Ini sejumlah pengalaman komunikasi saya, seorangTuli dengan teman Dengar melalui obrolan sosial media di WhatsApp pribadi.
Saya menjelaskan tentang situasi individu Tuli seperti apa, misalnya pendidikan rendah dan bahasa isyarat kurang tepat, sehingga cara komunikasi tertulis kami juga kadang berbeda.
Ketika obrolan WhatsApp berlangsung, sayangnya nomor lama telah hangus yang menyebabkan hilangnya obrolan. Saya berusaha mengingatkan beberapa hal tentang audisme. Sepengetahuan saya, seorang audisme hanya peduli dan mendukung orang Tuli yang memiliki kemampuan potensi saja.
Mengenai audism, merupakan bentuk perlakuan negatif terhadap Tuli. Ada banyak contoh seperti berikut. Guru SLB yang menggunakan sistem isyarat dan metode oral mempersulit orang Tuli, akhirnya kurang memahami. Orang dengar mudah tersinggung saat Tuli bertanya, “apa maksudnya?” karena Tuli lemah dan sangat minim bahasa sehingga terjadi perampasan bahasa (deprivasi bahasa).
Misalnya orang Dengar yang berbicara dengan Tuli dengan gerak bibir dan mulut semonyong mungkin. Agar Tuli, berdasarkan prasangka picik atau ketidaktahuannya akan Budaya Tuli bisa mengerti. Perilaku Audist dengan demikian telah membatasi Tuli mengembangkan budayanya sediri.
Komunitas Tuli sungguh bermartabat. Mereka pun secara alamiah bisa membuat bahasanya sendiri sebagaimana pertumbuhan bahasa verbal. Kini kita mengenal sejumlah bahasa isyarat, ada Bisindo dengan beragam varian daerahnya, ada pula SIBI.
Silakan cek beberapa sumber mengenal audism di sejumlah sumber berikut ini ya. https://gerkatinsolo.or.id/2019/04/audism-yang-kaupahami/
https://www.instagram.com/p/CBT_QCZDRNS/
Namun, orang Tuli juga memiliki kelemahan yaitu penguasaan bahasa rendah. Orang audistme kurang pendekatan dengan komunitas Tuli yang memiliki mode of communication berbeda yaitu visual dan bahasa isyarat. Sementara orang Dengar memiliki komunikasi dengan audio dan bahasa lisan. Tuli mempunyai komunikasi serupa dengan bahasa lisan yaitu bahasa isyarat.
Untuk etika berkomunikasi dalam tata krama dalam chatting jika belum kenal adalah sebagai berikut, memberi sapaan, memperkenalkan diri, menjelaskan dan tujuan Anda, dan akhiri pesan dengan ucapan.
Ada beberapa etika dan tata krama di atas, daripada mengirim chatting secara singkat-singkat. Bisa ketemu untuk diskusi lebih dalam. Daripada chatting lebih baik bertemu, karena Tuli memiliki kelemahan dan kelebihan kemampuan bahasa yang dikondisikan oleh latar belakang mereka masing-masing.
Seorang audistme berkata, “Tuli-nya hebat (punya) potensi dan kerja yang bagus.”
“Ya, terima kasih atas dukungan dan peduli dengan Tuli dan Difabel.”
“Saya sudah berusaha yang terbaik dan membantu buat sekolah khusus Tuna Rungu,” kata audistme tersebut.
Namun, saya kurang nyaman disebut “Tuna Rungu”
Lalu, saya berkata, “mengapa pakai kata “tuna rungu” lagi?”
Nah, orang audistme tidak menerima saran dari saya. Padahal orangnya peduli. Saya tidak mengerti bagaimana cara menyampaikannya dengan baik.
Selain itu, ada pemesanan jasa juru bahasa isyarat di PN Denpasar. Sebenarnya, batas MoU telah habis dan yang bersangkutan meminta di waktu H-1. Saya memahami SDM jasa juru bahasa isyarat sangat minim dan harus janji 1 minggu sebelumnya.
Ketika obrolan WA pribadi berlangsung, saya sudah memberikan kontak Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) kepadanya. Tetapi, dia malah kesal dan ribet memesankan JBI. Saya bukan admin PLJ, hanya merekomendasikan PLJ dari individu Tuli atau komunitas Tuli.
Akhirnya pembicaraan terputus, dia memutuskan mencari penerjemah atau juru sistem isyarat dari SLB tanpa rekomendasi dari komunitas Tuli.
Selain itu, biasanya saya diajukan menjadi narasumber oleh orang yang belum saya kenal melalui WA pribadi dan surel. Kejadian yang saya alami, ada seseorang menghubungi saya menggunakan kalimat singkat tanpa tata krama dalam chatting.
Saya menjelaskan etika untuk perkenalan dan tujuan, kemudian dia berkata, “mohon maaf maksudnya bagaimana?”
Saya tidak paham apa yang terjadi dengan tata krama dalam chatting. Padahal dia kandidat doktoral. Awalnya ia meminta detail waktu untuk temu sapa, kemudian curhat pengalaman. Kemudian ia curhat dengan saya. Bukan tentang janji untuk bertemu, malah dia chat seperti ini. “Saya awalnya memang tidak di teman tuli. Saya di teman autis dan bipolar juga.”
Saya menjawab, “Kalo belum (paham) mengenai itu (Tuli), nanti temu sapa agar bisa diskusi lebih dalam.”
Ia melanjutkan, “Saya aktif di Pemprov juga sebagai juri siswa siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) seluruh Bali. Semua guru pasti akan baik dan mendidik.”
Saya bertanya, “Apa Anda percaya sama guru SLB untuk Tuli? Sebaiknya diskusi lagi, karena kita baru saja kenal.”
Malah ia curhat yang panjang banget. Intinya, dia hanya memiliki pengalaman melayani atau membantu anak autis. Namun istilah-istilah dunia Tuli yang masih awam. Maka dari itu, saya menjelaskan istilah mengenai perbedaan Mode of Communication untuk Tuli dan difabel lain. Yang terjadi, dia bilang belum paham difabel dan disabilitas. Saya sudah mencoba jelaskan, tetapi beliau tetap ngotot dan curhat panjang sekali.
Obrolan terakhir yang saya terima dari beliau seperti ini. “Intagram story-nya begitu kasihan saya lihat. Ok yang penting tetap jangan ego dan emosi nanti banyak musuh. Dan tidak baik buat kamu bisa cepet mati jika emosian. Bahaya banyak musuh banyak yang doakan jelek.” Saya kaget, kok bisa berkata begitu padahal kandidat doktoral, mengaku peduli dengan difabel tapi dengan beraninya merendahkan saya.
Bagaimana pendapat Anda mengenai hal-hal di atas? Katanya peduli sama orang difabel tetapi masih saja tidak mau memahami. Saya harap, orang-orang melakukan pendekatan dengan komunitas Tuli. Jangan bilang karena “tidak bisa bahasa isyarat”, karena orang dengar bisa termasuk disabilitas juga.