Semasa hidupnya, Made tak hanya bermusik tetapi juga berjuang bersama Navicula.
Kabar duka datang dari Bali. Setelah dalam kondisi kritis selama tiga hari, pemain bas (basis) band Navicula Made Indria Dwi Putra (32 tahun), meninggal dunia pada Senin (26/3) pukul 18.25 WITA di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, Bali.
Sejumlah aktivis lingkungan mengenang Made, panggilan akrabnya, sebagai musisi yang tak hanya berkarya untuk salah satu band ternama di Indonesia tersebut tetapi juga aktif mendukung advokasi dan kampanye isu lingkungan. Tidak hanya di Bali tetapi juga di isu-isu lingkungan global.
Kabar meninggalnya Made datang dari Ni Made Intan Paramitha, tim manajemen Navicula. Intan menuliskan kabar singkat di cerita Instagram (Instastory), “Made Indra Navicula meninggalkan kita pukul 18.25. Intan. Management”.
Tiga hari sebelumnya, Made mengalami kecelakaan tunggal di Jalan Raya Sakah, Sukawati, Gianyar pada Sabtu (24/3). Mobil yang dia kendarai bersama pacarnya, Afiriana Dewi, menabrak pohon sekitar pukul 1.45 WITA pagi dini hari. Afi meninggal pagi itu juga sementara Made kemudian dirawat intensif di RSUP Sanglah setelah sebelumnya sempat dibawa ke rumah sakit Rumah Canti di Gianyar.
Rudolf Dethu, mantan manajer Navicula, yang ikut menemani proses perawatan Made sejak di Gianyar maupun di Denpasar mengaku bahwa dari awal dokter sudah menyampaikan kondisi kritis Made. “Jika menyaksikan pemandangan di depan mata bagaimana petugas jaga di (Rumah Sakit) Ari Canti bersusah payah sekadar menjaga agar Made tetap bernapas, jika boleh jujur, harapannya memang amat kecil,” kata Dethu.
Senin kemarin, dokter spesialis di RSUP Sanglah mengatakan akan mengambil tindakan operasi, berdasarkan diskusi dengan keluarga Made. Pihak keluarga ataupun manajemen Navicula sudah menyetujui. Namun, saat operasi belum belum terlaksana, Made sudah meninggal.
Pihak RSUP Sanglah menyatakan Made mengalami multiple fracture, banyak patah tulang pada anggota tubuhnya, mulai dari bagian tulang iga, tulang rahang bawah, dan tulang pundak. “Paling parah, Made mengalami cedera kepala berat,” kata Kepala Bagian Hukum dan Hubungan Masyarakat RSUP Sanglah dokter Arya WS Duarsa sebagaimana ditulis Tribun Bali (27/3).
Turut berduka cita atas kepergian Indra Made (kanan), personil band Navicula. Made bersama Navicula banyak terlibat dalam kampanye penyelamatan lingkungan, mulai dari Tiger Tour di hutan Kalimantan, kedatangan Rainbow Warrior di 2013 dan juga Rainbow Warrior di tahun ini. pic.twitter.com/IKYi6RZfoB
— Greenpeace Indonesia (@GreenpeaceID) March 26, 2018
Begitu kabar meninggalnya Made tersebar, ungkapan duka cita langsung mewarnai media sosial. Melalui akun Twitternya, organisasi advokasi lingkungan Greenpeace Indonesia menyampaikan duka citanya.
“Turut berduka cita atas kepergian Indra Made (kanan), personil band Navicula. Made bersama Navicula banyak terlibat dalam kampanye penyelamatan lingkungan, mulai dari Tiger Tour di hutan Kalimantan, kedatangan Rainbow Warrior di 2013 dan juga Rainbow Warrior di tahun ini,” tulis Greenpeace di akun Twitternya.
Beberapa aktivis lingkungan di Bali, seperti Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) I Wayan Suardana, juga mengungkapkan duka cita. Gendo, panggilan akrab Suardana, bahkan ikut menunggu bersama musisi dan aktivis lain, selama Made dirawat di RSUP Sanglah.
Melalui akun Twitternya, organisasi lain seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menyampaikan duka cita atas meninggalnya Made. Begitu pula dengan aktivis dan organisasi lingkungan lain di Bali.
Pendukung Gerakan Lingkungan
Selama hidupnya, Made memang aktif dalam advokasi gerakan lingkungan bersama Navicula. Made sebagai pembetot bas band beraliran grunge ini sejak 2002. Sejak itu, posisinya tak tergantikan. Begitu pula dalam aksi-aksi Navicula yang memang dikenal dengan lagu-lagu kritisnya dalam isu sosial ataupun lingkungan.
Bersama Navicula, Made pernah melakukan perjalanan di pedalaman Kalimantan dalam Tiger Tour pada September 2012. Perjalanan untuk melihat kerusakan hutan di jantung Indonesia itu dilakukan bersama dua organisasi lingkungan terkemuka, Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Selama 12 hari, mereka melakukan perjalanan sepanjang 2.500 km, bertemu warga adat dan aktivis lokal untuk mendukung gerakan menolak perkebunan sawit yang tidak ramah lingkungan. Mereka beraksi sambil mengenakan baju layaknya harimau.
“Kami berhenti di tempat-tempat kerusakan akibat industri sawit untuk melakukan aksi dan mendukung teman-teman aktivis setempat,” kata Longgena Ginting, Country Director Greenpeace Indonesia saat itu.
Menurut Longgena, perjalanan Tiger Tour merupakan lanjutan dari kampanye mereka sebelumnya di Sumatera untuk mengampanyekan perlindungan satwa orangutan yang kian langka. Dari dua tur bersama Greenpeace itu, Navicula membuat dua lagi tentang satwa langka Indonesia, Orangutan (2012) dan Harimau! Harimau! (2014).
Lagu Navicula lain untuk mendukung Greenpeace adalah Busur Hujan (2013). Lagu ini merupakan terjemahan dari nama kapal legendaris milik Greenpeace, Rainbow Warrior. Video klip lagu ini dibuat pada 2013 ketika kapal itu berlabuh di Bali untuk mengampanyekan pencegahan kerusakan lingkungan.
“Navicula itu satu jiwa yang tidak terpisahkan. Made bersama personel lain, seperti Robi dan Dadang, menunjukkan kepedulian yang sangat besar dalam perjuangan membela lingkungan. Tidak banyak band di Indonesia yang peduli seperti mereka,” ujar Longgena menyebut nama personel lain Navicula, vokalis Gede Robi Supriyanto dan gitaris Dadang SH Pranoto.
Konsisten Berjuang
Dalam gerakan lingkungan di Bali, Made bersama Navicula juga terlibat sejak dulu. Di ForBALI, contohnya, Navicula termasuk salah satu band pelopor gerakan menolak rencana reklamasi Teluk Benoa tersebut bersama Nosstress dan Geeksmile. Mereka biasa tampil dalam aksi-aksi tolak reklamasi yang digelar ForBALI dan Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi.
Penampilan terakhir Made bersama Navicula dalam aksi ForBALI terjadi 17 Februari lalu. Saat itu, Navicula tampil menutup aksi ForBALI di depan kantor Gubernur Bali. “Made memang lebih pendiam dibandingkan personel Navicula yang lain tetapi dia konsisten,” kata Gendo.
Salah satu yang berkesan bagi Gendo adalah ForBALI melakukan aksi di depan Istana Presiden di Jakarta. Saat itu Made juga ikut bersama aktivis ForBALI lain terlibat aktif dari persiapan sampai aksi. “Bukan hanya di Bali Tolak Reklamasi, dia juga terlibat di advokasi-advokasi lain sejak tahun 2000-an,” Gendo menambahkan.
Kesaksian lain datang dari Direktur WALHI Bali I Made Juli Untung Pratama. Selain aktif terlibat dalam gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa, di mana WALHI Bali juga menjadi bagian, menurut Untung, Made juga berkontribusi dalam acara WALHI Bali yang lain.
“Dia banyak membantu WALHI Bali selama ini,” kata Topan, panggilan akrabnya.
Menurut Topan, sebagai pembetot bas Navicula, Made telah berjasa dalam membantu advokasi lingkungan melalui caranya sendiri. “Musik sangat penting dalam advokasi lingkungan karena membuat isu ini lebih mudah diterima masyarakat umum. Selama hidupnya, Made telah memperjuangkan isu pentingnya manusia melestarikan Bumi,” ujar Topan. [b]
Tulisan ini terbit pertama kali di Mongabay Indonesia.