Wacana kekerasan struktural ditampilkan dengan bumbu komedi. Beginilah pembuat film Asia Tenggara menyajikan tabu, topik yang membuat orang tua pembuat film dagdigdug. Tapi disajikan serasa tebu, manis legit.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, tabu artinya dianggap suci (tidak boleh disentuh, diucapkan, dsb); pantangan; larangan.
Dua di antaranya adalah film Sepanjang Jalan Satu Arah (Bani Nasution /2016/ 16:00) dan Fat Boy Never Slim (Sorayos Prapapan/2016/15:00).
Dua anak muda ini menohok realitas di negaranya masing-masing, Thailand dan Indonesia. Fat Boy Never Slim mengkritik wajib militer (wamil) melalui dua remaja bertubuh gemuk. Judulnya sih seksis. Namun ini bukan tentang tubuh.
Di Thailand, semua pria termasuk transjender yang berumur 21 tahun harus bersiap menghadapi wamil. Tapi ada siasat menghindarinya. “Aku berniat jadi lady boy tapi tidak mau potong penisku lah,” demikian salah satu dialognya. Transeksual, transgender yang sudah ganti kelamin dikecualikan dari wamil termasuk biksu dan penyandang disabilitas.
Dua tokoh utamanya coba menghindari dengan ikut kursus pertahanan saja. Nah untuk ikut kursus ini harus tes fisik. Yang tak lolos ya harus ikut wamil. Apa yang membuat mereka lolos tes fisik? Di sinilah kritiknya. Selain scene video ponsel yang tersebar, terlihat orang berpakaian tentara menginjak-injak peserta wamil.
Gambar dan percakapan yang terbangun mengalir tanpa perlu menerka-nerka maksudnya. Disajikan gamblang, diperhalus dengan unsur lucu yang diniatkan muncul dari dua tokoh bertubuh gemuk. Diskriminasi fisik mungkin terasa di sini, namun ini mungkin upaya menarik perhatian agar warga tak takut duluan menonton.
Sorayos adalah sutradara, editor, produser film ini. Latar belakangnya adalah lulusan Film and Photography Thammasat University Thailand. Fat Boy Never Slim masuk penonton global dengan mendapatkan premiere dalam International Film Festival Rotterdam 2016, setelah tayang di Bangkok Underground Film Festival.
Film Sepanjang Jalan Satu Arah juga tak menarik dari judulnya. Namun film berdasar rekonstruksi keluarga pendukung salah satu calon Walikota Solo pada Pilkada 2015 ini sangat direkomendasikan dalam situasi fanatisme agama di Indonesia saat ini.
Bani dan filmnya ini baru diumumkan jadi salah satu nominasi film pendek terbaik di Festival Film Indonesia 2017. Sebelumnya sudah diapresiasi Special Jury Mention dalam ajang Sea Short Film Festival.
Bani juga muncul sebagai subjek dalam film, ia membawa ke suasana pemukiman di Solo. Inilah yang melawan batas dokumenter-fiksi yang biasanya dipisahkan secara tegas. Fokusnya pada sosok ibu yang berperan kalem tapi tegas pada pilihannya. Dengan bahasa santun dan tenang ia menelpon warga sudah dipetakan dalam sebuah daftar untuk diajak nyoblos calon favoritnya. Ketegasan membatu menjadi fanatisme buta, sampai mengata-ngatai anaknya yang diperankan Bani.
Film pendek 15 menit ini membuka motif dan praktik mobilisasi suara dengan dalih agama. Lewat ruang-ruang domestik, politik dan calon penguasa memanfaatkan perempuan pekerja keras yang tekun tapi takluk dengan dogma agama.
Sepanjang Jalan Satu Arah adalah film pemantik yang bisa membawa diskusi kritis berjam-jam di ruang privat, juga ruang publik. Saya tertegun dengan kekuatan misi film-film pendek di Minikino Film Week (MFW) ini. Durasi di bawah 30 menit membuatnya memiliki kekuatan untuk lebih fokus dan berefleksi.
Kedua film masuk sub program S-Express, sebuah Short Film Program Exchange dimulai 2002 oleh Yuni Hadi (Singapore), Amir Muhammad (Malaysia) dan Chalida Uabumrungjit (Thailand). S-Express menjadi kegiatan tahunan dalam bentuk pertukaran program film pendek yang dilakukan dalam skala regional (Asia Tenggara).
Minikino membawa Indonesia bergabung pada tahun 2003, dan berlanjut sampai sekarang. Tahun ini merupakan tahun ke 15 sejak S-Express pertamakali diinisiasi. Sebagai apresiasi ada S-EXPRESS 2017 AWARD apresiasi non-monetary dalam bentuk Certificate of Achievement dan pengumuman online untuk diketahui publik.
Nominasi lain di program ini adalah Freeze (Nelicia Low/2015/15:00), sudut pandang yang kuat tentang takut kesendirian. Topik yang mempertaruhkan kemampuan aktor-aktrisnya untuk membawa emosi ke penontonnya.
Di genre film fiksi, ada Bitchboy (Måns Berthas/Sweden/15:00). Seorang bocah laki-laki penggemar musik black metal, dengan hiasan wajah ala band Kiss tapi lebih muram. Figurnya simbol saksi kekerasan dalam keluarga, yang kerap terabaikan. Bocah ini berniat membakar mayat kakeknya sebagai pembalasan untuk sang nenek. Tekanan apa yang dirasakan anak ini sampai nekat? Film dengan ending yang tak terduga.
The 3rd Minikino Film Week akan mengapresiasi film-film terbaik dari tiap kategori. Selain S-Express dan Best Short Film of The Year 2017, juga memilih Best Animation Short MFW2017, Best Children Short MFW2017, Best Fiction Short MFW2017, Best Documentary Short MFW2017, dan Best Audio Visual Experimental Short MFW2017
Program baru yang atraktif adalah Begadang Filmaking Competition. Kompetisi produksi film yang dilakukan dalam waktu 34 jam saja. Karena lebih dari sehari, mendorong tim pesertanya harus begadang. Dimulai dengan mulai menyusun dan menulis naskah, shooting, edit dan mungkin membuat musiknya (scoring) sekaligus.
Untuk menjamin bahwa produksi baru bisa dimulai sesuai waktu yang ditentukan, panitia/minikino baru mengumumkan “elemen-elemen wajib” yang wajib ditampilkan sebagai konten audio visual dalam film tersebut, pukul 8 pagi, 2 September, dan karya film final harus sudah diserahkan sebelum jam 6 sore, 3 September 2017. Siapakah yang membuat film Begadang terbaik?
Tujuh hari, 209 film
Tahun ketiga perhelatan MWF pada 7-14 Oktober ini, Minikino menghadirkan 209 film pendek yang dikemas dalam 42 program. Jauh lebih banyak dari Minikino Film Week tahun pertama menayangkan 88 film pendek, sedangkan pada tahun kedua sejumlah 158 film. Tak hanya film, juga pembuat filmnya dari berbagai negara.
Semuanya diputar dalam area yang biasa digunakan menonton (micro cinema) atau yang mendadak ala layar tancap (pop-up cinema) di 17 lokasi pemutaran film yang tersebar di berbagai Kabupaten/Kota di Bali.
Lokasi Micro Cinema di antaranya Akubank Denpasar, Gedung Merdeka BPPD Denpasar, Bentara Budaya Bali Gianyar, Campuhan College Ubud, Danes Art Veranda Denpasar, Fame Hotel Kuta, Irama Indah Denpasar, Omah Apik Pejeng, Rompyok Kopi Kertas Budaya Jembrana, Rumah Film Sang Karsa Buleleng dan Uma Seminyak. Sementara lokasi layar tancap beradaptasi dengan mendatangi pos pengungsi karena masuk kawasan rawan bencana awas Gunung Agung.
Selain itu, 3rd Minikino Film Week juga menyediakan perpustakaan video di Festival Lounge, lantai 1 Gedung Merdeka, kantor BPPD Denpasar, Jalan Surapati No. 7. Perpustakaan ini berisi lebih dari 500 judul film pendek Indonesia maupun internasional.
Dengan film dan program (termasuk workshop dan pelatihan pra dan saat MFW) sepadat itu, siapa orang-orang yang menjalankannya? Siapa yang bersetia membagi tontonan bergizi gratis dari penjuru dunia? Tak heran Fransiska Prihadi (Program Director), Edo Wulia (Festival Director), dan Made Birus (Executive Director) bahu membahu juga jadi moderator, penerjemah, sekaligus dokumentasi di tiap venue.