Punya baju-baju atau barang bekas sudah tidak dipakai?
Daripada dibuang, mending ditukarkan dengan produk-produk daur ulang keren karya Wiss. Seniman muda yang sangat produktif ini mendaur ulang pakaian-pakaian bekas menjadi pakaian baru penuh cita rasa seni.
Sepuluh kaos katun bekas bisa ditukar dengan sepasang sepatu penuh lukisan. Dua kaos katun juga bisa barter dengan sebuah buku sketsa dengan sampul kardus bekas berlukis.
Wiss membuat dan menjual produk-produknya tersebut di tokonya, Art of Whatever yang punya tagline secondhand custom culture store di Jalan WR Supratman, Denpasar.
Sepatu dan buku sketsa dengan lukisan surealisme ini dipajang di depan toko yang fokus menjual produk upcycle itu. Dia menjadi penanda bahwa barang bekas bisa diubah menjadi produk yang lebih bernilai seni.
Wiss melukis di atas kaos-kaos katun bekas tanpa sablon rubber. Misalnya sebuah kaos bersablon gambar hati merah dilukis dengan menambahkan mata-mata yang menjulur dari lubang-lubang hati. Dia menjadi ciri khas produk-produk Art of Whatever.
Mata-mata ini khas karya Wiss. Awalnya ingin menjadikan mata sebagai logo. Tapi kemudian bergerak liar menjadi sejumlah figur-figur aneka rupa. “Mata artinya karya saya bisa dinikmati, tapi lalu bisa berubah menjadi orang atau monster,” ujar pria kelahiran 1982 ini.
Karya-karya Slinat, seniman street artist Bali yang bersuara di sejumlah tembok jalanan kota Denpasar juga bisa ditemukan di Art of Whatever Store, Jalan Supratman. Lokasinya sebelum perempatan Jalan Waribang-Sulatri-Supratman.
Di perempatan ini, ada sebuah mural menggelitik. Sebuah tengkorak utuh yang sedang memohon, dengan teks: Ratu Sanghyang Embang, semoga di perempatan ini tidak akan pernah ada baliho-baliho iklan dan sejenisnya.
Sebuah pesan untuk merebut ruang publik. Relevan dengan kondisi perempatan ini yang sangat padat namun sempit tapi dipenuhi banyak baliho. Slinat mengambar mural di sebuah tembok persis di perempatan ini. Perempatan jadi lebih sumpek dengan aneka baliho, juga menyulitkan pengendara dan pejalan kaki.
Selain itu di tempat lain ada juga mural lain tentang kerisauan jual beli tanah dan protes akan eksploitasi alam.
Salah satu yang terbaru ada di belakang tembok pasar Kumbasari. Sebuah mural besar penari legong terlihat mengenakan masker memenuhi tembok yang di depannya kerap menjadi lokasi pedagang canang. Sekarang, spanduk Satpol PP menutupi bagian bawah mural yang berisi larangan pedagang jualan di pinggir jalan.
Wiss, lulusan seni rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar 2006 ini mempersilakan melongok ke bengkel kerja di belakang toko Art of Whatever. Ini rumah keluarga besar khas Denpasar. Satu area tinggal beberapa kepala keluarga dengan aneka kegiatannya. Ada seorang ibu sedang produksi kaos massal, perempuan yang membuat sesajen, anak-anak bermain dalam kardus, dan tetangga yang punya usaha menyangrai kopi.
Asapnya jadi teman keseharian Wiss. Bengkelnya di belakang. Terlihat rapi. Cat dan kuas ditata dalam satu wadah susun. Karyanya tersebar, ada di beberapa pojok bangunan, meja, kursi, dispenser air, tong sampah, dan lainnya. Dengan ciri khas mata itu.
Seorang pria sedang membongkar pintu kayu bekas. Kayu-kayu ini direspon Wiss dengan sejumlah pesan dan figurnya. Makin banyak teman yang membawakan barang bekas untuk digambar. Tas, topi, sepatu, dan paling banyak kaos.
Wiss tidak pelit bicara. Ia akan bercerita tentang minatnya pada upcycle atau pagelaran Bali yang Binal dari komunitas Pojok yang rutin berpameran dan diskusi seni dua tahun sekali.
Komunitas Pojok adalah ruang seni alternatif yang dihidupkan sejumlah mahasiswa ISI (ketika bernama STSI) seni rupa, mereka mengolaborasikan sejumlah genre berkesenian seperti mural, lukis, cukil, musik, dan lainnya.
Di tokonya, sejumlah seniman juga memajang karya sehingga menjadi etalase upcycle bersama. Ada merek Besi Batu Kayu yang spesialis kayu bekas, AS, dan lainnya. Juga sejumlah merchandise band inde Bali seperti Nosstress. Jika mau melihat karya-karya upcycle ini, Wiss juga mempromosikan karya-karyanya di akun Instagram. [b]