Oleh Pande Baik
Ini hanyalah sebuah khayalan seorang warga Denpasar yang juga berharap satu saat obsesi ini bisa terwujudkan demi mengembalikan wajah Denpasar sebagai ikon Pulau Dewata ini.
Kemacetan lau lintas, memang sudah menjadi bagian keseharian sebuah kota. Wajarlah kata orang. Jam-jam sibuk, pagi saat berangkat kerja dan juga sore hari saat pulang kantor, hampir menjadi momok bagi orang-orang yang ingin mencapai tujuan dengan waktu singkat. Karena bisa dipastikan ini hanya satu lucky kalau memang bisa sampai tujuan tepat perkiraan.
Tampaknya kemacetan ini tak hanya terjadi di ruas-ruas jalan pusat kota, namun juga jalur jalan utama yang menghubungkan dua kecamatan ataupun daerah penting di sekitar Kota Denpasar.
Sebutlah contoh jalur menuju Tanah Lot. Kemacetan terjadi lantaran masyarakat tak memiliki alternatif jalan lain yang mampu menghantarkan mereka secara cepat dan efisien. Maka iring-iringan mobil ditambah buruknya perilaku pengendara motor menjadi riasan wajah kesemrawutan arus lalu lintas.
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir kejenuhan pengguna jalan saat melintas di ruas manapun?
Sekali lagi ini hanyalah sebuah khayalan belaka. Andai saja….
Peningkatan Kualitas Permukaan Jalan
Melihat permasalahan yang muncul dari kacamata pemerintah yang berkecimpung di bidang jalan, tentu alternatif pertama yang bisa dilakukan adalah perbaikan kualitas permukaan jalan. Tujuan utamanya adalah menekan biaya pemeliharaan kendaraan bermotor serta membantu masyarakat yang melintas secara nyaman dan efisien waktu.
Bisa dibayangkan jika satu jalan dengan kondisi permukaan berlobang atau aus mengelupas. Hal ini membuat beberapa pengendara (biasanya yang membawa ibu hamil), memilih berhati-hati sekali untuk melintas di atasnya. Pada beberapa kendaraan bisa dikatakan pula kalau yang namanya biaya pemeliharaan (dalam kategori non variasi) makin meningkat.
Namun hal ini bisa dikatakan mimpi panjang bagi pemerintah. Kenapa? Terlibat secara tak langsung dalam pemberian prioritas ruas jalan yang akan diperbaiki sedikit membuat pengetahuan bertambah, bahwa bukan status maupun kepadatan lalu lintas yang berperan, melainkan faktor politis.
Apakah ada pejabat ataukah anggota DPR yang tinggal dan sering melintas di situ? Apakah daerah jalan setempat memiliki satu dua wakilnya duduk di kursi mewah pemerintahan? Atau malah ini sudah menjadi janji bakal calon pemimpin daerah terpilih, untuk menguatkan dukungannya?
Dari sekian milyar anggaran yang disediakan untuk perbaikan kualitas jalan, mungkin hanya lima puluh persennya saja bisa ditangani dan memberikan manfaat bagi masyarakat umum keseluruhan. Sisanya lebih banyak dipakai untuk memperbaiki jalan yang mungkin prioritasnya bisa di-nomorsekian-kan.
Pengalaman ini tertuang dalam Blog saya, terakhir kalo ndak salah di Bulan Juli – Agustus 2007.
Pelebaran Ruas Jalan
Ini pula boleh jadi satu mimpi mengingat lahan di kanan kiri jalan utamanya di Kota Denpasar tak lagi bisa diperlebar. Berbeda jika jalan tersebut memang sudah direncanakan terlebih dahulu sebelum dipenuhi bangunan-bangun di sekitarnya.
Ambil contoh jalan Ida Bagus Mantra, yang menghubungkan Kota Denpasar dengan Gianyar hingga Klungkung. Sangat lebar jika diperhatikan saat perencanaan selesai nanti. Namun bagaimana solusinya bila lokasi berada di Pusat Kota Denpasar di mana bisa jadi harga pembebasan lahan cukup tinggi, belum lagi biaya yang akan ditanggung masyarakat bagi yang memiliki lahan tempat suci tepat di pinggir jalan.
Kegiatan penyempitan ruas jalan Gajah Mada di Kota Denpasar secara pribadi bisa dibilang salah langkah. Karena Pemerintah belum memikirkan ke mana arah parkir diarahkan nanti. Walaupun wacana untuk memindahkan parkir ke ruas jalan lain serta membebaskan parkir pada jalan Gajah Mada sudah ada, namun bisa dipastikan perubahan kebiasaan ini akan makin membuat wajah Kota Denpasar semrawut.
Mungkin ini bisa jadi satu pelajaran bagi Pemerintah Daerah lain, yang setidaknya membangun sarana dan prasarana lain terlebih dahulu untuk mendukung kegiatan utama nantinya.
Penyediaan lahan parkir di beberapa empat bolehlah dilakukan jauh-jauh hari, agar kebiasaan para pengguna jalan bisa dibiasakan sejak awal.
Memperkecil Jumlah Kendaraan yang Melintas
Bisa dilakukan dengan pemberian batas kuota pada masing-masing dealer kendaraan untuk menjual persediaannya agar tak meluber memenuhi jalan. Begitu pula bagi masing-masing kepala keluarga.
Ini bisa dilihat dari budaya masyarakat Kota Denpasar, yang tak jarang satu keluarga kecil memiliki satu kendaraan bagi masing-masing anggota keluarganya. Iya kalo yang dimiliki berupa kendaraan roda dua. Kalo yang roda empat? Berapa banyak lahan parkir yang bertambah untuk memenuhi kebutuhan itu?
Bahkan satu hal yang menggelitik sering terdengar di benak, bahwa jika ingin melihat rupa dan bentuk satu produk baru yang dijual dealer, datanglah ke Kota Denpasar. Dijamin ada saja produk tersebut melintas tak hanya satu dua.
Ini sungguh berbeda saat melihat kenyataan di Kota Jakarta, di mana beberapa produk gres kendaraan roda dua malah tak tampak bersliweran di jalanan. Mungkin ini lantaran daya beli masyarakat yang berbeda. Namanya aja ‘gumi krisis’, tapi kok ada aja yang masih bisa membeli produk kluaran terbaru? Heran, deh.
Pemberlakukan Pajak Tinggi bagi Kendaraan Bermotor
Kalau ini terjadi boleh jadi bakal jadi demo besar dari masyarakat golongan bawah, lantaran harga bahan bakar sudah jauh membumbung tinggi yang menyebabkan beralihnya sasaran pembelian kendaraan. Kenaikan harga bahan bakar pula jadi pemicu harga kendaraan roda empat menurun drastis, lantaran biaya pemeliharaannya jauh lebih tinggi.
Jika pemberlakuan ini dijalankan, baiknya Pemerintah Daerah mengagas satu bentuk kendaraan yang bisa ditumpangi oleh masyarakat dalam jumlah banyak dan dapat mencapai wilayah tertentu, sehingga masyarakat tak lagi ragu untuk menggunakannya.
Perencanaan lalu lintas di luar negeri boleh dijadikan contoh, di mana kendaraan yang lalu lalang begitu sedikit dan tertib, namun Kota memiliki jalur Bus Umum yang melintas ke tujuan manapun sesuai rute tentunya. Masyarakat pun tinggal menuju tempat pemberhentian yang tersedia di dekat lokasi rumah.
Perbaikan Perilaku Pengendara
Ini mungkin jadi yang paling sulit di antara semua khayalan di atas. Mengubah kebiasaan dan perilaku pengendara yang saat ini terlihat jelas pada kesemrawutan lalu lintas Kota Denpasar.
Kedisiplinan di lampu merah, jadi contoh pertama. Saat lampu hijau di satu arah jalur telah berhenti, diperlukan delay beberapa detik untuk mengubah lampu hijau pada arah jalur yang lain. Ini memberikan jalan yang aman bagi pengendara untuk lewat pada pertemuan jalan. Namun yang terjadi seringkali, begitu melihat kendaraan di jalur seberang berhenti, para pengendara yang sudah hafal giliran mana lampu hijau akan menyala, langsung saja memacu kendaraannya walo lampu masih menyala merah. Iya kalau gak ada kendaraan lain yang telanjur nyelonong?
Jalan macet bisa dipastikan ada saja perlaku zigzag dari pengendara roda dua yang nyelip sana sini memotong daerah di depan kendaraan roda empat. Ah yang penting ada kesempatan, kebut aja. Yang repot tentu kendaraan besar yang bisa jadi pengemudinya memiliki reflek tak sigap untuk mengalihkan moncong kendaraannya agar tak terjadi kecelakaan.
Saat kecelakaan terjadi, ada juga satu perilaku unik di mana beberapa kendaraan yang melintas memilih berhenti di tengah jalan demi melihat dan menyaksikan apa yang terjadi, atau malah menonton aksi sang korban dan penabrak adu mulut.
Perencanaan Matang Arus Lalu Lintas
Yang terakhir ini bolehlah jadi satu solusi yang bisa dilakukan tanpa membuat efek demo besar-besaran. Tujuannya untuk mengalihkan arus kendaraan jika di satu atau beberapa ruas terjadi kemacetan akibat budaya masyarakat Bali yang cenderung menutup ruas jalan saat mengadakan upacara atau jalan kaki melawan arus pergerakan lalu lintas saat ngiring Ida Betara maupun upacara pengabenan ke Setra.
Hal ini sangatlah penting apalagi jika Pemerintah mampu memberikan jalur alternatif bagi jumlah kendaraan yang akan melintas di daerah macet agar tak terjadi penumpukan arus kendaraan. Boleh dengan memperbaiki kualitas jalan di atas tadi, sehingga mengubah yang tadinya jalan lingkungan hanya dilewati kendaraan roda dua, menjadi bisa dilewati kendaraan roda empat.
Bisa juga dengan satu bentuk pengumuman konfirmasi yang ada di media cetak bahwa akan ada penutupan jalan pada hari dan jam sekian, sehingga arus dialihkan ke jalur lain. Ini agar para pengendara sebelum memutuskan untuk keluar rumah sudah memiliki jalur alternatif kejalur mana saja yang akan dilalui.
Didukung pula oleh aparat kepolisian yang sigap mengatur kendaraan di titik-titik rawan macet.
***
Semua khayalan di atas muncul lantaran kejenuhan dalam keseharian yang selalu berfikir ke mana jalan yang akan dilewati saat mencapai tujuan agar tak terjebak kemacetan. Andai saja jalan raya Kota Denpasar bisa selengang saat hari-hari besar umat beragama datang. Dari Idul Fitri hingga Galungan dan Kuningan yang mengurangi jumlah pengendara begitu banyak. Sehingga yang namanya kenyamanan berkendara bolehlah dinikmati hanya hari itu saja. Hehehe.. [b]
ah, ide nya biasa saja.
basi..
Suksema Bli Made.
Yah, Itulah Indonesia.
Tapi jika memang basi, apa Bli Made ada ide lain ?
Jika pertumbuhan ekonomi stagnant sampai 10 tahun lagi bisa dikalkulasikan bahwa keadaan macet ini akan tetap seperti ini. Tapi jika pertumbuhan ekonomi Bali menunjukkan kecendrungan naik, maka 10 tahun lagi sudah macet total…. ha..haa…
Langkah pertama. Menarik sekali untuk dicermati berapa luas seluruh jalan di Denpasar, dan hitung jumlah kendaraan lalu jejerkan semuanya di atas jalan. Apakah cukup?
Plus kendaraan yang keluar masuk tapi tidak residensi Denpasar.
Langkah kedua : hitung pertambahan jumlah kedaraan baru per bulan untuk residensi Denpasar. Apakah mencukupi seluruh permukaan jalan? – seandainya pertambahan badan jalan sudah tidak memungkinkan secara horizontal.
Jika kedua pertanyaan di atas kira-kira sudah terjawab maka visi kita harus sudah mencapai 10 atau 20 tahun lagi. Maka tidak ada jalan lain kecuali membuat pemilik kendaraan pribadi menjadi jengkel karena hanya dengan rencana di bawah ini bisa menghindari kemacetan total:
1. Pemerintah Kota mengupayakan perusahan transport umum murah mencapai semua residensi utama,
2. Pilihan ekstrim adalah membangun jalan layang di beberapa perempatan jalan ( negosiasi dengan tokoh agama yang masih belum memahami dengan baik ).
Jika kedua kemungkinan di atas tidak dijadikan wacana mulai sekarang, maka jika pertumbungan ekonomi Bali trend naik, tinggal tunggu saja!!!
Penting sekali untuk pemerintah mulai memikirkan penggunaan public transport, karena kalau tidak dimulai dari sekarang bali akan macet total.
Angkutan umum yang ada sekarang harus diperbaiki lagi. Pemerintah daerah harus siap untuk memberikan subsidi. langkah awal, misalnya aktifkan angkutan umum untuk pelajar. Pelajar yang menggunakan bemo bisa di subsidi untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Demikian juga untuk mahasiswa yang kuliah di kampus jimbaran. waktu saya kuliah tahun 1998-2003, bis hanya melayani sampe jam 1 saja, padahal kuliah seringkali sampe sore, akhirnya terpaksa bawa motor sendiri, padahal kalo disuruh milih lebih enak numpang bus daripada naik motor. Aman, murah lagi.
Memang konsekuensinya pemerintah akan rugi beberapa tahun, tapi kalo dilihat kedepannya, malah untung.
Bali sebagai daerah tujuan wisata juga belum punya jalur khusus pariwisata. Masih banyak hal yang mesti dibenahi agar bali lebih nyaman lagi. Contoh kecil, pedestrian di daerah denpasar, coba dibuat lebih lebar dan nyaman apalagi dilengkapi dengan street furniture yang memadai pasti nyaman deh, dan mendukung konsep city tournya denpasar dan bisa mengurangi penggunaan kendaraan karena orang sudah nyaman jalan kaki untuk mencapai tujuan terutama yang dekat lokasinya.
Oke deh, semoga sumbangan ide yang kecil ini bisa jadi pemikiran bersama. Terima kasih
Selamat siang Pak Pande,
Itu bukan saya yang mengatakan basi lho.
Tks/Terima
Ne mara ya obrolan melah !!!
Saya ini orang gunung yang sering turun ke kota bawa sayur untuk dijual di Jimbaran, dan merasakan ketidak beresan kota Denpasar.
Sesuai dengan philosofi di gunung di mana orang-orang bodoh tinggal, bahwa dunia ini akan berubah jika punya pemimpin yang baik. Ingat cerita I Gajah lan I Lubak. Ketika I gajah memimpin, suasana menjadi adem dan landai, dan ketika I Lutung ane memimpin, jeg mekejang anake dadi maling.
Aduuuh, kapan Denpasar punya walikota yang berbobot ne.
Untuk Bli Made Terima, mohon maaf, komen tiang diatas sesungguhnya untuk Bli Made Rotten…
Suksema
Suatu saat Denpasar akan seperti Jakarta, kalo pemerintah kota tidak berani mengambil kebijakan-kebijakan yang berani dari sekarang.
Saran seperti yg bli Pande sebutkan tersebut sepertinya memang cukup membantu pemerintah kota Denpasar dan masyarakat umum dalam mengatasi masalah kemacetan yang semakin sering terjadi di kota Denpasar. Dan kita sebagai masyarakat umum yang sering berlalu lintas di kawasan yang rawan akan kemacetan sebaiknya lebih bersabar, tidak saling mendahului pada saat di jalan, dan tidak menggunakan trotoar untuk mendahului pengendara lain, karena trotoar berfungsi untuk pejalan kaki, bukan sebagai jalan untuk kendaraan bermotor, leih mentaati peraturan lalu lintas seperti pada saat di traffic light, agar dapat membantu mengurangi masalah kemacetan yang sering terjadi di kota denpasar dan juga mengurangi kecelakaan yang juga sering terjadi akibat pelanggaran peraturan lalu lintas.. suksma.
jika kota denpasar masih seperti itu, berarti kita perlu pemimpin yang lebih berbobot. saya setuju blipanlempog