Akhir-akhir ini muncul polemik aliran Hare Khrisna di Bali.
Masyarakat merasa diresahkan sebab terjadi perbedaan paham antara praktik keagamaan Hindu Bali dengan Hare Khrisna (HK) yang menjadi buah bibir di media sosial. Ekstremnya, aliran HK ini hanya memuja Tuhan dengan cara mengingat selalu nama-nama Tuhan yang diyakininya, dengan cara Japa (mengulang nama suci Tuhan) dan Kirtanam (menyanyikan lagu-lagu suci pujian Tuhan) sehingga mengesampingkan Upakara yaitu Banten (sarana upacara keagamaan di Bali).
Seorang pemeluk aliran HK tentu akan memuja Tuhan dengan cara menggunakan jnana marga yaitu dengan melalui pikiran mereka menuju kepada Tuhannya. Dalam catur marga ada empat jalan menuju Tuhan yaitu Karma Marga, Bakti Marga, Jnana Marga dan Raja Yoga Marga.
Masyarakat Hindu Bali mengamalkan praktik keagamaan dengan menjalankan keempat marga itu. Menjalankan keempat marga secara seimbang sangatlah penting. Ibarat satu ekor burung, agar bisa terbang menggunakan dua sayap dan satu ekor sebagai baling-baling. Jnana adalah satu sayap, Bakti adalah sayap yang lain dan Yoga adalah ekor untuk menjaga keseimbangan.
Keseimbangan inilah yang dijalankan masyarakat Bali. Sebagai contoh kecil, ketika masyarakat menyambut rahinan purnama (hari suci bulan purnama), tilem, kajeng kliwon. Sehari sebelum rahinan mereka telah ingat bahwa besok adalah rahinan suci dipersiapkan dengan metanding (membuat) banten Ajuman. Dengan cara itu mereka ingat dan sadar bahwa besoknya adalah hari rahinan Tuhan sehingga Jnana Marga pada saat itu sudah berjalan.
Selanjutnya mereka akan mempersiapkan tetandingan (sarana upacara atau banten) dengan cara mencari bahan-bahan, metetuwasan (membuat sarana upacara terbuat dari daun kelapa) dan jika telah selesai membuat perlengkapan banten selanjutnya ditanding (disusun) sesuai dengan filsafat banten (tatwa).
Dengan adanya proses metanding berarti Karma Marga serta Jnana Marga telah dijalankan. Karma Marga berjalan ketika proses mempersiapkan perlengkapan tetandingan sampai dapat ditanding sedangkan Jnana Marga ketika mengingat tatwa tetandingan banten yang dibuat. Pada hari H, banten itu dihaturkan di masing-masing pelinggih (tempat pemujaan) dengan percikan tirta (air suci) dan dihaturkan dengan doa. Dengan memusatkan pikiran pada masing-masing manifestasi Tuhan untuk menghaturkan banten tersebut sesuai dengan pelinggih misalnya di Kemulan (pelinggih inti), Taksu (pelinggih yang bertempat di sanggah pemerajan/keluarga) dan Padma (pelinggih tersuci).
Ini berarti Raja Yoga Marga telah diimplementasikan pada proses penghaturan banten ajuman itu. Terkahir setelah semua pelinggih dihaturkan maka kita melakukan persembahyangan dengan cara Panca Sembah (ritual/doa umat Hindu) sebagai bentuk sujud bakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi. Semua tahapan di atas didasari atas rasa bakti mendalam ke hadapan-Nya. Rasa bakti ini membuat jalan Bakti Marga masuk dalam setiap proses persiapan dan pelaksanaan upacara agama Hindu Di Bali.
Penyempurnaan
Sebenarnya pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali telah mengalami proses penyempurnaan dalan kurun waktu lama. Bila kita kilas balik dengan cerita babad berdasarkan prasasti-prasasti kerajaan zaman dahulu. Pada sekitar abad ke-8 pulau Bali kedatangan seorang yogi agung bernama Maha Rsi Markandeya. Beliau merupakan seorang brahmana (golongan paderi atau sami) dari India datang ke nusantara. Sesampainya di nusantara, tepatnya di wilayah Gunung Dieng ternyata di sana telah ada pertapaan dimiliki oleh murid dari Sang Maha Rsi Agastya. Maka dari itu beliau melanjutkan perjalanan ke Gunung Raung, Jawa Timur.
Di sana beliau membuat pesraman dan pondok-pondok. Setelah beberapa lama tinggal di sana dari kekuatan yoganya beliau diberikan petunjuk oleh Sang Hyang Widhi untuk melanjutkan perjalanan ke arah timur untuk datang ke Gunung Tohlangkir. Rsi Markandeya beserta 800 pengikutnya menuju ke timur untuk berdharmayatra (perjalanan ke tempat-tempat suci) dengan membangun asrama pertapaan di tempat yang mengandung kekuatan gaib nan suci serta akan mengalihfungsikan hutan sebagai sawah ladang bagi kesejahteraan hidup pengiringnya.
Tidak diceritakan bagaimana perjalanan beliau sampai akhirnya tiba di Gunung Tohlangkir. Rsi Markandeya berserta muridnya membabat hutan pegunungan. Namun, pekerjaan beliau mendapatkan rintangan berat. Banyak murid beliau meninggal karena penyakit mematikan. Akhirnya beliau beserta muridnya tidak berhasil untuk hidup di Bali dan memutuskan kembali ke Gunung Raung ke tempat pesraman dahulu.
Kembalinya Rsi Markandeya melakukan yoga semadi (meditasi dengan tingkat tertinggi) di Gunung Raung, akhirnya diberikan anugrah oleh Sang Hyang Pasupati agar ia menanam Panca Datu (lima unsur logam mulia) di kaki Gunung Tohlangkir disertai dengan upakara banten (bebali). Kemudian beliau berjalan menuju Gunung Tohlangkir berserta murid-murinya sebanyak 400 orang wang aga (orang pegunungan) yang telah memiliki kepercayaan masing-masing (sekte).
Sesampainya di Gunung Tohlangkir beliau segera melakukan amanat yang diberikan Tuhan kepadanya. Akhirnya tempat penanaman Panca Datu itu dinamakan Bhasuki yang berarti selamat. Pada akhirnya ajeglah bumi Bali ini dengan Upakara Banten. Karena bantenlah tonggak keselamatan Bali.
Bali berarti Wali, Wali berarti Upakara Banten. Masyarakat Hindu Bali pada setiap tahapan proses kehidupannya diselesaikan dengan Banten itu sendiri. Itulah makna filosofi dari Banten itu.
Dari babad Rsi Markandeya dapat diambil hikmahnya bahwa bagi seorang Maha Yogi Agung Rsi Markandeya, untuk menyeimbangkan bumi Bali dengan jalan Jnana Yoga Marga saja tidak berhasil. Mungkin untuk menghidupi diri beliau sendiri, seorang maha yogi kita percaya pasti mampu bertahan dengan kekuatan tapa semadinya. Namun, untuk memberikan kehidupan kepada murid-muridnya untuk tinggal di Pulau Bali sangatlah sulit. Maka dari itu beliau perlu melakukan yoga semadi lagi untuk memohon cara agar dapat hidup dan tinggal di Pulau Bali dan jawabannya adalah Upakara Banten itu sendiri.
Persaingan
Berkaitan dengan aliran pada tahun Saka 910 (988 masehi) di Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni. Sebelum raja suami istri memerintah pulau Bali aliran sekte-sekte pemujaan ini berkembang dengan pesat.
Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha. Ada 9 (sembilan) sekta yang ada dan pada awalnya hidup berdampingan secara damai.
Namun, lama kelamaan masing-masing sekte mengalami penguatan dengan berkembangnya pemujaan secara bebas dan akhirnya terjadi pesaingan antarsekte. Selain berbeda paham ideologi pemujaan, mereka pula berbeda tata cara persembahyangan. Sehingga tidak jarang terjadi adu fisik antar sekte. Hal ini sangat mengganggu ketentraman pulau Bali.
Raja Udayana pun kesulitan menjalankan roda pemerintahannya karena rakyatnya terpecah belah akibat persaingan antar sekte. Akhirnya Raja Udayana mendatangkan Mpu dari Jawa yang mahir akan sistem keagamaan dan ketatanegaraan. Mpu tersebut bernama Mpu Kuturan, beliau merupakan saudara dari Panca Tirta. Mpu Kuturan datang ke Bali tahun Isaka 923/1001 Masehi10 diminta untuk memimpin soal adat/agama supaya situasi Bali yang sedang ribut-ributnya (masalah agama), menjadi aman dan damai.
Akhirnya Mpu Kuturan diberikan mandat untuk menyelesaikan konflik antarsekte di Bali. Beliau melakukan peninjauan desa-desa, mengajar tentang silakrama (peraturan berkaitan dengan penerapan pendidikan agama Hindu), tata susila (peraturan tingkah laku yang baik), pengetahuan filsafat ketuhanan, serta upacara agama dari tingkat paling rendah, sedang maupun mewah dan semua itu dituliskan dalam lontar Widhisastra dan Sangharayoga.
Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bata Anyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan menghasilkan konsep Tri Murti. Dari sembilan sekte disatukan menjadi tiga yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.
Pada tahun Isaka 1382/1460 Masehi13 ketika Dalem Waturrenggong bertahta di Bali kembali mengalami penyempurnaan oleh Dang Hyang Nirarta dengan konsep Padmasana. Sehingga akhirnya paham keagamaan telah mengalami penyempurnaan itu kita warisi sampai saat ini. Semua paham-paham tersebut telah diuji oleh sang waktu sehingga kita juga dapat menikmati Taksu Bali sampai hari ini.
Perjalanan suci Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, dan Dang Hyang Nirarta ini yang memberikan konsep-konsep keagamaan jelas dan sesuai dengan Hindu Bali. Sangatlah sulit untuk mengajegkan Pulau Bali. Mempersatukan aliran sekte-sekte di Bali amatlah sulit. Sangatlah sulit mencetuskan konsep ke-Hinduan Bali. Oleh karena itu, mari berpikir secara jernih untuk mencegah masuknya aliran-aliran ekstremis di mana tidak sesuai dengan tatwa (hakikat), susila (tingkah laku), upacara Agama Hindu Bali.
Adanya aliran berkembang secara ekstremis akan mempersulit pemimpin-pemimpin untuk menjalankan pemerintahannya. Dalam hal ini tidak hanya dalam ranah gubernur, bupati, camat, lurah/kepala desa dan jajaran kedinasan, melainkan pemimpin-pemimpin yang menjadi garda terdepan dalam urusan adat dan agama itu sendiri seperti Bendesa (pemimpin desa adat di Bali) dan Kelihan Adat (Orang yang dituakan di desa adat/banjar adat).
Bendesa dan kelihan adat inilah yang pertama mengurus dan mengatur masyarakat yang berada di wilayah desa adat yang dipimpinnya. Bagaimana jika terjadi perbedaan paham antara sistem keagamaan dianut desa adat dengan sistem pemujaan aliran-aliran banyak berkembang. Hal ini akhirnya akan berdampak pada melemahnya desa adat karena kegiatan upacara keagamaan tidak lagi berpusat pada sanggah merajan (tempat pemujaan keluarga) ataupun kahyangan tiga desa adat (tempat pemujaan desa adat).
Meninggalkan sanggah merajan karena perbedaan kepercayaan mengakibatkan juga hilangnya rasa kepercayaan akan Pura Kahyangan Tiga. Hilangnya sebuah kepercayaan ini akan berujung meninggalkan kewajiban untuk mengamong (bekerja dengan tulus ikhlas tanpa imbalan) Pura Kahyangan Tiga itu sendiri. Sedangkan Desa Adat yang sah dan lengkap yaitu diidentitaskan memiliki tiga pura reglementer: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem.
Akan tidak adil apabila ada warga yang telah meninggalkan kewajiban sebagai krama desa (anggota masyarakat desa) untuk mengamong Kahyangan Tiga, tetapi di sisi lain hak-haknya sebagai krama desa tetap diperoleh. Hal ini menimbulkan ketidakadilan antara krama desa dan berujung terjadinya konflik di masyarakat utamanya antar umat beragama Hindu.
Maka dari itu perlunya kepastian keputusan dari Parisadha Hindu Dharma dan Pemerintah terkait permasalahan ini. Ke depannya Pulau Bali perlu memiliki seseorang yang mampu menafsirkan Bhagavad-Gita sesuai dengan Tatwa, Susila, Upacara Hindu Bali. Sehingga terciptanya kepastian guna ketentraman dan kedamaian antar masyarakat beragama Hindu. [b]
Daftar Pustaka
- Adi Putra, 2003, Pengetahuan Dasar Agama Hindu, STAH Dharma Nusantara, Jakarta.
- Bawa, I Made, 2013, Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing Dalam Dinasti Raja-Raja Bali Kuno, Buku Arti, Denpasar.
- Goris. R, 1986, Sekte-Sekte di Bali, Terj. Kusuma Sutoyo, Ny.PS, Seri. 44, Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
- Miguel Covarrubias, 2014, Pulau Bali Temuan Yang Menakjubkan, Udayana University Press, Denpasar.
- Rai Putra, Ida Bagus , 1997, Sejarah Singkat dan Raja Purananya Pura Besakih, Percetakan Offset dan Toko Buku RIA, Denpasar.
- Soebandi, Ketut, 2004, Babad Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi, Manikgeni, Denpasar.
- Sudarsana, Ketut, 2011, Upakyana Purana Pura Bolo, Gagah, Gianyar.
- Sugriwa, I Gusti Bagus, 1956, Babad Pasek, Balimas, Denpasar.
- Sugriwa, I Gusti Bagus, 2014, Dwijedra Tatwa, Upada Sastra, Denpasar.
- Surasmi, I Gusti Ayu, 2007, Jejak Tantrayana di Bali, Bali Media, Denpasar.
- Swami Vivekananda, 2008, Yoga dari Kasih Sayang Tuhan Bhakti Yoga, Terj. IGA Dewi Paramita, Paramita, Surabaya.
- Wisersa, I Made, 2011, Selayang Pandang Kahyangan Jagat Pura Agung Gunung Raung dan Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat, Desa Adat Taro Kaja, Gianyar.
- I Wayan Watra, “Tri Murti Ideologi Sosio-Religius Mempersatukan Sekte-Sekte di Bali”, Dharmasmrti, Vol.9 Nomor 2, Oktober 2018, h.116.