Sebagai sentra salak Bali, Desa Sibetan kini dihadapkan pada upaya menjaga tata ruangnya.
Tantangannya, belum ada penetapan tertulis wilayah pemanfaatan terbatas untuk menjaga ekosistem lingkungan dan keasliannya. Kini, warga menyepakati rancangan tata ruang desanya agar salak Bali tak punah.
“Belum ada aturan detail tertulis tentang wilayah perlindungan. Aturan detail ini sebagai penjabaran aturan awig Pura Dalem,” ujar I Nyoman Sujana, koordinator tata ruang desa Banjar Dukuh, Sibetan.
Dulu kita 1 kilogram salak mendapatkan 5 kilogram beras. Sekarang terbalik. Ini ironis sekali,” ujar Sujana. Ditambah nasib hutan salak dan lingkungannya diambang kritis karena tidak ada perlindungan ketat.
Tata ruang versi warga Banjar Dukuh untuk desa Sibetan ini dipresentasikan pada seminar tata ruang untuk berkontribusi pada penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Karangasem, hari ini yang difasilitasi Yayasan Wisnu dan TIFA. Warga memaparkan di hadapan perwakilan pemerintah kabupaten Karangasem, pengurus desa dan majelis desa pekraman Sibetan.
Banjar Dukuh khususnya dan desa Sibetan pada umumnya mengalami masalah serius mengenai tata peruntukan lahan. Karena Desa Sibetan telah ditetapkan dan dikenal sebagai kawasan perkebunan salak, masyarakat mengalami masalah dengan ketersedian beras.
Masyarakat bergantung dari membeli beras dari luar, karena sudah tidak mungkin lagi menanam padi dan mengubah peruntukan lahan dari semua kebun salak menjadi sebagian diubah menjadi lahan padi. Pentingnya keseimbangan peruntukan lahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari, termasuk kebutuhan pangan secara swa-sembada, desa melakukan penatagunaan lahan pertanian dan pertanian pangan.
“Pemerintah wajib melindungi desa dari kerusakan. Bali ini sudah semakin rusak karena pertanian kimiawi dan pembangunan tidak mengikuti dresta (kondisi) dan bhisama desa,” tukas Dr Ni Luh Kartini, ahli pertanian organic dari Universitas Udayana dan Bali Organic Ascociation. Menurutnya warga desa harus didorong untuk mengelola desanya dengan kearifan lokal karena desa bisa mandiri dengan ekonomi dan energi. Misalnya Banjar Penyabangan Gianyar yang melarang penggunaan sampah plastik dan sistem subak organik.
Sementara I Nyoman Siki Ngurah, Kasubid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Karangasem memaparkan rencana tata ruang Karangasem yang mengatur zona konservasi, pemukiman, pertanian, dan pariwisata. “Ada perubahan jarak sempadan pantai di Karangasem. RTRWK dulu 25-50 meter sekarang jadi 100m,” ujarnya. Selain itu Ia mengatakan kabupaten mengikuti RTRWP Provinsi dan berjanji melindungi jalur hijau. Namun RTRWK Karangasem belum selesai dibahas.
Nengah Sumadi, Ketua Komisi A DPRD Bali menyatakan kawasan agro wisata seperti salak tidak boleh dialihfungsikan. “Harus ditetapkan dalam awig juga selain RTRWP,” ujarnya. Menurutnya penting mengelompokkan kawasan keramat.
Kawasan konservasi/perlindungan di Dukuh-Sibetan misalnya dilarang melakukan aktivitas atau kegiatan apapun di luar fungsinya. Misalnya; untuk flora (pohon atau tumbuh-tumbuhan) tidak bisa ditebang pohonnya dengan alasan apapun. Begitu juga bagi fauna (hewan atau binatang), agama dan adat/budaya perlu dijaga berdasarkan fungsinya.
Pengaturan radius suci dimana kondisi yang diharapkan adalah tidak boleh membangun dalam radius 10 m, dan dalam radius itu tidak boleh membangun kandang ternak.
Sementara untuk kawasan pemukiman, disyaratkan bagi pekarangan yang terletak pada kemiringan lereng yang tajam (30% ke atas), memelihara pohon-pohonan keras (seperti mahoni), di teben pekarangan, membuat aliran air ke luar lokasi pekarangan.
Selain itu warga sepakat setiap orang dilarang membuang sampah plastik, kertas secara sembarangan, tidak boleh buang air besar di sembarangan tempat, kepemilikan anjing maksimal 2 ekor, anjing yang galak harus dirantai, dan tidak boleh membuat bangunan yang melebihi ketinggian pura.
Warga Sibetan tetap ingin pertanian satu jenis, yaitu salak dengan diselingi tanaman lain pada sela-selanya sepanjang tidak merubah pola keasliannya (sistem pertanian tumpang sari). Sedangkan untuk lahan kritis ada pengecualiannya, yaitu disesuaikan dengan jenis tanaman yang cocok. Pola-pola ini tidak bisa dirubah kecuali ada alasan-alasan yang mendasar, misalnya; tanah sudah tidak cocok untuk salak, terserang hama sehingga tidak mungkin dikembangkan lagi, dll.
Aturan yang terkait dengan kebun, misalnya alih fungsi kebun untuk pekarangan maksimal 4 are per KK, dilarang menembak burung, dan dilarang masuk kebun orang lain tanpa ijin. Untuk memaksimalkan manfaat hutan, konservasi, dan menambah penghasilan warga, dibuat paket-paket wisata kebun salak.
Dukuh, Sibetan kini menghasilkan rata-rata 60 kilogram salak per are per tahunnya. Sayangnya, karena hujan sepanjang tahun, hasil panen di sejumlah petak kebun salak menurun sampai 50%. “Kami membutuhkan kebijakan pertanian yang melindungi warga dari perubahan iklim seperti sekarang,” ujar Sujana. [b]
salak bali , i love you pull.
jangan sampai engkau jadi tumbuhan langka..