Bali tak lepas dari upaya negara untuk mengatur desa adat.
Bisa dibilang, komunitas-komunitas lokal di seantero negeri ini dipaksakan “dinamai” untuk masuk dalam rezim pengaturan yang direncanakan negara. Belum lekang dalam ingatan bagaimana imajinasi ideal tentang ketradisionalan dan solidaritas sosial yang harmonis, dilekatkan kepada adat dan budaya dari komunitas-komunitas di negeri ini.
Pada praksisnya, bayangan ideal tentang adat yang tradisional dan harmonis kemudian dimanipulasi dalam propaganda yang dirancang untuk mendukung mempromosikan kesatuan bangsa dan melegitimasi penindasan terhadap unsur yang dianggap membahayakan kesatuan tersebut.
Salah satu peraturan yang terbukti menyapu habis lembaga-lembaga tradisional yang secara nyata berfungsi dalam pengurusan daerah adalah Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Dalam UU inilah terjadi penggantian peran pemimpin adat, yang dipilih ataupun ditunjuk, dengan kepada kepada desa yang dipilih yang sudah melalui screening oleh negara. Para kepala desa inilah yang kemudian bekerja dalam sebuah struktur birokrasi nasional yang seragam (Kato, 1989; Henley dan Davidson, 2010: 3).
Jika melihat Bali, salah satu poin penting dari usaha kepengaturan (govermentality), institusi kekuasaan (pemerintah kolonial dan negara) terhadap komunitas bernama desa (adat/pakraman) adalah dengan membuatkannya panggung yang selalu dikontrol bahkan diperdaya untuk kepentingan kekuasaan. Peralihan kekuasaan silih berganti —mulai dari zaman kerajaan, rezim kolonial Belanda, Orde Baru hingga pasca 1998—, komunitas desa selalu menarik perhatian kekuasaan untuk menancapkan kuasanya.
Tak terkecuali yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali yang selalu saja memiliki hasrat untuk “memberdayakan” (atau memperdaya?) komunitas bernama desa. Jika sepintas kita menengok perspektif pemahaman terhadap nama, juga terus-menerus mengalami perubahan seiring arus sang kuasa. Silih bergantinya penamaan yaitu: Desa Adat, Desa Pakraman, dan kemudian kembali kepada Desa Adat, kita bisa menafsirkan ada sesat pikir yang timbul dan tenggelam dalam perspektif pemahaman terhadap komunitas bernama Desa Adat/Pakraman di Bali.
Kepengaturan
Berbagai kebijakan yang dibentuk untuk memberdayakan Desa Pakraman/Desa Adat adalah serangkaian kehendak untuk memperbaiki. Kehendak untuk memperbaiki diinisiasi oleh kuasa (negara dengan berbagai perangkatnya) dan kelompok kepentingannya. Berbagai kebijakan yang diperuntukkan kepada Desa Pakraman/Desa Adat adalah kerangka kepengaturan.
Kepengaturan diterjemahkan melalui seperangkat aturan dan pelaksananya, yaitu para aparatus negara dan jaringan yang bertujuan mulia. Tujuannya tersebut adalah keinginan untuk memperbaiki (the will to improve) dari situasi yang dianggap mengalami “kesalahan”. Oleh sebab itulah ada niat untuk usaha memperbaikinya.
Namun, sayangnya kehendak untuk memperbaiki tidaklah setulus yang kita kira. Kehendak untuk memperbaiki terletak di dalam gelanggang kekuasaan. Niat tersebut tidak berada di ruang kosong yang steril dari kekuasaan.
Michel Foucault yang dikutip oleh Tania Murray Li (2012:11) dengan tajam mengungkapkan:
Kepengaturan adalah “pengarahan perilaku” yakni upaya mengarahkan perilaku manusia dengan serangkaian cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa. Berbeda dengan pendisiplinan yang bertujuan memperbaiki perilaku melalui pengawasan ketat dalam kurungan (penjara, rumah sakit jiwa, sekolah), kepengaturan berkepentingan dengan peningkatan kesejahteraan orang banyak.
Niat baik kepengaturan dikemas dengan bertujuan untuk menjamin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perbaikan keadaan hidup mereka, peningkatan kemakmuran, usia harapan hidup, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah disebutkan bahwa kepengaturan bekerja dengan mengarahkan minat dan membentuk kebiasaan, cita-cita, dan kepercayaan.
Rasionalitas kepengaturan adalah merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai bukan satu tujuan dogmatik, melainkan “serangkain hasil akhir yang spesifik,” yang diraih melalui “berbagai taktik multibentuk”. Kalkulasi pun diutamakan di sini, karena kepengaturan menuntut dijabarkannya “cara yang tepat”, diprioritaskannya “hasil akhir” dan disesuaikannya taktik demi tercapainya hasil optimal. Kalkulasi, pada gilirannya, menuntut agar semua proses yang akan diatur harus digambarkan dalam istilah-istilah teknis. Baru setelah itu rencana perbaikan yang pas dapat dirumuskan (Tania Li, 2012: 11-13).
Karaman
Serangkaian kepengaturan yang dikonstruksi oleh negara dan kuasanya diantaranya adalah melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat. Pada Perda ini dirumuskan bahwa Desa Adat sebagai Desa Dresta yaitu kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Khayangan Tiga (Khayangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Hasrat kepengaturan kemudian dimunculkan kembali dengan mengganti Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 06 tahun 1986 dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman, yang mengganti istilah Desa Adat dengan Desa Pakraman, meskipun substansi tetap sama. Dan kini, terbit Perda terbaru No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Pada Perda Desa Adat yang baru terdapat penambahan substansi dengan masuknya konsep Sad Kerthi yang merupakan landasan filosofis kepemimpinan Gubernur I Wayan Koster dan Tri Sakti dari Soekarno. Dalam Perda terbaru ini, Desa Adat dirumuskan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Penjelasan lainnya adalah bahwa desa adat berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang berakar dari kearifan lokal Sad Kerthi, dengan dijiwai ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali, sangat besar peranannya dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga perlu diayomi, dilindungi, dibina, dikembangkan, dan diberdayakan guna mewujudkan kehidupan Krama Bali yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Jika kita menengok catatan sejarah, terutama dalam prasasti yang ditemukan di Bali, komunitas desa awalnya disebut dengan istilah Karaman. Pada masa pra-Hindu, masyarakat hidup dalam satu iaktan kesatuan yang disebut dengan Wanua. Satu wanua dengan luas wilayah tertentu merupakan satu kesatuan hukum dibawah pimpinan Sanat, Tuha-tuha atau talaga. Sanat artinya seperti Tuha dan Talaga yakni yang dituakan.
Dalam beberapa prasasti perunggu terdapat kata-kata yang mengandung arti orang tua yaitu Kiha dan Kumpi. Penelitan terhadap prasasti-prasati sebelum dan sesudah zaman Ugrasena memberikan petunjuk bahwa pimpinan Wanua dipegang oleh kelompok yang disebut dengan Sarbwa atau Sarwwa.
Hal itu terlihat dalam Prasasti Sukawana (Caka 882) terdapat kelompok yang disebut dengan Sarbwa Kiha. Dalam Prasasti Bebetin (Caka 896) terdapat kelompok Sarwa Kumpi. Prasati truyan (Caka 911) terdapat kelompok Sarwwa Sanat. Dalam Prasasti Pura Kehen terdapat kelompok yang disebut Sarwwa Sanat. Dan dalam Prasasti Srokanda (Caka 915) terdapat kelompok yang disebut Sarwwa Talaga (Dharmayuda, 1995: 28).
Kelompok pengurus yang disebut Sarwwa ini terdiri dari tiga jabatan fungsional yaitu: Dinganga sebagai pemegang urusan kehakiman, Nayakan Makarun sebagai pimpinan sidang, dan Manuratang Adna sebagai pejabat yang harus menuliskan keputusan-keputusan (Tim Penyusun Sejarah Bali, 1986; Dharmayuda, 1995: 29).
Setelah mantapnya pengaruh Hindu di bali, istilah Wanua diganti dengan istilah Thani yaitu sebidang wilayah (wilayah desa), Tuha-tuha diganti dengan istilah Rama. Sedangkan untuk Sarwwa digunakan istilah Karaman. Kata Karaman diterjemahkan menjadi desa (dorp), orang-orang desa (dorpslieden), pemuka-pemuka atau tetua desa (volkswaardige dorpelingen). Demikian juga sebutan Anak Thani, Sang Mathani, Thanayan Thani yang diperuntukkan untuk menyebut penduduk satu wilayah Thani (Semadi Astra, 1980; Dharmayuda, 1995: 29).
Sebutan untuk Wanua adalah lembaga demokratif, otonom, paternalistik, tertutup, dan satu kesatuan yang benar-benar diatur sendiri (Korn, 1984). Dari keadaan yang demikian, V.E. Korn kemudian menyebutkan dengan nama Republik Desa (Dorpsrepubliek) berdasar aspek kebersamaan (sifat demokratisnya). Hal ini diambil dari penelitiannya yang berjudul Dorpsrepubliek Tenganan Pagringsingan (1933). Meskipun demikian, pengaruh raja bukan tidak tampak di dalamnya.
Suatu masa, ketiga awig-awig (peraturan) Desa Tenganan Pegringsingan dikatakan lenyap karena tempat menyimpannya (Bale Agung) terbakar (1841 M), maka pemuka desa memohon kepada Raja Karangasem dan Klungkung agar awig-awig itu dapat diganti. Atas izin dan petunjuk raja, dikirim dua utusan (juru sarat) untuk menuliskan kembali awig-awig. Setelah itulah penulisan awig-awig itu dilakukan dan selesai pada tahun 1842 (Parimartha, 2013: 29).
Cengkraman kekuasaan kerajaan terhadap desa-desa di Bali semakin terasa dengan kehadiran Perbakal (Perbekel) pada masa-masa awal dari pemerintahan Raja Gelgel. Pada masa ini desa sudah memulai hubungan yang terbuka dengan pihak luar, dalam hal ini adalah raja. Perbekel bertugas untuk mengawasi keadaan di desa.
Dalam studinya, Liefrinck (1927; Parimartha, 2013: 28) menyebutkan juga bahwa perbekel atau punggawa adalah merupakan wakil raja di daerah. Hal ini memberi petunjuk bahwa desa-desa di Bali meskipun tetap berada di bawah pemimpinnya (tetua atau bendesa-nya) sendiri, telah mendapat pengaruh dan sudah pasti berubah akibat adanya hubungan dengan kekuasaan di atasnya, dalam ini adalah raja.
Cermin problematika dalam “memberdayakan” Desa Adat, sekaligus hasrat kepengaturan yang dirancang oleh kekuasaan di dalamnya, lekat dalam perjalanan peradaban Bali. Namun, kita mesti awas, bekerjanya rezim kepengaturan ini tanpa disadari oleh masyarakat Bali sendiri. Situasi betul-betul “dikondisikan” agar masyarakat dibuat “seolah-olah” teratur dan tunduk dengan peraturan yang dibuat.
Pada momen inilah kekuasaan beroperasi dengan tidak kasat mata. Jejaring dan pengkondisian itu merasuk dalam cara berpikir dan berprilaku masyarakat. Dinamika dan perlawanan berada dalam sebuah panggung yang dikontrol oleh sang kuasa. Sementara rakyat hanya bisa menjadi pion-pion dalam panggung (sandiwara) tersebut. [b]