Bicara tentang Bali, biasanya kita akan terpicu untuk berpikir tentang alam, turis, atau apapun yang berkaitan dengan pariwisata. Apa yang Belanda bangun di masa lalu berhasil membuat kita membentuk imaji bahwa kehidupan di Bali hanya ada di selatan.
Tidak bisa dipungkiri hal ini juga yang menjadi magnet banyak orang. Calon wisatawan untuk berlibur dan bakar fulus, penduduk lokal untuk belajar cara melayani turis yang baik dan benar, atau bagi siapapun untuk membantu roda ekonomi tetap berputar.
Begitu banyak manusia yang datang dan mengisi ruang-ruang di Bali selatan. Dilansir dari katadata.co.id pada Juni 2022, data dari Dukcapil Provinsi Bali menyatakan bahwa jumlah penduduk di kota Denpasar berada pada angka 653,17 ribu jiwa atau 15,23% dari total populasi provinsi bali yang berjumlah 4,29 juta jiwa. Sedang kabupaten Badung memiliki populasi sebanyak 517,97 ribu jiwa atau 12,08% dari total populasi.
Dari segi pariwisata, provinsi Bali secara umum dikunjungi wisatawan mancanegara sebanyak 2,1 juta jiwa dan wisatawan domestik sebanyak 8 juta jiwa per tahun 2022. Sejauh ini belum ditemukan data mengenai persebaran wisatawan di Denpasar dan Badung saja, tapi saya kira kita semua bisa menaksir sepadat apa Bali, khususnya di selatan hari ini.
Dari sekian banyak manusia yang berlalu lalang, ikut tumbuh pula ruang pendidikan, anak muda, tongkrongan, kesenian dan kegemaran di sekelilingnya. Kita bisa sebut banyak nama terkait itu di Bali selatan hari ini.
Tapi bagaimana dengan sudut lain di Bali? Bagaimana dinamika anak muda di sana?
HULUTARA
Salah satu inisiatif yang perlu kita perhatikan adalah Hulutara. Awan, narahubung Hulutara yang juga bertanggungjawab atas program dan desain grafis Hulutara mengungkapkan bahwa inisiatif Hulutara berawal dari kegemaran untuk mengenali orang, ruang, dan hal baru di tanah kelahiran mereka, Buleleng. Tempat yang mereka kunjungi antara lain Desa Pedawa dan Tigawasa, serta berjejaring dengan kawan-kawan di Komunitas Mahima, sebuah komunitas sastra di Buleleng. Mereka lebih suka menyebut Hulutara sebagai kelompok bermain, dan siapa saja dipersilahkan untuk ikut terlibat, mengerjakan apapun yang digemari di sana.
Mungkin banyak dari kita yang kadang menganggap apapun yang tampak di depan mata sebagai sesuatu yang terberi, given, yang kemudian sayangnya kita sia-siakan. Hal ini pun diamini oleh Awan dalam membaca perilaku orang-orang, khususnya anak mudanya di Buleleng, “Kadang, sebagai warga yang lahir besar di Buleleng kita mungkin bersikap cuek terhadap apa yang ada di sekeliling kita. Hulutara digagas untuk menumbuhkan kembali kemampuan mengamati ulang, membaca ulang, menelusuri dengan cara kita,” ujar Awan.
Pria yang gemar menelusuri catatan-catatan tentang Buleleng dari Gede Kresna (pendiri Rumah Intaran) ini merasa bahwa kesadaran anak muda akan kotanya sudah mulai tumbuh namun ada beberapa hal yang perlu dikembangkan lagi dari kesadaran yang sudah ada. “Mungkin ada sisi lain selain sebuah kesadaran yang perlu ditumbuhkan semisal meramu daya tawar Buleleng dibandingkan kabupaten lain di Bali sebagai identitasnya.”
Ia memberi contoh gerakan Kopdar Bike, sebuah gerakan bersepeda untuk mengenal Buleleng. “Tepat pada saat Lovina Festival, Kopdar Bike malah berkunjung ke makam A.A Panji Tisna. Konon beliaulah yang katanya menamai pantai itu dengan nama Lovina.” Bagi Awan dan Hulutara, itu adalah cara yang baik untuk merayakan kota. Merayakan nilai dan gagasan.
Mengutip Sugi Lanus, Awan berpendapat bahwa seharusnya Bali utara bisa menjadi penyeimbang Bali selatan. Jika Bali selatan adalah ingar bingar, maka Bali utara menjadi penetralisir. “Makanya kalaupun masih ada konsep wisata di Bali Utara, seharusnya konsepnya adalah wisata kesunyian.”
IRAMA UTARA
Dari sisi musik, kita bisa mengenal Irama Utara, sebuah gerakan yang sebenarnya masih bergerak bersama Hulutara. Irama Utara merupakan kolektif yang lahir dari komunitas Hulutara dalam acara Senandung Padu Irama yang saat itu diadakan di Museum Sunda Ketjil yang berlokasi di bekas Pelabuhan Buleleng. Yoga Pratama, inisiator Irama Utara, mengungkapkan bahwa idenya berasal dari banyak nya potensi di Bali utara yang belum tergali. Irama Utara sudah berhasil merambah panggung-panggung di Bali selatan, Headstream di Potato Head jadi salah satunya.
Yoga bersama adiknya, Yuda, memang menggemari musik-musik era 70-90an dan mendengarkan rilisan fisik berupa piringan hitam yang diwarisi orangtuanya. Ketika pandemi menghajar seluruh penjuru negeri, Singaraja pun tak luput dari target. Terpaksa berdiam diri di rumah, ia dan adiknya mendengarkan rilisan fisik lebih intens.
Dari situ, kawan-kawannya mulai penasaran dengan aktivitas mereka dan bola saju itu mulai bergulir lebih besar, sampai akhirnya tercetus inisiatif untuk mengenal arsip-arsip rilisan fisik secara lebih luas, keluar dari rumahnya, “Dari rumah, kami berkunjung ke stasiun Radio Republik Indonesia yang berada di Singaraja ingin melihat arsip-arsip rilisan fisik yang masih mereka simpan. tawaran pun muncul untuk mengaktifkan kembali kebiasaan mendengarkan musik dari piringan hitam, yang bertepatan pada hari pahlawan acara Senandung Padu Irama,” jelas Yoga.
Menurut pengamatannya, anak muda di Buleleng masih cenderung homogen dalam hal gaya hidup, namun hal ini justru menjadi bahan yang menarik untuk diolah lebih jau. “Kalau anak mudanya yang saya lihat Bali utara masih homogen kalau Bali selatan lebih heterogen. maksudnya disini dari segi segi life style dan trend yang sedang happening. mungkin karena lingkupnya yang terlalu kecil. Sebenarnya sangat potensial untuk dieksplorasi kecenderungan ini.”
Sebagai bagian dari komunitas kreatif di Buleleng, ia juga berharap adanya pemberdayaan untuk kreatifitas. Yoga berharap selain dari tataran individu, pemerintah juga ikut ambil bagian untuk memberi ruang bagi anak-anak muda untuk berkreasi. “Seperti kata Handoko Hendroyono ‘semakin berdaya dan kreatif suatu kota, ya semakin bahagia,’ nah dari sana saya berpikiran kalau kreativitas anak-anak muda di Singaraja memiliki wadah dan difasilitasi oleh pemerintah dan memiliki program yang jelas tentu dapat meningkatkan indeks kebahagiaan suatu kota.”
BELULUK
Beluluk adalah cerita bergambar hasil kreasi dari Putu Dian, komikus asal Buleleng yang diinisiasi pada tahun 2017. Terinspirasi dari celuluk, tokoh mitologi Bali yang mempunyai karakter seram tapi punya sifat jenaka. Terciptanya Beluluk berawal dari kesenangan Putu Dian dengan ilustrasi dan impian untuk menciptakan suasana baru lewat penggunaan bahasa Bali di dalam sebuah komik. Niat ini dimunculkan agar anak-anak muda Bali tidak melupakan bahasa ibu mereka. Di dalam komiknya, Putu Dian seringkali mengangkat isu sosial yang sedang hangat, baik di tataran lokal Bali maupun nasional.
Menurutnya, tidak banyak perbedaan dalam konteks perkembangan anak muda di utara dan selatan, alasan utama tentu karena akses yang sudah tertolong perkembangan teknologi informasi. Juga anak mudanya yang sudah mulai sering berpameran ke Denpasar dan semakin berkembang serta berani menunjukkan karyanya. Ini menandakan pertukaran antara utara dan selatan dalam hal budaya sudah dan sedang berlangsung.
Pertukaran dan pertumbuhan ruang kreatif di Buleleng menjadikan Putu Dian memiliki harapan kepada anak-anak muda untuk terus berkreasi dan menghasilkan sesuatu yang positif bagi Buleleng. Selain dua inisiatif di atas, ruang-ruang baru seperti coffeeshop, ruang untuk nge-gigs, menonton film, dan bersastra juga sedang tumbuh-tumbuhnya di bagian utara pulau kita tercinta ini.
Keren sih ini Rio!
Suwun Om ????