Oleh Anton Muhajir
“Tidak terbayang kalau tidak ikut field trip,” kata Eka Darma Saputra, anggota Bali Blogger Community (BBC) ketika kami sedang di areal Pura Dalem Celuk Waru kemarin siang. Senang juga mendengar komentar Eka, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), itu. Sebab itu berarti ada gunanya juga bikin kegiatan Blogger Day Out, jalan-jalan ala blogger ini.
Blogger Day Out adalah kegiatan BBC dalam rangka Kuta Karnival. Sekitar 15 blogger lain ikut kegiatan pada Sabtu (18/10/08) tersebut. Ide jalan-jalan ala blogger ini berawal dari keinginan BBC untuk turut serta dalam kegiatan Kuta Karnival. Ya, sekali-kali mendukung pariwisata Bali lah.
Kuta Karnival sendiri merupakan kegiatan promosi pariwisata ala Kuta. Kegiatan tiap tahun ini digelar pertama kali pada 2003, setahun setelah Kuta mengalami tragedi bom. Saat itu, Made Supatra Karang, ketua Kuta Small Business Association (KSBA), memimpin untuk kebangkitan Kuta melalui sebuah even internasional yang disebut Kuta Karnival ini.
Berbeda dengan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang cenderung resmi, top down, dan high class, Kuta Karnival terlihat lebih cair. Berbagai komunitas bisa terlibat dalam kegiatan selama satu minggu ini. Keterlibatan komunitas itu paling terasa saat Parade Budaya di hari terakhir kegiatan. Ada komunitas sepeda tua, biker, sampai waria.
Nah, tahun ini BBC menjadi salah satu komunitas di dalamnya. Idenya lebih pada bagaimana blogger bisa ikut memberikan informasi tentang Kuta Karnival, dari sudut pandang blogger tentu saja. Maksudnya, blogger boleh menulis dengan sangat personal dan subjektif. Bisa seenaknya nulis dengan gaya apa saja asal tidak memfitnah.
Ada tiga kegiatan BBC di Kuta Kanival tahun ini: field trip, lomba blog, serta pameran dan workshop.
Blogger Day Out, nama keren untuk field trip diadakan Sabtu ini, yang juga hari pertama Kuta Karnival. Tema field tripnya sendiri perjalanan untuk mengenal sisi Kuta yang berbeda. Kami ingin tahu sisi lain di balik kondisi pariwisata Kuta. Persisnya kami ingin mengenal sejarah Kuta. Kira-kira bagaimana sih Kuta pada awalnya sebelum menjadi kiblat pariwisata Bali seperti saat ini.
Agung Pushandaka jadi blogger yang bertanggungjawab mengurus kegiata ini. Setelah baca-baca sejarah Kuta dan ngobrol dengan Made Supatra Karang dan Haji Bambang Priyanto, dua tokoh Kuta, kami mendapat lima calon lokasi field trip: Vihara Dharmayana, bekas pelabuhan Kuta, makam Mads Lange, restoran Poppies, dan monumen bom Bali.
Makam Mads Lange dihapus dari tujuan karena dianggap terlalu berbau kolonial. Monumen bom Bali dicoret karena kami anggap terlalu mengungkit luka lama. Maka, jadilah kami pilih tiga yang lain. Dalam perjalanan, restoran Poppies juga kami hapus karena masalah teknis. Manajer restoran di jalan Poppies Kuta itu sedang di Kuta sehingga tidak bisa dihubungi. Anak buahnya tidak berani memberikan jawaban.
Apa boleh, kami pun mencoretnya. Padahal, menurut Made Supatra Karang, Poppies Resto sangat menarik dikunjungi karena merupakan salah satu resto tertua di Kuta. Keberadaan Poppies Resto tidak bisa dipisahkan dari sejarah pariwisata di Kuta.
Lalu hari ini perjalanan pun hanya ke dua tujuan, vihara dan panti jerman.
Vihara dipilih karena dia turut mewarnai perkembangan Kuta. Saudagar-saudagar dari Cina saat itu, selain dari Bugis, Jawa, dan Eropa, turut membentuk Kuta sehingga dikenal sebagai salah satu lokasi berwisata.
Vihara Dharmayana berada di pojok jalan Blambangan dan jalan Padri Kuta. Kalau dari jalan raya Kuta ke arah jalan raya Tuban, vihara ini ada di kanan jalan. Vihara ini dibangun pada tahun 1876. Waktu pembangunan ini bisa dilihat di salah satu kaligrafi yang sampai saat ini masih ada di vihara.
Hindra Suarlim, Ketua Yayasan Dharma Semadhi yang bertanggungjawab pada vihara ini, mengatakan lahirnya vihara ini merupakan penghormatan warga Tionghoa pada Tan Hu Cin Jin, leluhur mereka. Pada zaman kerajaan Mengwi sedang berkuasa di Bali, leluhur mereka ini adalah arsitek pembangunan Taman Ayun. Meski demikian, warga Tionghoa di daerah ini justru nyungsung (mengabdi) ke Puri Pemecutan.
“Karena leluhur kami mendapat tempat di sini pun diberikan oleh Puri Pemecutan,” kata Harlim, yang bernama Tionghoa Lim Ing Hin.
Ketika baru datang ke Bali, warga Tionghoa bekerja sebagai saudagar. Mereka kemudian menetap di Kuta seperti halnya orang Bugis, Madura, dan Jawa di sebagian wilayah Kuta.
Tinggal di Kuta membuat warga Tionghoa itu beradaptasi dengan budaya Bali. Beberapa ritual dalam budaya Tionghoa pun berakulturasi dengan ritual Hindu Bali. Dalam sesaji ketika sembahyang pun ada gebogan, canang, dan semacamnya. Bagian belakang vihara itu sendiri pun menyatu dengan pura.
Tak hanya secara ritual, secara sosial pun demikian. Warga Tionghoa, yang disebut Nyama Toko –karena sebagian besar adalah pedagang- terlibat aktif di banjar-banjar setempat. Tak hanya sebagai anggota, bahkan sebagian besar adalah pengurus banjar. Mereka malah punya satu banjar, namanya Banjar Dharma Semadi, yang bahkan sudah diakui oleh desa adat.
Soal perkawinan dengan warga setempat? “Mungkin sembilan puluh persen dari kami menikah dengan perempuan Bali,” kata Adi Darmaja, warga Tionghoa yang lainnya.
Vihara Dharmayana adalah simbol multikulturalisme yang terus terpelihara di Kuta. Lokasi berikutnya juga menunjukkan hal yang tak jauh berbeda. Sejak zaman bahuela, Kuta adalah tempat umat berbagai bangsa bertemu dan berhubungan satu sama lain tanpa membedakan asal usul. Ini kami temukan di pantai jerman, lokasi kunjungan yang kedua.
Lokasi ini juga hal baru bagi kami. Semua peserta field trip terkaget-kaget ketika melihat miniatur perahu di pantai ini. Salah satunya dari Eka, yang belum pernah mengenal tempat itu sebelumnya.
Pernyataan Eka muncul ketika dia bersama sekitar 15 blogger dan wartawan sedang melihat miniatur perahu di pura di bagian selatan pantai Kuta tersebut. Miniatur perahu itu dibangun sebagai simbol perahu yang terdampar di pantai tersebut pada masa kolonial, sekitar abad 18. Saat itu Kuta menjadi salah satu pusat perdagangan di Bali.
Saudagar dari Tuban, Jawa Timur adalah salah satu kelompok saudagar yang berdagang di sisi barat pulau Bali itu. Nah, mereka ada yang terdampar di pantai itu. Makanya pantai itu disebut pula sebagai pasih perahu, berarti pantai perahu. Menurut Nyoman Rika, Kepala Lingkungan Banjar Segara Kuta, nama desa Tuban di selatan Kuta berasal dari nama kota Tuban di Jawa Timur tersebut.
Di lokasi di mana perahu itu terdampar, terdampar sumber air tawar. Padahal lokasinya persis di pantai. Sejak 2002 lalu, warga setempat membangun lokasi itu dengan miniatur perahu sebagai bentuk penghormatan pada para saudagar yang terdampar tersebut.
“Kami mendapat petunjuk dari yang berstana di pura ini untuk membangun perahu ini,” kata Rika. Maksudnya, dia mendapat semacam peringatan agar mereka membangun bangunan berbentuk perahu itu di lokasi tersebut.
Selain bekas pelabuhan, pantai itu dulunya adalah perumahan warga Jerman. Made Budi, mantan prajuru desa adat Kuta mengatakan kalau warga Jerman tersebut tinggal di sana saat mengerjakan pembangunan Bandara Ngurah Rai. Karena itu pantai tersebut juga terkenal dengan nama pantai jerman.
Namun bekas perumahan itu sudah tidak ada sama sekali. Begitu pula bekas pelabuhan di tempat tersebut. “Semuanya sudah habis kena abrasi,” kata Budi.
Di lokasi itu kini pantai sedang direklamasi. Back hoe, alat pengeruk dan perata tanah itu hilir mudik meratakan pasir yang diambil dari pantai lain. Pantai direklamasi demi pariwisata Kuta yang kain gemerlap.
Ironinya sih tempat di mana salah satu bagian dari sejarah Kuta berasal tersebut justru tidak terlalu dikenal. Sejarah Kuta memang tenggelam di antara gemerlapnya yang menyilaukan..[b]