang menjadi ciri khas ini terbentang di Taman Gili Museum Kertagosa. Lukisan wayang tersebut bercerita tentang Karmapala, kisah Bimaswarga dan cerita tantri. Lukisan diperkirakan dibuat tahun 1920, mula-mula dibuat pada kain kasa. Hingga saat ini lukisan sudah diperbaiki beberapa kali pada tahun 1940, 1960 dan 1981.
Generasi Penerus
Kamasan pernah mengalami kejayaan pada masanya, “Pada awal abad ke-20 seni masih untuk keperluan keagamaan tetapi, di Kamasan barang-barang seni sudah untuk jual beli,” kata Nyoman Mandra.
Meskipun begitu Mandra juga mengakui bahwa pada tahun 1960, Kamasan kehabisan Seniman terutama tukang sketsa. Tetapi, usaha para seniman yang tersisa untuk mengangkat kesenian khas Kamasan tidak berhenti sampai disitu. Hingga akhirnya pada tahun 1973, dengan bantuan pemerintah, Mandra mengatakan para seniman menghimpun anak-anak dari kamasan untuk belajar membuat sketsa, sejumlah 10 orang.
Saat ini jejak seni di Kamasan sudah berumur empat generasi. Seniman yang yang berperan dalam perbaikan Lukisan di Taman Gili pada tahun 1981 itu juga mengatakan bahwa Kamasan tertua dalam Pewayangan. “Kamasan itu perintis pemula, tapi wayang kan sudah dari jaman Kebo Iwa di Puri Batu,” katanya.
Berbanding terbalik saat ini, seni Kamasan yang dulu pernah mengalami kejayaan kini terancam kehilangan generasi penerusnya. “Saat ini anak-anak kurang tertarik belajar wayang, karena perkembangan sekarang banyak kegiatan di sekolah, ” kata Wayan Sri, anak pertama Nyoman Mandra. Karena kesibukan anak-anak tersebut sanggar hanya membuka kelas pada hari luang anak-anak Kamasan, hari Jumat, Sabtu dan Minggu.
Selain menerima anak-anak Kamasan untuk belajar, sanggar ini juga menerima warga asing yang ingin belajar. Seperti siang itu, di Sanggar Nyoman Mandra, seorang perempuan berkebangsaan Jepang berlatih membuat sketsa. “Cuma sedikit, malah dari luar yang banyak, Itu ada yang dari Jepang,” kata Sri. “Dari luar Kamasan banyak, dari Denpasar juga,” ia menambahkan.
Untuk bisa belajar di sanggar lukis anak-anak sudah bisa mengikuti sejak usia sekolah dasar. “Dari usia kelas 3, paling tidak harus lancar baca tulis,” kata Sri. Saat belajar mula-mula diajarkan mengenal garis, garis miring dan lengkung. Setelah memahami garis kemudian diajarkan membuat muka wayang, bagian mulut, hidung. Setelah itu baru tangan, kemudian wayang utuh. Baru kemudian pewarnaan dan finishing.
Menjadi penerus seni Kamasan ternyata tidak mudah. Tidak cukup hanya belajar, masih ada kriteria lainnya. “Pertama jadi pelukis Kamasan harus punya kamarhadikan, pengetahuan tinggi dan budi luhur,” kata Nyoman Mandra. Kriteria itu untuk menghasilkan lukisan yang menjiwai. Sementara pengetahuan tinggi terutama dalam memahami sastra penting untuk menghasilkan wayang yang memiliki karakter sesuai dengan tokoh-tokoh dalam sastra.
Penerus seni Kamasan yang dibutuhkan bukan hanya seseorang yang menjaga seni itu tetap ada, tetapi juga menjaga kualitas seni Kamasan itu sendiri. [b]
Salam,
Saya tertarik pada seni lukis kamasan. Boleh minta kontak maestro nya?