Oleh Swastinah Atmodjo
Memperbincangkan classic rock (CR), akan muncul kesan sekelompok lelaki gondrong, penuh tato dan wajahnya serem. Pun ketika membayangkan sebuah komunitas penggemar CR di Bali yang dinamai Bali Classic Rock Community (BCRC).
Tapi ternyata tidak, Putu Indrawan—koordinator BCRC, contohnya. Ia adalah sosok yang bersahaja dengan gaya busana seenaknya. Rambutnya juga dibabat habis sehingga lenyaplah kesan angker yang dulu melekat padanya. Lelaki yang kini membuka warung makan ini merupakan salah satu personel Harley Angels, satu grup musik rock asal Bali yang menjuarai Indonesian Rock Festival perdana besutan Log Zhelebour di Surabaya tahun 1984.
Pada kompetisi akbar tersebut, Harley Angels dengan komposisi Indrawan (Bas), Bambang (vocal), Manto (gitar), Dodot (keybord), dan Nyoman Kabe (drum) baru pertama berpartisipasi dan langsung menjadi jawara. Bahkan, Bambang terpilih sebagai penyanyi terbaik, pun dengan Indrawan dinobatkan menjadi pembetot bas paling bagus. Para rocker itu tahu persis perkembangan musik rock di Bali, yang seiring merebaknya era generasi bunga (flower generation) di Eropa tahun 1970-an dengan slogannya: Make Love, Not War. Salah satu tempat mangkalnya adalah bar Kayu Api, Legian, Kuta.
Tahun tersebut, kata Indrawan, Bali belum begitu terkenal sebagai daerah kunjungan wisata. Namun generasi bunga sudah menjadikannya salah satu tempat favorit. Era itu merupakan zaman keemasan musik rock dunia di mana band-band peletak dasar musik rock mencapai puncak kejayaan semisal The Who, Jimi Hendrix, Led Zeppelin, Black Sabbath, Deep Purple dan lainnya. Di tanah air, bertengger nama Koes Plus dan God Bless. Kuta ketika itu masih sangat sepi, belum banyak berdiri kafe hingga akhirnya muncul bar Kayu Api tahun 1978 yang kemudian menggelar acara jam session untuk band.
Bermula dari jam session itulah Kayu Api dikenal sebagai tempat nongkrong musisi rock. Dikatakan Sukamanto, nama lengkapnya Manto sang gitaris Harley Angels, para musisi besar sempat singgah di antaranya Mick Jagger, Steward Copeland, Ment At Work, Australian Crowl, Gombloh dan banyak lainnya. Seperti virus yang menular, anak-anak muda kemudian ingin nge-rock juga termasuk Manto, Indrawan dan teman-temannya.
Indrawan dan kawan-kawan pun akhirnya menjadi band tetap di bar tersebut dengan nama Primitive Rythm dan beganti nama Harley Angels tahun 1984. Pergantian nama itu atas inisiatif IB Arya, pengusaha travel yang mensponsori band tersebut mengikuti kompetisinya Log Zhelebour.
Namun tak hanya musik yang digandrungi oleh warga maupun pengunjung Kuta pada masa itu, melainkan muncul pula dampak negatif seperti konsumsi ganja. Era 1970-an memang dunia musik identik dengan drugs. Menurut Manto, tidak sedikit musisi yang akhirnya meninggal semisal Brian Jones (The Rolling Stones) dan Tommy Bolin (Deep Purple). Ketika itu, ganja yang beredar luas di Kuta dikenal denbgan Budastick, berasal dari Thailand.
”Nggak tahu apa artinya. Barangnya aneh, seperti tusuk sate, dililit ganja dan dikasih benang,” kenang Manto yang mengaku ia dan dan kawan-kawannya tidak sampai kebablasan terpengaruh.
Sayangnya, lanjut Indrawan, Harley Angels gagal rekaman karena semua personilnya sibuk dengan urusan masing-masing. ”Sebenarnya kunci band adalah kekompakan. Karena masing-masing sibuk, intensitas pertemuan nggak ada,” kenang Indrawan setengah menyesal.
Indrawan sendiri, banting stir membuka warung makan Tresni di Jalan Drupadi Denpasar, yang menjadi tongkrongan anggota BCRC
Kekesalan Indrawan dan rekan-rekannya sedikit terobati dengan munculnya band-band indie di Bali yang kemudian go nasional semisal Superman Is Dead. ”Senang sekali saya melihat anak muda rekaman. Apapun hasilnya, ini adalah proses yang bagus kalau tetap bertahan,” katanya.
Nah, soal ide pembentukan BCRC di tahun 2004 menurut Indrawan adalah untuk memberikan ruang bagi penggemar, pelaku, peminat dan penikmat musik rock-blues, era tahun 1960, 1970, 1980-an. Kata Indrawan lagi, semacam era BB King, Jimi Hendrix, Led Zeppelin, Black Sabbath, Deep Purple, Yes, Pink Floyd, serta King Crimson yang punya penggemar cukup besar di Bali khususnya Denpasar.
Pembentukannya sendiri diilhami oleh komunitas serupa di Jakarta. Namun terbentuk BCRC, para penggemar classic rock (CR) di Bali sudah sering berkumpul, berkomunikasi dan tukar pengalaman termasuk dengan teman-teman sepaham diluar Bali. Pada awal pembentukan, lanjut Indarawan, sempat terjadi perdebatan menyoal klasifikasi musik CR, segmen CR, paham aliran dan sebagainya yang justru semakin memperteguh niat membangun sebuah komunitas. ”Karena dengan perbedaa pendapat itulahh membuah komunitas semakin hidup. Kita ini demokratis,” tegasnya.
Komunitas ini lebih ditujukan sebagai wadah tukar informasi, berekspresi, apresiasi hingga curhat. Biarpun terkesan untuk angkatan tua, namun BCRC juga membuka diri bagi kaum muda khususnya yang tertarik terhadap classic rock sebagai basic.
Keanggotaan BCRC menurut Indrawan tidak terdaftar secara formal. Berdasar data yang sempat ia buat, setidaknya ada 200 orang penggila classic rock bergabung. Mereka dari berbagai profesi mulai dari pengusaha, pengacara, politisi, penjual alat musik, bikers dan sebagainya.
”Termasuk saya yang penjual nasi,” tambah Indrawan sembari terkekeh.
Selain kumpul atau nongkrong bareng, BCRC juga mengadakan konser. Tentunya dengan menampilan lagu-lagu remaining classic rock&blues. Musisi besar semacam Ian Antono pun sempat datang khusus dan ikut bermain bersama BCRC. Dalam setiap konser, semua tiket selalu ludes terjual. “Ternyata masih sangat banyak penggemarnya, bukan saja orang tua tapi banyak juga anak muda. Musik rock terbukti bisa mencairkan ketegangan dan menjadi media komunikasi yang bagus,” kata Indrawan yang mengaku sedang mempersiapkan sebuah konser, setelah lebih dari setahun vakum.
Guna memperdalam keakbaran dengan dunia classic rock, BCRC menerbitkan buletin secara berkala. “Terbitnya setiap akan ada konser, karena masih tergantung pada pendanaan,” lanjut Indrawan yang berencana mengadakan kegiatan-kegiatan sosial. Bulletin tersebut mengulas banyak band maupun personil classic rock dunia. [b]
ck…ck.. jeng wastinah kemaring ngedate ma indrawan ya. Sekalian jeng, ntar dirintis usaha event organizer atau model dagangannya gugun gondrong itu lho. Dikau kan mahir di bidang ini.
Serius ni. Jeng wastinah kan rajin bergaul dan menyapa. trus freelancer juga. jadi klop banget. lebih komplit dari pada personilnya travel works to??
ayo, ntar kalo ada job dibag-bagi… hehe
eh, BCRC ngajak join ma kita2 bikin konser, menyuarakan pelestarian lingkungan. yach gak jauh2 dg isu UNFCCC mendatang. kalau bisa, ntar selain dengan para jurnalis,juga menggandeng LSM lingkungan, musisi dan lainnya.
Bli Indrawan semangat banget…termasuk para penasehat BCRC Mas Pipit dan Mas Dwi…pa kabar bapak2…
peace
wasti
wah bagus tuh di bali ada bcrc. apalagi ada tokoh-tokoh senior spt mas manto dan ketut riwin. waktu kecil di magelang saya tahu mas manto. waktu itu sebagai gitaris band Tanpas (Wetan Pasar) kalau nggak salah. setelah saya kuliah di semarang tahun 1980an tiba-tiba nama mas manto sudah muncul di bali (kayu api) dengan harley angels dan menjuarai jarum rock festival di sby. saya juga pemain gitas amatir (bass) dan sekarang di london main band sama teman-teman indonesia dan gitaristnya mas wahyu juga dari bali. mas wahyu juga tahu mas manto walaupun beda generasi
Apakah bcrc msh eksis?
Bung Lion Heart, nama Tanpas (wetan pasar) itu pasar mana, krn saya jg prnh tinggal di Magelang, makasih