Teks dan Foto Riri Prabandari
Arsitektur bisa hadir maksimal bahkan dalam suatu keterbatasan.
Jumat malam lalu, Architects Under Big 3 edisi pertama di tahun 2011 dibuka Popo Danes. Dia sekaligus mengenalkan Green Building Council Indonesia (GBCI) Bali kepada sekitar 60 orang yang hadir malam itu. Popo Danes mengajak para arsitek muda untuk ikut mengenal dan bergabung dalam GBCI Bali.
Presenter Architects Under Big 3 #9 Rossi Irawan kemudian membuka malam dengan memutar video tsunami yang menerjang Daerah Istimewa Aceh 26 Desember 2006 silam. Video itu membuka kembali kenangan pahit betapa bencana besar tersebut. Dalam sekejap dia meluluhlantakkan seluruh kota dan menelan banyak korban jiwa.
Momentum 26 Desember memaknai kembali bencana tsunami di Daerah Istimewa Aceh dari sudut pandang arsitektural. Memaknai lagi bagaimana arsitektur bisa memberikan sumbangsih terhadap kemanusiaan. Berbagi sebuah wacana tentang berproses, berarsitektur.
Rossi membagi presentasinya dalam dua garis besar. Pertama, Balance Between Constraint (keseimbangan dalam keterbatasan), cuplikan frase dari tulisan Moshe Safdie, arsitek dari Israel. Kehadiran arsitektur tidaklah selalu diidentikan dengan bentuk yang megah, monumental maupun mewah. Lebih dari itu, arsitektur merupakan sebuah solusi responsif yang bisa hadir dengan segala kondisi.
Segala keterbatasan tidak akan menghalangi proses kreatif untuk menciptakan (invent) produk arsitektur berkualitas. Dalam hal ini, proses analisis data tentang keadaan sekitar sangat penting. Sebab, potensi lahan dan sumber daya ini kemudian dimaksimalkan untuk menghasilkan produk arsitektur. Konteks yang digunakan dalam hal ini bukan hanya tipologi lokal, tetapi lebih pada usaha memaksimalkan potensi yang dimiliki atau tersedia di lokasi. Termasuk di dalamnya adalah sumber daya manusia yang ada.
Salah satu contoh nyata adalah Gando Primary School di desa terpencil bernama Burkina Faso, Afrika. Sekolah ini menggunakan material setempat dan mengajak masyarakat sekitar berpartisipasi langsung dalam pembangunan. Metode pembangunan menggunakan metode lokal, seperti penggunaan bata pres yang sudah biasa dilakukan. Material modern yang digunakan ada pada bagian atap. Mereka menggunakan seng gelombang dan rangka baja sebagai strukturnya. Arsitektur sekolah ini meraih Aga Khan Award, penghargaan prestisius di bidang arsitektur.
Contoh lainnya adalah Sandbag Prototype. Dilatarbelakangi oleh banyaknya pengungsi dan orang terlantar akibat bencana dan perang, seorang arsitek Iran menghasilkan penelitian tentang rumah tinggal murah dari material apa adanya. Konsep perancangannya, setiap orang bisa mendirikan sendiri dan murah karena bahan-bahan diambil dari material di sekelilingnya.
Metodenya yaitu mengumpulkan tanah atau lumpur yang dimasukkan dalam sebuah karung dan disusun menjadi bentuk kubah yang diikat kawat. Shelter dari kantong pasir ini merupakan prototype untuk tempat tinggal sementara dalam keadaan darurat. Pada perkembangan selanjutnya dapat digunakan sebagai tempat tinggal permanen dengan menambahkan finishing semen.
Arsitektur untuk Kemanusiaan
Bencana di Aceh menggerakkan hati Rossi untuk bergabung tim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Tim ini ditunjuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk membantu urusan penyediaan tempat tinggal sementara. Mereka bertugas di Calang, Aceh, salah satu dari dua daerah yang paling parah terkena imbas tsunami. Tim bertugas membuat bangunan yang kontekstual dengan keadaan saat itu.
Berdasarkan kebutuhan masyarakat muncul konsep bangunan yang mampu memberikan privatisasi, bukan tempat tinggal massal seperti tenda penampungan. Selain itu, syarat bangunan bisa dibangun oleh siapa saja, material mudah didapat dan tahan gempa, harus bisa dipenuhi.
Konsep ini diwujudkan melalui penggunaan material bangunan yang tidak menggunakan banyak jenis dan memanfaatkan beberapa material lokal. Material kayu papan digunakan untuk dinding dan atap, bata bekas digunakan untuk dinding kamar mandi dan pondasi, asbes menjadi alternatif material atap. Alat untuk membangun pun sederhana, seperti palu, paku dan gergaji. Mereka tidak memerlukan penggunaan alat berat.
Rangka modular per 1.2 meter agar fungsinya efisien. Luas per tipe tempat tinggal seluas 36 meter persegi, ditentukan oleh Badan Mitigasi Bencana. Untuk membangun satu buah rumah, diperlukan waktu target minimal 10 jam. Namun karena keadaan di lapangan, waktu untuk membuat satu unit rumah berkisar selama 2 hari.
Proses pembangunan rumah yang disebut dengan RIA (Rumah ITS untuk Aceh) dimulai dari pondasi, semua dilakukan manual. Mulai dari penyikuan dan pekerjaan bekesting. Sistem pondasi umpak (40 x 20 x 30 cm) kemudian dipasang besi tulangan. Memasang modular kuda-kuda. Setelah itu, memasang dinding untuk mengikat antar modul kuda2 menjadi sebuah ruang. Proses selanjutnya pemasangan atap dari asbes. Proses finishing ditandai dengan pengerjaan lantai semen. Bangunan darurat yang dihasilkan tidak hanya berfungsi sebagai rumah tapi juga sekolah, kantor pemerintahan.
Pembangunan rumah RIA dilakukan oleh LSM, relawan dan TNI dari batalyon zeni. Relawan bekerja tiap hari mulai pukul 8 pagi sampai 4 sore dan menempuh perjalanan kaki sejauh 2 km dari tenda tempat tinggal selama di Aceh ke lokasi pembangunan.
Konsep RIA secepatnya mengembalikan kehidupan normal setelah mengalami bencana besar dimulai dengan hadirnya arsitektur. Pencapaian yang memuaskan bisa memberikan sumbangsih sehingga korban bencana mampu memulai kehidupan secara normal kembali.
Hal ini membuktikan bahwa dengan hadirnya arsitektur mampu menjadi titik awal dalam membangkitkan kegiatan sosial masyarakat untuk selanjutnya dapat mengembalikan kehidupan masyarakat secara layak. Contoh kasus seperti ini menunjukkan betapa arsitektur bisa hadir maksimal bahkan dalam suatu keterbatasan. [b]
Tulisan juga dimuat di AUB3.