
Duet kotak putih yang diberi nama Intan Box dan Sari Box kini telah berada di Turtle Conservation and Education Centre (TCEC) Serangan. Kotak yang merupakan pemberian dari Konservasi Penyu di Banyuwangi ini telah ada di TCEC sejak Januari 2023 lalu
Mariana Mamus, mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Bali tampak telaten memindahkan bayi penyu yang baru menetas dari Intan Box menuju Sari Box. Perempuan yang akrab disapa Nisa itu tak sendiri, ia dan mahasiswa lainnya peserta kerja lapangan itu turut membersamai Nisa memindahkan bayi-bayi penyu.

“Ini baru dilakukan setelah dua bulan disimpan di box, kalau sehari-hari lebih ke kasih makan penyu-penyu disini,” ujar Nisa. Mahasiswi semester 7 jurusan biologi ini telah melakukan kerja praktek di TCEC sejak 16 Agustus lalu.
Menurut Ketua TCEC Serangan, I Made Sukanta pihaknya senantiasa menerima relawan maupun mahasiswa kerja praktek di TCEC. “Sekarang ini ada dari Kampus Dhyana Pura dan Warmadewa, relawan asing juga ada didominasi dari Jerman dan Perancis,” ungkap Sukanta pada Selasa (05/09).
Sukanta mengamati, keberadaan Intan Box dan Sari Box di TCEC meningkatkan penetasan telur penyu. “Kalau di box inkubasi yang baru itu lumayan juga hasilnya rata-rata 80 sampai 90 persen,” jelas Sukanta. Sedangkan, jika dengan metode semi alami menggunakan cara penggalian dan pemindahan telur penyu ke dalam pasir oleh tenaga manusia dan proses dari pasir pantai, tingkat keberhasilan penetasannya 70 sampai 80 persen.
Intan Box dan Sari Box memiliki fungsi berbeda. “Alat ini dikasih tahun ini kalau gak salah di bulan Januari sebelum musim bertelur, yang satu untuk penetasan yang satu untuk perawatan setelah menetas,” jelas lelaki yang sejak tahun 2006 menggeluti dunia konservasi penyu.

Selama hampir 8 bulan menggunakan intan box dan sari box, Sukanta dan relawan lainnya tengah mengamati adakah efek yang timbul dari penggunaan kedua kotak yang diciptakan oleh Drh. Aditya Yudhana dan Tim dari Prodi Kedokteran Hewan, Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) Universitas Airlangga.
“Memang ada peningkatan tapi kita nggak tahu nanti ada perubahan pola karakter penyunya tersebut,” terang Sukanta. Secara alamiah, sejatinya telur penyu harus ditanam pasir karena dari proses tersebut telur penyu mampu menyerap medan magnet bumi untuk perkembangan alami setiap penyu.
Waktu yang masih terbilang singkat menggunakan Intan Box dan Sari Box, membuat Sukanta dan relawan lainnya belum mampu menentukan jenis kelamin bayi penyu dari alat tersebut. “Kalau sudah dewasa baru kita tahu jenis kelamin dari perbedaan ekornya, pendek dan panjangnya, kalau pendek betina, panjang berarti jantan,” imbuhnya.
TCEC telah mengupayakan konservasi berbagai jenis penyu. Penyu-penyu itu di antaranya penyu lekang, penyu hijau, penyu belimbing, penyu pipih, penyu tempayan, dan penyu sisik. Mengutip dari situs resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI), semua jenis penyu laut di Indonesia telah dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Adanya regulasi tersebut secara otomatis melarang segala bentuk perdagangan penyu baik dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya. Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018 tentang jenis dan satwa yang dilindungi dan Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018 tentang perubahan Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018 menyatakan bahwa 6 jenis penyu tergolong satwa yang dilindungi oleh undang-undang.
Sinergi untuk penyelamatan dan pelestarian penyu

Tim TCEC tak sendiri selama melakukan penyelamatan para penyu, tenaga kesehatan dari bagian kedokteran hewan sangat membantu perawatan para penyu. Tenaga kesehatan yang secara rutin mengecek kondisi kesehatan penyu di TCEC diantaranya dari Universitas Udayana, I AM Flying Vet, dan Kedonganan Veterinary. Selama beberapa tahun ke belakang, terdapat 19 penyu dalam proses perawatan.
Sukanta berujar, penyu yang memperoleh rawat jalan di TCEC rata-rata berasal dari penyu sitaan akibat diperjualbelikan secara ilegal. Penyu malang itu ditemukan dalam kondisi penuh luka akibat jaring, kelaparan, bahkan ada yang ditemukan dalam kondisi tempurung rusak. Jika dibutuhkan tindakan operasi, penyu tersebut akan dipindahkan ke Kedonganan Veterinary (Vet Kedonganan) yang secara profesional ditangani oleh dokter hewan.
Setiap satu minggu sekali, para dokter hewan tersebut melakukan kontrol terhadap kondisi para penyu. Namun, apabila terdapat penyu dengan kondisi kesehatan yang buruk, para dokter hewan itu melakukan kontrol penuh setiap harinya dalam waktu seminggu. Pemulihan setiap penyu memakan waktu yang berbeda-beda, berdasarkan pengamatan Sukanta waktu tercepat pemulihan penyu selama 3 bulan. Sedangkan, jika dalam kondisi parah pemulihan satu ekor penyu membutuhkan waktu setahun bahkan lebih.
“Kalau dia masih sakit ditahan dulu kalau sudah sehat baru kita koordinasikan ke pihak yang berwenang yang bertanggung jawab terhadap izin dilepaskan atau tidak,” tambah Sukanta.
Tak hanya penyu yang sakit akibat diperdagangkan secara ilegal, penyu yang memiliki penyakit lainnya seperti demam hingga tumor turut ditangani TCEC dan mitra dari berbagai kedokteran hewan.
Pembiayaan untuk pemulihan para penyu berasal dari donasi berbagai pihak.
Masyarakat lebih peka

Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian penyu kian meningkat. “Kalau kita kembali ke masa lalu mungkin 20 tahun atau 30 tahun lalu ya jauh berbanding dari sekarang. Sekarang hampir setiap daerah di Bali ada tim yang bisa kami hubungi,” ungkap Sukanta. Perkembangan itu tak terlepas dari upaya segenap relawan TCEC dalam mensosialisasikan keberadaan penyu sebagai hewan langka yang harus dilindungi keberadaannya. Hingga saat ini berbagai elemen masyarakat turut serta menggeluti upaya konservasi penyu, seperti nelayan, pemerintah termasuk masyarakat umum.
Buah dari sosialisasi tanpa henti itu menghasilkan jejaring yang lebih luas dan kuat. TCEC menghubungkan setiap konservator di beberapa daerah dalam sebuah grup whatsapp. “Jadi kita komunikasi lebih cepat, kita ada informasi penyu terdampar di mana, kita lebih cepat komunikasinya, atau ada penyu bertelur di mana kita tinggal, posisi penyu bertelur di Tabanan, kita hubungi konservasi di Tabanan dulu yang terdekat.
Seingat Sukanta, sebelumnya hanya ada tiga konservasi penyu di Bali diantaranya di Kuta, Perancak, dan Serangan. Sukanta menambahkan, “sekarang sudah banyak kok ada konservasi, kesadaran masyarakat di pesisir luar biasalah sekarang.”
Salah satu pengunjung TCEC, Amy mengharapkan agar konservasi penyu TCEC kian berkembang. “Ini sarana edukasi yang menarik dan penting, semoga ada banyak pihak khususnya donatur yang membantu,” ujar WNA asal Australia ini.

Pukul 10.30 Wita, para pengunjung konservasi penyu TCEC datang silih berganti. Puncak keramaian konservasi ini berada pada bulan Juli dan Agustus. Para relawan maupun mahasiswa kerja praktek pun menuntun setiap pengunjung melihat para penyu yang berenang-renang dengan tenang.