Riuh gamelan terdengar dari tengah hutan Desa Sidembunut.
Akhir Februari lalu rintik hujan menambah dingin udara malam. Rumpun bambu menjuntai seperti kanopi alami. Jalan setapak sekitar 500 meter menuju pusat keriuhan ini ramai.
Ratusan warga hilir mudik dengan tujuan sama.
Di pusat keramaian, para penari dan penabuh cilik mempertunjukkan talentanya. Secara bergantian, anak-anak, remaja, dan orang dewasa menguasai panggung Sanggar Hasta Gina ini. Tari kontemporer fire dance, arja, wayang, dan lainnya membuat hutan terasa hangat.
Desa memberikan lahan khusus bagi sanggar dan warganya untuk berkreativitas selama tujuh tahun terakhir. Karena melihat kesungguhan pengelola sanggar, di antaranya anak muda 35 tahun yang kini mengabdi jadi pemangku, Jero Mangku Puseh Tirtayasa.
Puncaknya, akhir pekan lalu, lebih dari 100 seniman sanggar warga setempat ingin memperlihatkan dinamika berkeseniannya dalam Sidembunut Festival. Ratusan warga berparade dimulai dari baleganjur, tari-tari pertunjukkan dari anak perempuan, lalu parade gebogan dari para ibu.
Barisan berikut adalah Baris Gede, tari sakral yang membawa senjata laras panjang seperti serdadu di masa colonial sehingga juga disebut baris bedil. Kemudian keriuhan Barong Ngelawang yang sangat digemari anak-anak, barisan muda-mudi cilik dalam pakaian adat, Topeng Geguntangan yang mengombinasikan atribut seperti wig warna warni.
Kemudian ada barisan pengerajin dengan karyanya yang masyhur di masa lalu, kini hanya dikerjakan satu-dua orang. Seperti ngiu atau nampan dari bambu, anyaman wadah sesajen, kerajinan daun ental, ukiran batu dan kayu, dan ukiran pada telur binatang yang sangat detail.
Jelang barisan penutup, ada kreasi tari kontemporer dari para remaja. Seorang guru sanggar, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar membuat karya tari yang diadaptasi dari Sanghyang Dedari dan berkolaborasi dengan remaja setempat. Mengenakan baju hitam putih dan lukisan topeng di wajah seperti pantomime, tari sacral ini dimodifikasi bergaya comedian.
“Anak-anak di sini senang sekali dengan tari seperti ini, bisa berkreativitas bebas,” seru salah seorang penonton remaja.
Parade di jalanan desa ini kurang dari satu kilometer, di depan pura dan balai desa Sidembunut. Lalu berakhir di sanggar untuk atraksi seni. Hanya satu banjar dengan lebih dari 1.000 KK, membuat desa ini mudah mengoordinir warganya. Penduduk desa kompak berpakaian adat menonton pesta seni dan kuliner yang dihadiri Bupati Bangli Made Gianyar ini.
“Tumben ada parade, desa jadi ramai sekali,” seru Ribek, salah seorang warga perempuan senang.
Jero Mangku Tirtayasa mengatakan hampir tiap tahun ada pertunjukkan seni tanpa embel-embel festival seperti tahun ini di Sidembunut. Skalanya lebih kecil, hanya pertunjukkan di sanggar. Tahun ini disokong Yayasan Kelola dan LITE Insitute untuk lebih menggaungkan potensi dan kreativitas warganya.
Sebuah kelompok berkesenian ternyata mampu membuat desa yang berlokasi sekitar 4 km dari pusat kota Bangli ini lebih hidup. “Desa bisa lebih hemat tak perlu sewa penari dari luar. Bisa tiap minggu ada ritual karena ada belasan pura di sini,” ujar Jero Mangku Tirtayasa, sarjana Program Studi Seni Rupa dan Desain Unud angkatan 1997 ini.
Kuliner Khas
Selain olah kreatif juga berdampak secara ekonomi. Peracik kuliner khas Bangli juga memperlihatkan keahliannya dalam festival ini. Para perempuan desa memperkenalkan pepes kacang taro, jukut urab daun jampen, dan menu ikan mujair.
Sanggar Hasta Gina ini juga menjadi etalase karya pengerajin. Salah satunya I Nyoman Buda. Ia adalah generasi terakhir yang menekuni ukiran cangkang telur besar seperti Burung Onta atau Kaswari. Bahan bakunya makin sulit dan mahal.
“Hanya membuat berdasar pesanan,” kata pria tengah baya ini.
Dipahat langsung di permukaan telur tanpa digambar, ia mengukir kisah pewayangan seperti Ramayana. Sangat rapi, detail, dikerjakan 1-2 bulan per unitnya. Di masa lalu selain telur, juga banyak pengukir besi, batu, dan tulang.
Sidembunut disebut salah satu desa tua, salah satu desa pengampu Pura Kahen. Pura Kahen adalah Pura Khayangan Jagat yang unik secara arsitektur. Pintu masuk pura ini dibuat dalam bentuk candi kurung dan bukan serupa candi bentar seperti pura-pura lain.
Terdapat pohon beringin besar di halamannya, yang juga dipercaya warga setempat sebagai pohon keramat. Konon apabila dahannya patah akan terjadi musibah di Bali.
Sejak zaman kolonial Belanda, Sidembunut sudah berada di wilayah administratif Cempaga. Menurut orang tua, Sidembunut adalah sentra pengrajin dan pelaku seni sejak zaman kerajaan.
Diperkirakan ada pada sekitar tahun 833 Saka (911 M). Demikian tertera pada Prasasti Kahen A yang dikeluarkan oleh Kerajaan Singamandawa. Isi prasasti itu, pemberian izin pada para bhiksu dan orang-orang di Simpat Bunut di bawah pemerintahan Hulukayu untuk membangun Kuil Hyang Karimana yang dihubungkan dengan Kuil Hyang Api dan Kuil Hyang Tanda.
Pada prasasti tersebut juga disebutkan batas kuil tersebut.
I Nyoman Singgin Wikarman dalam Bangli Tempo Doeloe (Dalam Kajian Sejarah) (2013, 21-22) menuliskan, ketiga kuil itu mungkin saja ada hubungannya dengan Pura Penataran Sidembunut yang disebut dalam prasasti sebagai Hyang Karimana. Sedangkan Hyang Api adalah Pura Kahen dan Hyang Tanda pura di puncak Bukit Bangli atau yang disebut sebagai Pura Pucak Bangli.
Kerajaan Singamandawa sendiri adalah kerajaan Bali Kuno tertua, tercatat ada sejak 804 Saka. Para ahli sejarah memperkirakan Singamandawa kelanjutan Kerajaan Sanjayawamsa di Jawa Tengah dan Kerajaan Dinoyo di Jawa Timur. Kerajaan ini nampaknya hanya bertahan hingga 888 (966 M) Saka karena didesak dan dikalahkan oleh Kerajaan Warmadewa. [b]
Comments 1